Thursday, January 16, 2025

Sejarah Guci yang Banyak Dimanfaatkan oleh Orang-Orang Terdahulu

Rekomendasi
- Advertisement -

Trubus.id — Seringkali guci peninggalan pada zaman kerajaan ditemukan dalam keadaan tetap utuh meski terpendam dalam tanah selama beribu-ribu tahun. Itu bisa terjadi lantaran guci terbuat dari bahan tambang bernama kaolin berwarna putih atau keabu-abuan.

Setelah dibentuk menjadi guci, perajin membakar kaolin hingga suhu 1.500°C. Teknik pengglasiran atau melapisi guci dengan sejenis kaca berwarna kian memperkuat guci. Pantas jika wadah itu melintasi berbagai generasi.

Sebagai wadah air, minyak, dan minuman yang diawetkan seperti anggur, guci sudah dimanfaatkan pada 500 tahun silam sebagaimana catatan ahli tumbuhan Rumphius. Memang, menyebut fungsi guci langsung teringat pada anggur.

Berbagai bangsa di dunia seperti Italia, Mesir, Palestina, dan Tiongkok memanfaatkan guci sebagai wadah penyimpanan wine. Mereka biasanya mengebunkan Vitis vinifera dan mempunyai budaya minum anggur. Adapun masyarakat Jepang memanfaatkan guci sebagai wadah sake, minuman hasil fermentasi beras.

Pada masa itu, abad ke-16, guci alat paling praktis untuk membawa perbekalan. Pada abad ke-8, para pedagang Tiongkok yang masuk ke Indonesia juga membawa arak dalam guci. Sebagian menilai guci ibarat kardus atau keranjang masa lalu.

Ketika itu belum ada plastik. Kayu pun belum dimanfaatkan sebagai wadah bergerak. Jadi, bahan yang dipakai untuk wadah adalah guci berbahan tanah liat. Alih-alih membeli arak yang diperdagangkan itu, nenek moyang kita justru tertarik membeli wadahnya sebagai benda koleksi.

Preferensi konsumen tadi memicu perniagaan guci. Jadilah guci-guci dari mancanegara mengalir ke Indonesia. Oleh karena itu, guci-guci tua yang ditemukan di Nusantara adalah yang terindah model dan warnanya, bahkan melebihi yang di Cina sekalipun.

Seperti dinukil Tempayan di Indonesia, tempayan alias guci besar peninggalan dinasti Ming dan Qing ditemukan di makam dan mesjid di Jawa dan Sumatra. Di makam Sunan Gunung Jati Cirebon, Jawa Barat, umpamanya, terdapat tempayan yang kini dikeramatkan.

Pun keraton-keraton di Tanah Air, biasanya memiliki guci-guci tua, salah satunya Kesultanan Kutai Kartanegara. Ingat objek wisata Guci seluas 210 hektare di kaki Gunung Slamet, Tegal, Jawa Tengah?

Legenda menyebutkan, air panas di ketinggian 1.050 m dpl itu pemberian Walisongo kepada orang yang mereka utus untuk menyiarkan agama Islam ke Jawa Tengah bagian barat. Karena sang wali memberikannya dalam guci, masyarakat menyebut tempat pemberian air itu dengan sebutan guci.

Perannya tentu saja bukan sekadar wadah air atau minuman. Peranti itu boleh dibilang multimanfaat. Ia tak bisa dipisahkan dari urusan pertanian. Selain sebagai wadah air, guci juga berfungsi sebagai penyimpan benih sekaligus simbol kesuburan.

Masyarakat Dayak Kayan di Putusibau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, meletakkan guci-guci di dalam lumbung dengan harapan panenan selalu melimpah. Tradisi itu berlangsung sejak ratusan tahun silam.

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Wamentan Soroti Harga Gabah, Tegaskan HPP Gabah Rp6.500 per Kilogram

Trubus.id–Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono menyoroti harga gabah yang hanya mencapai Rp5.000 per kilogram.  Ia menegaskan bahwa harga tersebut sangat...
- Advertisement -

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img