Monday, March 3, 2025

Berjaya di Bisnis Kelapa

Rekomendasi

Hampir 30 tahun Imam Nurhidayat mengolah buah kelapa menjadi beragam komoditas untuk memasok pasar ekspor dan domestik.

Imam Nurhidayat mengolah minyak kelapa murni atau virgin coconut oil (VCO) sejak 1989.

Tempurung kelapa yang utuh bagai penyihir. Begitulah cerita rakyat di Portugis. Mereka menyebutnya coco—digunakan untuk menyebut nama genus Cocos nucifera. Imam Nurhidayat benar-benar “tersihir” oleh kelapa yang serbaguna itu. Sejak 1989 Imam rutin mengolah kelapa. Semula ia hanya mengolah daging buah menjadi minyak kelapa murni atau virgin coconut oil (VCO) pada 1989.

Kini Imam Nurhidayat rutin memproduksi minyak kelapa murni minimal 5 ton per bulan. Pria kelahiran Bondowoso, Jawa Timur, 53 tahun lalu itu menggandeng warga di Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul, Provinsi Yogyakrta, untuk memproduksi minyak perawan itu. Imam menampung produksi mereka untuk memasok pasar ekspor dan pasar domestik.

Tanpa limbah

Selain memproduksi VCO, Imam itu juga menghasilkan minyak kelapa. Berbeda dengan minyak kelapa untuk menggoreng, minyak kelapa murni (VCO) mengalami fermentasi sehingga rantai trigliserida memendek. Volume produksi mencapai 30 ton minyak kelapa per bulan. Sebagian daging buah kelapa itu Imam olah menjadi santan segar sebanyak 6 ton per bulan. Imam juga mengolah tempurung kelapa menjadi 5 ton asap cair pangan.

Asap cair hasil pembakaran tempurung kelapa itu berfaedah sebagai pengawet makanan karena bersifat antibakteri. Adapun arang tempurung bekas pembakaran itu menjadi bahan baku briket. Praktis tak ada limbah atau bahan terbuang dari olahan kelapa. Dari satu buah, Imam menghasilkan beragam komoditas yang mendatangkan keuntungan. Apalagi kini minyak kelapa murni (VCO) kembali tren.

Pemicunya, gaya hidup diet ketogenik yang makin banyak pelakunya. Diet itu menganjurkan asupan tinggi lemak sehat, salah satunya minyak kelapa murni. Dampaknya permintaan VCO pun terdongkrak. Bagi Imam kondisi itu berkah. Namun, bukan berarti Imam tidak menghadapi kendala. Dalam berbisnis kelapa, Imam menemui banyak aral (baca boks: Kendala Berniaga Kelapa)

Gula merah, salah satu hasil dari pohon kelapa yang laku diekspor.

Imam membuktikan bahwa mengolah kelapa sangat menguntungkan. Itulah sebabnya, “Saya geregetan kalau bicara tentang kelapa,” kata Imam Nurhidayat. Pendiri Coconut Center Indonesia (CCI) pada 2004 itu menuturkan, penanaman kelapa di Indonesia luasnya 3,7 juta hektare dan dimiliki sekitar 3 juta rumah tangga. Sayang, kelapa itu bukan sumber pendapatan utama bagi masyarakat. Kelapa hanya memberikan penghasilan sampingan, sementara pemilik menekuni profesi lain.

Mereka bekerja menjadi nelayan, petani sawah, maupun tanaman hortikultura, atau bekerja di tempat orang lain. Musababnya penghasilan dari kelapa Cocos nucifera tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. “Masalah utamanya adalah pola pikir,” kata Imam. Hampir semua pemilik pohon menjual kelapa utuh. Akibatnya harga yang mereka peroleh relatif rendah. Ketika harga kelapa di pasar mencapai Rp5.000 per buah, pekebun hanya mendapat Rp800—Rp2.000 per buah.

Pendampingan

Arang tempurung kelapa diminati mancanegara.

Sebuah kelapa tidak hanya menghasilkan daging buah. Oleh karena itu, Imam mendirikan Coconut Center Indonesia (CCI) pada 2004. Lembaga itu fokus mendampingi dan meningkatkan taraf ekonomi pekebun kelapa serta keluarga mereka. Melalui CCI, Imam konsisten membangun perekonomian pekebun kelapa hingga kini. Yang terakhir, ia tengah menggagas industri kelapa terpadu milik masyarakat di Pulau Padangtikar, Kabupaten Kuburaya, Provinsi Kalimantan Barat.

