Enam bocah itu riang bermain di teras sebuah rumah panggung pada sebuah pagi. Lokasi rumah kayu itu di tepi perlintasan jalan. Mereka bagian dari suku Batin Sembilan yang mendiami Hutan Harapan di Provinsi Jambi. Menurut Urip Wiharjo dari Divisi Hubungan Masyarakat PT Restorasi Ekosistem Konservasi Indonesia (Reki), terdapat 228 kepala keluarga suku Batin Sembilan di kawasan hutan seluas 100.000 ha.
Ada pula warga suku Batin Sembilan yang hidup terisolasi di pedalaman hutan dan berpindah-pindah. Sebutan untuk mereka suku Kubu yang populasinya mencapai 25 kepala keluarga. Mereka mengenakan pakaian kulit batang pohon ipoh Antiaris toxicaria. Bagi suku Batin Sembilan kelestarian hutan juga menentukan kelangsungan hidupnya. Harap mafhum mereka menggantungkan hidup pada kelestarian hutan. Itu karena sumber kehidupan mereka ada di hutan.
Keterikatan masyarakat Batin Sembilan dengan perairan sangat erat. Mereka memanfaatkan wilayah perairan antara lain untuk mencari ikan. Dalam area Hutan Harapan terdapat 15 perairan, yang meliputi sungai, danau, rawa, dan cekungan air asin. Dari ke-15 perairan itu, 4 di antaranya adalah wilayah daerah aliran sungai (DAS), yaitu sungai Meranti dan Kapas yang mengalir ke selatan serta sungai Kandang dan Lalan yang mengalir ke timur laut.
Hampir semua perairan itu menyimpan potensi ikan. Meski hidup secara nomaden dan melakukan pertanian sederhana dengan sistem ladang berpindah, suku Batin Sembilan tidak pernah mengakibatkan kerusakan lingkungan hutan yang mereka huni. “Sejak dahulu mereka mampu memanfaatkan sumber daya alam secara bijak. Kearifan itu menjadi bahan kajian yang menarik,” ujar peneliti dari Universitas Jambi, Dr Tedjo Sukmono MSi.
Pemanfaatan secara bijak itu juga mereka terapkan dalam pemanfaatan ikan di perairan dalam wilayah adat. Yang membuat Tedjo semakin tertarik adalah cara mereka menangkap ikan. Masyarakat Batin Sembilan memperoleh ikan untuk lauk tidak hanya dengan memancing atau menjaring. Menurut Tedjo, penduduk asli provinsi Jambi itu mengambil ikan dari perairan dengan 12 cara. “Penangkapan ikan bisa dilakukan sendirian maupun berkelompok,” kata Tedjo.
Jika sendirian, warga Batin Sembilan mencari ikan dengan cara memancing, memasang tajur, bersiul, memasang bubu, atau memasang jaring. Sementara kalau beramai-ramai, mereka membuat corong, menyerampang, menuboh, dan membuat bekarang. Setidaknya mereka menempuh sembilan cara untuk memperoleh ikan. Memancing adalah cara memperoleh ikan paling mudah, tidak tergantung musim, dan cukup menggunakan alat yang murah atau mudah diperoleh. Itu sebabnya cara itu hampir setiap hari dilakukan oleh ibu rumahtangga atau anak-anak.
“Memancing bisa dilakukan sendirian atau berkelompok, tergantung ada tidaknya anggota keluarga yang sedang tidak masuk hutan,” ujar pengajar Jurusan Biologi di Universitas Jambi itu. Pada siang hari, ketika kepala keluarga, laki-laki dewasa, atau remaja pria pergi mencari hasil hutan, 3—5 perempuan beramai-ramai pergi memancing. Berdasarkan pengamatan Tedjo selama melakukan penelitian di area Hutan Harapan, warga Batin Sembilan menggunakan joran berbahan kayu biawak Polyalthia rumphii.
Kayu itu lentur dan tidak mudah patah sehingga menjadi pilihan utama membuat tangkai pancing sepanjang kira-kira 1,5 m itu. Sudah begitu, bentuk kayu biawak kecil dan memanjang sehingga begitu menjumpai di hutan, warga Suku Batin Sembilan bisa langsung menggunakannya sebagai joran. Sebagai tali pancing, kini mereka menggunakan senar atau benang sintetis. Namun, sebelum hadirnya bahan pabrikan, mereka menggunakan rotan yang diserut menjadi sangat tipis. Panjangnya sesuai kebutuhan.
Di ujung tali, terikat mata pancing atau kail berbahan logam yang diperoleh dari pedagang yang membeli hasil bumi mereka. Untuk memikat ikan, sepotong cacing dililitkan ke kail. “Lililtan cacing diputar berkali-kali agar umpan tampak lebih besar,” ungkap Tedo. Sebelum melempar kail, mereka mengibas-ngibaskan joran dalam air agar ikan datang mendekat. Menurut anggota aktif Masyarakat Iktiologi Indonesia itu, ikan tertarik gerakan di permukaan air karena mengira itu serangga yang jatuh ke air.
