Trubus.id—Mungkin perlu dibedakan pangan cadangan dan cadangan pangan. Cadangan pangan itu seolah-olah hanya urusan pemerintah, sebagaimana diatur dalam UndangUndang Pangan No.18 Tahun 2012.
Pemangkunya ada pemerintah pusat, pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/ kota sampai desa, dan lumbung pangan masyarakat (LPM). Begitu tulis Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian.
Santer terdengar penjaminan kebutuhan beras tercukupi sampai Lebaran. Begitu pula gula, minyak goreng, daging, tepung, cabai, bawang merah, dan bawang putih. Semua diusahakan stabil harganya.
Adapun pangan cadangan itu urusan pribadi atau urusan keluarga. Bagaimana selalu ada makanan di rumah! Pada masyarakat tradisional, lumbung dan gantungan padi, jagung, ubi-ubian selalu jadi pemandangan pada masa lalu. Termasuk gaplek, ubi kayu yang dikeringkan.
Sekarang lumbung atau rangkiang menjadi ornamen dalam arsitektur rumah di Sumatera Barat. Selalu wajib dibangun di samping kantor kerapatan adat. Namun, isinya bukan beras atau pangan cadangan lainnya. Kalau ada pangan cadangan haruslah ditilik dengan saksama di dalam kulkas.
Lemari es memang menjadi perlengkapan rumah tangga Indonesia sejak berkembangnya bisnis properti. Di banyak klaster perumahan, lemari es merupakan bagian terpadu atau bonus bagi pembeli rumah, apartemen, studio, maupun vila.
Pangan cadangan yang secara alamiah berupa kolam ikan, pekarangan dengan pohon sukun, kelapa, pisang, dan kandang sapi, kambing, ayam, itik, angsa dan merpati sudah jarang kelihatan.
Untunglah, pada saat yang sama, kita melihat ragam hidroponik dan pemeliharaan udang, ikan patin, belut dan ikan lele dalam drum-drum di samping atau di loteng rumah.
Cukup banyak keluarga yang membudidayakan tanaman dalam pot, burung puyuh dan kelinci pedaging di seputar tempat tinggalnya. Tujuannya jelas, berjaga-jaga kalau sampai terjadi krisis pangan seperti diakibatkan pandemi virus korona. Ketika isyu “lock down” atau penutupan kawasan merebak, saya mendapat pertanyaan bertubi-tubi: sebaiknya kita menanam apa? Secara spontan saya sarankan ubi!
Pada masa krisis ekonomi 1997—1998 orang memanfaatkan lahan-lahan tidur untuk menanam ubi jalar maupun ubi kayu. Bukan hanya di Jakarta, bahkan sampai ke Medan di tepi kawasan lapangan terbang yang dipercayakan pada lembaga swadaya masyarakat.
Ada Kelompok Kerja Ubi Cilembu yang pada waktu itu mengirim bibit – potongan setek batang yang siap tanam. Sayangnya, program ubi cilembu yang terkenal manis dengan kadar gula yang tinggi itu sulit berhasil di semua tempat.
Adapun yang terbukti menjadi bintang adalah umbi-umbian klasik seperti gembili, suweg, uwi, dan porang. Itulah umbi-umbian yang bernilai ekonomi tinggi. Namun, jangan lupa, waktu tanamnya perlu beberapa bulan bahkan sampai 4 tahun. Jadi, menanam umbiumbian perlu dibiasakan, sekalipun peruntukannya penting pada masa darurat. (Eka Budianta)