“Pabriknya sesuai standar industri, tapi pemiliknya masyarakat pekebun kelapa,” kata Imam. Pekerja pabrik bisa berasal dari masyarakat maupun dari luar, yang jelas pekerja mereka memperoleh gaji sesuai standar setempat. Keuntungan pabrik itu menjadi penghasilan masyarakat. Imam merencanakan pabrik itu mengolah kelapa menjadi berbagai produk. “Daging, tempurung, serabut dimanfaatkan. Tidak ada yang terbuang, air kelapa pun diolah menjadi minuman atau pupuk organik cair,” katanya.

Dua tahun terakhir, masyarakat setempat mulai mengolah tempurung yang menjadi produk sampingan pembuatan kopra. Asap dari pengarangan tempurung itu tidak ditangkap menjadi asap cair. Serabut menggunung tak termanfaatkan, air kelapa pun mengalir sia-sia ke pelimbahan. Kelak setelah pabrik terwujud, bahan-bahan itu menjadi rupiah. Sebelum menggagas pengolahan kelapa terpadu milik masyarakat itu, Imam Nurhidayat mendesain beberapa alat untuk industri kecil.

Salah satunya pengurai serabut yang menghasilkan sabut serat panjang. Prinsip semimanual dan padat karya membuat alat itu sesuai untuk industri rumah tangga. Dengan konstruksi sederhana, harga alat itu relatif terjangkau, mudah dirawat, dan mudah diperbaiki. Ia juga mendesain pemadat sistem ulir untuk menghasilkan briket tempurung berdensitas lebih dari 90%. Briket itu memanfaatkan tempurung kelapa.

Serabut kelapa, serat sabut, dan serbuk sabut kelapa (cocopeat), semua ada pasarnya.

Hal yang paling mendesak dibereskan saat ini, menurut Imam, adalah mental pekebun. “Pasar menuntut produk dengan kualitas ajek dan kuantitas sesuai permintaan, sedangkan Industri menginginkan kapasitas produksi tertentu untuk mencapai efisiensi,” ungkapnya. Kini kedua hal itu belum imbang karena industri yang ada berskala rumah tangga. Jika mempertahankan kualitas, volume produk tidak mencukupi permintaan.

Produk turunan

Nata dari air kelapa menjadi sumber serat alami yang menyehatkan.

Imam Nurhidayat terus berupaya meningkatkan nilai tambah produk. Ia berkongsi dengan Prof. Dr. Bambang Setyaji dari Jurusan Kimia Universitas Gadjah Mada pada 2006. Mereka mendirikan CV Pusat Pengolahan Kelapa Terpadu (PPKT), yang membuat beberapa jenis kosmetik berbahan VCO. Dari tangan mereka lahirlah calir atau losion, sabun, krim wajah, dan sampo—semua berbahan VCO.

Imam konsisten memperkuat industri kecil lantaran yakin industri kecil tahan banting. Musababnya, “Industri kecil rumah tangga menyerap tenaga kerja lokal dan menggunakan sumberdaya lokal,” kata suami Julia Yosefa itu. Salah satu kunci agar industri kecil mampu bertahan adalah penerapan teknologi, yang saat ini terkesan menjadi barang mewah. Padahal di Thailand atau Filipina, industri pengolah kelapa kelas rumahan menggunakan teknologi separasi dalam produksi VCO.

Dengan cara itu, dalam 1 jam santan menjadi VCO berkualitas. Bandingkan dengan industri rumahan VCO di tanah air, yang setiap proses makan waktu 8 jam. Jika waktu pengolahan itu bisa dipangkas, pelaku industri mempunyai waktu untuk mengolah produk lain. Makin banyak olahan, kian besar pula pendapatan sang pelaku industri kecil.

Asap cair, produk samping dari pengarangan tempurung yang laku dijual.

Industri kecil yang menguntungkan akan mampu bertahan dan menyerap tenaga kerja lokal sehingga menghambat laju urbanisasi. “Kesejahteraan masyarakat di sentra kelapa meningkat sehingga peredaran uang tidak lagi terpusat di kota besar,” tutur Imam. Potensi ada, pasar terbuka, tinggal menghubungkan keduanya. Itulah yang kini Imam Nurhidayat lakukan. (Argohartono Arie Raharjo)

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Daya Tarik Padi Jarwo

Hamparan sawah untuk budidaya padi jajar legowo menjadi daya tarik wisatawan. Trubus.id-“Mulyaharja ini surga tersisa di Kota Bogor.” Muhammad Khoerudin...

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img