Berdasarkan keterangan Rusman, yang menjabat temenggung—setara kepala desa—ikan hasil memancing tidak pernah dijual dan hanya untuk tambahan lauk sehari-hari. “Hasil memancing terbatas sesuai jenis umpan dan ukuran kail, tetapi keterbatasan itu menjadi kelebihan karena menangkap ikan dengan selektif dibandingkan mencari ikan dengan jenis alat tangkap lain, seperti jaring, bubu, atau tuboh,” kata Tedjo. Selain cacing, umpan yang biasa digunakan adalah buah muda kelapa sawit, serangga, atau buah hutan. Jenis umpan menyesuaikan dengan ikan target.
Ikan pemakan daun atau lumut seperti gurami Osphronemus gouramy harus dipikat dengan umpan buah, sementara lembat Clarias nieuhofii pasti lebih tertarik kepada serangga. Memancing pun tidak harus selalu dilakukan secara aktif. Ada cara memancing pasif, yaitu dengan menancapkan beberapa joran di tepi perairan lalu meninggalkannya semalaman. Cara yang disebut tajur itu menargetkan ikan besar seperti kepras besar Cyclocheilichthys apogon, sebarau Hampala macrolepidota, atau toman Channa micropeltes.
Selain pancing, cara menangkap ikan yang dilakukan secara aktif adalah menyekap. Alat sekap terbuat dari jalinan rotan berbentuk kerucut dengan diameter dasar 50 cm, lubang bagian atas 15 cm, dan tinggi 75 cm. Untuk memerangkap ikan, alat sekap ditangkupkan ke permukaan air dengan cepat sebelum ikan sempat kabur. Ikan lalu diambil dengan merogoh dari lubang atas alat sekap. “Alat sekap digunakan ketika kemarau untuk mencari ikan di rawa yang airnya surut,” ujar Musadat, anggota divisi Hasil Hutan Bukan Kayu PT Reki.
Rawa surut menyisakan dasar berlumpur tebal sehingga alat sekap bisa ditancapkan cukup dalam ke dasar. Semakin dalam alat menancap, semakin sempit ruang gerak ikan sehingga mudah diambil dari atas. Menyekap memerlukan kelincahan dan keahlian membaca arah gerak ikan agar terperangkap dalam sekap alih-alih melarikan diri. Jenis ikan yang tertangkap biasanya cukup besar sehingga tidak dapat lolos dari kisi rotan sekap.
Cara menangkap yang juga memerlukan keaktifan pencari ikan adalah menuboh. Tuboh adalah ramuan racun dari bahan akar liana atau getah tanaman tertentu yang dijuluki tanaman ridhon. Mula-mula penangkap ikan menghaluskan rumpun akar lalu menambahkan air sehingga menjadi cairan berwarna keruh. Pencari ikan lantas menyiramkan cairan itu di hulu aliran sungai yang bagian lain alirannya telah dibendung. Akibatnya ikan tidak bisa meloloskan diri.
Menurut Rusman racun untuk menuboh tidak mematikan ikan, melainkan hanya membuat mabuk atau memedihkan matanya sehingga gerakannya lamban. Semua ikan dalam aliran tuboh akan menjadi lamban sehingga orang Batin Sembilan bisa dengan mudah memilih jenis yang diinginkan. Sementara mereka membiarkan jenis lain yang tidak memenuhi ukuran konsumsi seperti sepat mutiara Trichopodus leerii, seluang Rasbora elegans, atau lais kecil Kryptorus minor.
Setelah itu pencari ikan membongkar bendungan, air kembali mengalir lancar dan membilas sisa racun tuboh. Saat itu ikan yang terkena racun pun pulih dan normal kembali. “Berbeda dengan racun potas yang membunuh secara permanen,” tutur Tedjo. Maklum, potas—kependekan dari nama kimianya, potasium sianida atau KCN—adalah racun kuat yang menghambat respirasi sel. Akibatnya sel-sel tubuh rusak sehingga kematian terjadi dengan sangat cepat.
Cara tangkap yang mutlak menuntut kelihaian individu adalah siulan toman yang dikombinasikan dengan tombak serampang. Sesuai namanya, siulan toman ditujukan untuk menangkap ikan toman Channa micropeltes. Seperti kerabatnya, ikan gabus C. striata, toman berukuran besar dan mengandung banyak lemak. Penangkap ikan berjongkok di kayu atau batu yang menjorok ke perairan lalu mulai bersiul dengan mengulang-ulang nada tertentu.
