Trubus.id — Pelaku gula nasional sepakat sektor komoditas tebu nasional harus dikelola secara komprehensif dan perlu adanya evaluasi terhadap kebijakan yang mematikan insentif bagi petani. Salah satunya, kebijakan impor gula yang perlu dikaji ulang.
Menurut Soemitro Samadikun, Ketua Asosiasi Petani Tebu Indonesia, penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET) adalah salah satu yang menurunkan gairah petani dalam berkebun tebu. Pada 2016 HET dipatok di angka Rp13.000/kg.
Lalu pada 2017 HET turun menjadi Rp12.500/kg yang berlaku sampai dengan 2021. Tujuannya, menstabilkan harga di tingkat konsumen. Sementara itu, komoditas lain cenderung meningkat.
Di sisi lain, ia menilai, pemerintah melakukan impor secara tidak terencana. Ia memperkirakan stok tebu yang ada di wilayah Indonesia sebanyak 4,6 juta ton, dari produksi nasional sekitar 2,3 juta ton, sedangkan sisanya diimpor.
Padahal, diperkirakan jumlah kebutuhan gula konsumsi hanya sebesar 3 juta ton. Oleh karena itu, Soemitro menilai kelebihan impor bersumber dari kekhawatiran pemerintah atas kelangkaan stok gula nasional.
Berdasarkan rilis yang diterima Trubus, Soemitro menyarankan sebaiknya pemeritah fokus pada peningkatan produksi dengan sasarannya 10 ton per hektare. Masyarakat harus dapat mengakses benih yang berkualitas dan distribusi pupuk tepat waktu. Pembiayaan tersedia. Sumber pengairan harus baik, waduh-waduk yang tidak berfungsi harus diperbaiki.
Demikian juga infrastruktur dan jalan akses ke pabrik. Dengan begitu, harga pokok produksi bisa ditekan hingga di bawah Rp10.000/kg. Adapun untuk naik turun harga bisa dikendalikan dengan operasi pasar.
“Saat kita menanam berarti petani masih optimis. Hanya kadang regulasi yang ada saat ini tidak memberikan harapan kepada kami. Seperti impor gula yang masuk menjelang musim giling di tahun 2023, ini contoh kebijakan yang menciptakan rasa takut,” papar Soemitro.
Hal senada juga diungkapkan Yadi Yusriadi, Tenaga Ahli dari Asosiasi Gula. Ia menyoroti pentingnya peningkatan produksi di tingkat petani, evaluasi kebijakan HET, dan penyusunan rencana impor gula berdasarkan neraca yang disusun oleh tim independen.
Ia menyarankan perlu adanya perbaikan dalam sistem pembelian di pabrik gula yang didasarkan kepada rendemen, tidak hanya berdasarkan bobot. Dengan begitu, terdapat insentif bagi petani dalam rangka meningkatkan mutu panen.
Melihat kondisi 2022 terkait kendala mahalnya pupuk dan kesulitan penebangan, Yadi menilai perlu adanya implementasi teknologi pemanfaatan blotong atau sisa kebun kembali ke lahan dengan memanfaatkan mikroba pembenah tanah sebagai pengurai.
“Perlu dievaluasi terhadap keberadaan pabrik yang ada. Jika tidak lagi efisien sebaiknya digantikan dengan pabrik baru yang lebih efisien. Saat ini banyak pabrik-pabrik tua yang sesungguhnya sulit direvitalisasi,” jelas Yadi.