Trubus.id— Pekebun perlu mengenal jenis lidah buaya agar hasil panen sesuai keinginan pasar. Menurut dosen di Fakultas Pertanian, Universitas Borobodur, Jakarta, Ir. Luluk Sutji Marhaeni, M.S., diperkirakan lidah buaya masuk ke Indonesia sejak abad ke-17.
Di dunia terdapat lebih dari 350 jenis lidah buaya yang berasal dari persilangan. Namun, hanya 3 jenis lidah buaya di dunia yang dianggap cocok untuk tujuan komersial. Ketiganya adalah A. chinensis, A. ferox, dan A. barbadensis,
Di pasaran Aloe barbadensis memang masih langka. Demikian pula di kalangan pekebun lidah buaya. Umumnya para pekebun hanya memiliki 5—10 tanaman A. barbadensis sekadar untuk koleksi dan persiapan jika ada permintaan mendadak dari para pekebun baru.
Di pasar swalayan modern hampir 100% daun lidah buaya yang dijajakan adalah Aloe chinensis. “Permintaan untuk A. barbadensis belum ada sehingga belum dikebunkan secara meluas,” kata pekebun lidah buaya di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Yohanes Irwanto Ngkai.
Pekebun dan pengolah lidah buaya di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Alan Efendhi, S.Kom., menuturkan bahwa jenis lain yang juga potensial untuk tujuan komersial yaitu Aloe saponaria.
Meskipun disebut cocok untuk dikebunkan secara komersial, yang paling populer dikebunkan di Indonesia adalah A. chinensis dari Tiongkok. Varietas itulah yang dikebunkan secara besar-besaran dalam satu dasawarsa terakhir di Pontianak, Kalimantan Barat.
Kemudian masyarakat di berbagai daerah seperti Bogor, Gunung Kidul, Malang, dan Parepare pun menanam A. chinensis. Sementara A. barbadensis dari Amerika Serikat saat ini masih menjadi koleksi pekebun.
Menurut Alan, A. ferox dan A. saponaria masih jarang sekali di Indonesia walau di luar negeri lebih populer. Di tanah air keduanya lebih sering ditemukan sebagai tanaman koleksi atau tanaman hias karena permintaan pasar belum terbentuk.