Saat terpikat dan mendekat, ikan toman segera ditombak dengan serampang, yaitu tombak bermata 3. Warga Batin Sembilan juga lazim menggunakan serampang untuk menyerampang. Itu aktivitas berburu ikan pada malam hari dengan senter atau pelita untuk memikat ikan. Begitu mendekat, ikan langsung diserampang. Saat kemarau, masyarakat Batin Sembilan kadang beramai-ramai menangkap ikan dengan cara bekarang.
Sebanyak 10 orang atau lebih turun ke rawa atau anak sungai yang surut lalu mengaduk bagian dasar sehingga air menjadi keruh. Ikan yang naik ke permukaan untuk mencari cahaya pun dengan mudah ditangkap. Cara tangkap ikan yang cukup fenomenal adalah membuat corong. Corong adalah struktur masif yang fenomenal, dengan panjang mencapai 100 m dan dipasang selama 3—7 hari. Mereka menancapkan batang kayu berjajar dan menghubungkan dengan anyaman bambu.
Pilihan lain adalah menghubungkan kayu dengan jaring mengarah ke bagian berbentuk lingkaran besar berdiameter 3 m atau lebih, tergantung ukuran sungai. Dasar lingkaran pusat itu beralas jalinan rotan atau jaring. Struktur menyerupai corong raksasa itu biasanya dibuat dengan kayu berbagai jenis pohon anggota famili Rubiaceae yang banyak terdapat di Hutan Harapan. Kelebihan lain, kayu anggota famili Rubiaceae biasanya tahan terendam beberapa lama dalam air.
Setelah ikan yang masuk ke bulatan corong cukup banyak, struktur diangkat pelan-pelan sehingga ikan terjebak. Ikan yang terjebak biasanya cukup banyak sehingga hasilnya bisa dijual ke pasar atau pedagang yang datang ke hunian-hunian Batin Sembilan. Sayang, masyarakat Batin Sembilan semakin jarang membuat corong. “Pembuatan, pemasangan, dan pengoperasian corong memerlukan banyak orang, tenaga, dan biaya sehingga semakin jarang dilakukan,” kata Tedjo.
Dari studi pustaka yang Tedjo lakukan di Museum Negeri Siginjai, Kota Jambi, berbagai komunitas suku Batin Sembilan—kini hidup terpisah-pisah dalam hutan yang terfragmentasi oleh perkebunan atau pemukiman—melakukan cara penangkapan ikan yang sama. “Mereka menuboh, melakukan bekarang, atau menyerampang. Hal itu menandakan kesamaan asal-usul dan kebiasaan hidup meskipun mereka kini hidup terpisah,” ujar Tedjo.
Lantaran kerap dilakukan beramai-ramai, penangkapan ikan juga menjadi salah satu cara mempererat ikatan sosial antarwarga Batin Sembilan. Penangkapan ikan diikat oleh aturan ketat, antara lain dilarang menggunakan semua jenis racun kimia lain dan wajib melepaskan anak ikan yang tertangkap. “Aturan itu memungkinkan ikan beregenerasi sehingga tidak punah. Dengan cara itu, masyarakat Suku Anak Dalam mempertahankan sumber makanan mereka,” ujar Tedjo yang meraih gelar Sarjana Sains dari Jurusan Biologi Universitas Lampung pada 1996.
Semua bahan yang digunakan pun ramah lingkungan. Namun sayang, sedikit demi sedikit cara tangkap ikan ramah lingkungan itu memudar. Sekarang orang Batin Sembilan lebih suka menggunakan senar pabrikan alih-alih serutan rotan atau jaring sintetis alih-alih anyaman rotan atau bambu seperti pendahulunya. Selain tidak usah repot-repot membuat, barang sintetis juga awet dan bisa dipakai berulang-ulang.
Namun, ancaman lebih besar justru dihadapi ikan yang menjadi santapan mereka. Pendangkalan perairan akibat perambahan hutan, pencemaran dari perkebunan atau pemukiman, dan pengurukan rawa semakin mempersempit ruang hidup ikan. “Masih untung ada Hutan Harapan yang terlindung dari perambahan. Di bagian hutan lain, suku Batin Sembilan menjadi kaum yang terlunta-lunta karena wilayahnya terjepit oleh pendatang,” ungkap Urip Wiharjo.
Padahal, perairan Hutan Harapan menyimpan kekayaan ikan yang luar biasa. Dalam riset yang mengantarkan Tedjo memperoleh gelar doktor, ia mengungkap sebanyak 123 spesies ikan asli Hutan Harapan. Melestarikan hutan menjadi satu-satunya jalan mempertahankan kekayaan itu. Jika tidak, ikan-ikan langka itu hanya tinggal dongeng bahwa dulu pernah hidup di perairan Hutan Harapan. (Argohartono Arie Raharjo)