Tiga kontes tanaman hias berlangsung di ajang Flona 2016 di Lapangan Banteng, yaitu keladi, kaktus, dan sukulen.
Sosok tambuna amat menawan. Keladi itu berdaun merah jambu. Di bagian tepi daun terdapat garis hijau. Tulang daun kehijauan menjadi motif menarik yang menambah pesona tambuna. Tangkai kokoh dan pendek menopang daun-daun tambuna nan rimbun sehingga penampilannya sangat kompak. Para juri menobatkan keladi koleksi Ahmad AR Shahab itu sebagai juara kesatu kelas rumpun saat kontes Flona 2016, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Menurut penyilang di Kebumen, Jawa Tengah, Wawan Santoso, keistimewaan tambuna berurat timbul. Tanamannya pun bandel. Ia bisa diletakkan di area terbuka sehingga menerima sinar matahari penuh, tetapi juga bisa ternaungi jaring dan tetap menawan. Warna pun “sederhana”, daun tebal, bertangkai kokoh. Ia mudah untuk rimbun karena tunas baru cepat keluar dari umbi dibanding dengan jenis lain.
Kontes perdana
Penyilang keladi di Bogor, Jawa Barat, Djoyohadi Haristiono Eko Putro, bertutur, “Amat jarang tambuna bisa selebat dan sekompak itu.” Nilai tambah lain, perubahan fase warna dan corak daun serempak sehingga ia tampil prima dalam kontes perdana keladi nasional. Bukan hanya tambuna yang mempesona, peserta lain pun tampil prima. Infinity, yang juara kedua, misalnya, berwarna tajam.
Warna daun infinity merah muda kontras dengan warna serat yang gelap, membuat penampilannya cukup memukau. Tangkai agak panjang dan kokoh menopang daun yang memanjang. Meski ditata secara tunggal di wadah, ia tetap menawan. Penampilannya kian menarik karena tepi daun bergelombang. Namun, arah daun belum kompak, membuat infinity bertengger sebagai juara ke-2.
Keladi di pot nomor 16 meraih juara ke-3. Koleksi Dena Sukardi itu bersosok mini dan berwarna merah gelap. Tangkai pendek dan kokoh menyebabkan keladi itu sangat kompak. Menurut ketua panitia, Ino Siswodihardjo, kontes keladi itu yang pertama di Indonesia. Pehobi yang tergolong dalam Pencinta Alocasia, Caladium, dan Colocasia Indonesia (PACCI) menyambut baik kontes itu sehingga rela datang dari jauh.
Menurut Ino kualitas keladi mereka tidak kalah dari Thailand. Mereka bertanding di kelas tunggal, rumpun, dan campuran. Kontes perdana itu diharapkan dapat memotivasi penyilang-penyilang baru untuk terus berkarya. “Waktu keladi tren beberapa tahun silam, kita belum punya penyilang keladi. Semuanya dari Thailand. Sekarang di Indonesia muncul beberapa penyilang. Hasilnya malah sangat diminati orang Thailand, terutama hibrida baru,” kata Ino.
Kontes kaktus
Pada pekan yang sama, 20—21 Agustus 2016 komunitas Cactus and Succulent Society of Indonesia (CSSI) menggelar ekshibisi di Lapangan Banteng yang dahulu disebut Waterloo Plein. Acara tahunan itu memamerkan puluhan kaktus dan sukulen milik kolektor di tanahair. Mereka menyuguhkan beragam tanaman sukulen langka dan unik. Sejumlah pengunjung terpesona pada keindahan dan keunikan setiap tanaman.
Maklum, kaktus maupun sukulen yang turut meramaikan ekshibisi itu sangat jarang dijumpai. Pemiliknya pun sangat sedikit dan terbatas. Ekshibisi itu juga menjadi ajang bagi pehobi untuk saling berbagi ilmu dan pengalaman.Pehobi sukulen dari Cianjur, Jawa Barat, Eko Wahyudi, memperagakan teknik menyilangkan euphorbia. Ia memilih bunga Euphorbia sp. nova sebagai alat peraga untuk disilang ke euphorbia lain.
Selain ekshibisi, CSSI juga menggelar kontes untuk memperebutkan gelar kaktus dan sukulen terbaik. Itu kali pertama CSSI melakukan kontes dari beberapa kali ekshibisi yang dilakukan. Ariocarpus retusus milik Magnifica Plants tampil sebagai best in show untuk kategori kaktus. Kaktus berumur 10 tahun itu begitu memesona lantaran berkepala dua. Tanaman juga sehat, tanda sang pemilik telaten merawat klangenannya.
Magnifica meletakkan ariocarpus langka itu pada media tanam campuran sekam, pasir malang, dan pumis dengan perbandingan 1:1:1. Yang membanggakan, kepiawaian Magnifica kembali terbukti tatkala Pachypodium brevicalyx koleksinya juga meraih gelar juara. Tanaman asal Madagaskar itu mendapat peringkat terbaik kategori sukulen.
Adu anthurium
Pada pekan terakhir Agustus 2016, giliran Komunitas Pencinta Anthurium Jabodetabek (Kopaja) menyelenggarakan kontes. Sebanyak 230 pot anthurium beradu molek pada 9 kelas. Para pencinta anthurium datang dari berbagai kota, antara lain Karanganyar dan Klaten, Provinsi Jawa Tengah, Bandung, Cianjur, dan Bogor (Jawa Barat), serta Jakarta. Acara itu mengundang minat peserta lantaran hadiah lebih dari Rp70-juta serta 3 sepeda motor.
Menurut Ketua penyelenggara, Agustinus Gunawan, persaingan paling ketat di kelas pemula variegata. Seratus tanaman bersaing di kelas itu. Pehobi meminati kelas variegata karena Indonesia memang gudangnya anthurium variegata. “Anthurium jenmanii variegata Indonesia paling banyak di dunia,” kata Gunawan. Nilai ekonomis anthurium variegata juga tetap tinggi. Wajar bila kolektor memburu variegata berkualits tinggi.
Meski jumlah peserta di kelas lain tidak sebanyak kelas variegata, persaingan kualitas tetap sangat ketat. Juri yang terdiri atas Muhammad Rafi (Batu, Jawa Timur), Syah Angkasa dan Ade Hilman (Depok, Jawa Barat) bekerja ekstra hati-hati. Juri harus memilih 10 besar atau 5 besar dari masing-masing kelas. Padahal, kualitas peserta hampir setara. Juri akhirnya memilih peserta yang memiliki performa mendekati sempurna.
Bahkan beberapa kali juri harus memilih ulang untuk menentukan peserta yang layak masuk 10 besar. Cacat sedikit menjadikan nilainya berkurang dan tergusur. Setelah memilih 10 besar, juri menilai kualitas ke-10 nomine itu satu per satu. Kriteria penilaian adalah performa, karakteristik, dan kesehatan. Setelah menentukan pemenang ke-1 sampai ke-3, juri menghitung perolehan juara dari setiap peserta untuk menentukan juara umum. Eko dari Solo Raya meraih juara umum dengan meraih 2 emas dan 2 perak. Ia berhak membawa pulang satu unit sepeda motor. (Syah Angkasa/Peliput: Andari Titisari)