Bobot sapi potong baru mencapai 1.500 ton dalam 18 bulan.
Sepintas sosoknya sama dengan sapi potong biasa. Padahal, sapi berumur 9 bulan itu bobotnya mencapai 319 kg. Dengan bobot seberat itu, belgian blue—jenis sapi itu—praktis menjadi sapi “monster”. Bagaimana tidak, pada umur sama bobot sapi peranakan ongole (PO) yang biasanya dipelihara warga desa paling banter baru 150 kg. Sementara jenis unggul yang dikembangkan perusahaan sapi potong—simmetal, angus, atau brahman—pun baru mencapai 180 kg pada umur sama.
Dr Ir Syahruddin Said MAgr, periset bioteknologi reproduksi ternak di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan, belgian blue hasil silangan antara sapi lokal di Belgia dan jenis shorthorn asal Inggris. Karakternya jinak, bobot karkas tinggi, dan menghasilkan daging berkualitas premium—empuk dan rendah kolesterol. “Itu sebabnya belgian blue disebut the ultimate beef machine,” kata Syahruddin.
Inseminasi buatan
Belgian blue mengalami mutasi genetik dan kehilangan gen penghambat pertumbuhan otot dan mengganggu penumpukan lemak. Hasilnya otot belgian blue berlipat—lazim disebut otot ganda—dan bebas lemak. Otot sapi dewasa tampak menonjol layaknya binaragawan yang sedang beraksi. Dengan bobot 319 kg pada umur 9 bulan, Syahruddin memperkirakan belgian blue bakal berbobot 1,5—2 ton saat berumur 1,5 tahun.
Biasanya bakalan sapi pedaging memerlukan waktu 2—2,5 tahun untuk mencapai bobot 200—250 kg. “Untuk mencapai bobot siap potong, sekitar 500 kg, sapi bibit unggul membutuhkan waktu 4 bulan, sedangkan bibit lokal 6 bulan,” kata Syahruddin. Mengetahui kelebihan itu perusahaan sapi potong PT Karya Anugerah Rumpin (KAR) di Bogor, Jawa Barat, mendatangkan sperma belgian blue dari negara asalnya dan menginseminasi indukan sumba ongole—persilangan sapi india dengan sapi lokal—pada Oktober 2013.
Setelah bunting 9 bulan, indukan itu melahirkan pedet sehat dengan pertumbuhan sangat baik. Direktur operasional PT KAR, Karnadi Winanga, menduga sifat adaptif induk meningkatkan kemampuan hidup pedet itu. Maklum, pengalaman inseminasi buatan mereka sebelumnya tidak terlalu memuaskan. Pada 2012, PT KAR pernah menginseminasi buatan sapi FH alias jenis perah.
Sayang, pedet yang lahir ringkih dan akhirnya mati akibat radang paru-paru. Syahruddin menduga lemahnya daya tahan pedet lantaran kedua induknya sama-sama jenis asal Eropa. Ia pun menyarankan PT KAR menggunakan indukan lokal. Di negara asalnya, 60% kelahiran belgian blue dilakukan dengan pembedahan karena ukuran janin yang sangat besar, hingga 60 kg.
Lazimnya bobot lahir pedet lokal hanya 15—20 kg, sedangkan pedet jenis unggul berkisar antara 35—40 kg. Untuk mencegah kejadian itu, PT KAR melakukan manajemen pakan. Caranya dengan mengurangi asupan protein pada indukan bunting hingga 14%. Hasilnya, induk mampu melahirkan anakan berbobot 31,5 kg secara normal. Pedet belgian blue membutuhkan 7—12 liter susu per hari sampai berumur 4 bulan.
Adaptasi cepat
Untuk memenuhi kebutuhan protein harian 24%, Karnadi memberikan campuran konsentrat dan hijauan. Campuran konsentrat terdiri atas biji-bijian, onggok, bungkil sawit, dan kedelai. Pemberian pakan 2—3% bobot sapi atau sekitar 8 kg pakan per hari. Pemberiannya dua kali sehari. Pada pakan pagi pukul 8.00, diberikan 40% atau sekitar 3,2 kg, sedangkan pada pukul 13.00 sebanyak 60% atau sekitar 4,8 kg. Hijauan diberikan terpisah, sejam setelah konsentrat.
Menurut Prof Dr Herry Agoes Hernadi MSc, peneliti reproduksi di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya, sifat unggul belgian blue di PT KAR lantaran ia lahir di sana. “Kalau didatangkan hidup dari Belgia, bisa jadi adaptasinya lebih lama,” kata Herry. Namun, ia menganjurkan agar lingkungan pemeliharaan sebisa mungkin dibuat menyerupai tempat asalnya agar keunggulan sapi itu terjaga.
Sejauh ini PT KAR belum memperbanyak belgian blue secara komersial. Pemeliharaan di sana baru sebatas penelitian. Mereka bekerja sama dengan LIPI bertujuan memperbaiki genetik sapi lokal, pembibitan, pembiakan, dan pembesaran sapi unggul untuk mencapai swasembada daging pada 2019. Dalam penjelasannya kepada Trubus, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Prof Mohamad Nasir PhD Ak menyatakan, pihaknya berperan menjembatani peneliti dan dunia usaha sehingga produk penelitian menjadi bermanfaat.
“Jika penelitian dapat menghasilkan produk unggul dengan nilai tambah tinggi dan berdampak ekonomi, barulah penelitian itu berguna bagi masyarakat,” kata Nasir. Ia berharap nantinya kebutuhan daging dalam negeri terpasok oleh peternakan masyarakat tanpa perlu mengimpor sapi. (Muhammad Awaluddin)