Trubus.id—Di atas meja putih berderet-deret empat piring putih. Piring-piring itu berisi katsu yang ditata bersama selada, tomat, irisan mentimun, dan sambal. Tampilannya menggugah selera. Sore itu Manager of Field Relations and Security PT Medco E&P Malaka, Andri Hapsari menggunakan ujung tusuk satai yang runcing untuk mengambil potongan katsu. Setelah menguyah, Andri terdiam sejenak. Wajah Andri berseri-seri ketika mengatakan, “Saya tidak menyangka jamur bisa seenak ini.” Ya, katsu itu memang berbahan baku jamur tiram (Pleurotus ostreatus).
Empat kelompok peserta pelatihan di Rumah Pemberdayaan Ibu dan Anak (RPIA) mengikuti lomba olahan katsu jamur. Setiap kelompok terdiri atas lima peserta. Mereka mengolah jamur tiram sesuai pemaparan narasumber pelatihan, Rina Kania Dewi, S.E. pada hari sebelumnya (6/11). Penyelenggara pelatihan PT Medco E&P Malaka bekerja sama dengan Medco Foundation dan Majalah Trubus.
Juara lomba
Panitia pelatihan menyediakan semua bahan baku (jamur tiram, telur, tepung maizena, tepung roti), bumbu (garam, lada, kaldu), peralatan, dan perlengkapan untuk mengolah katsu jamur. Waktu mengolah juga dibatasi, hanya 40 menit. Panitia melombakan hasil olahan mereka yang tersaji di atas meja itu. Andri salah satu juri lomba. Juri lainnya adalah Maulidar Putra (Lead Field Relations and Community Enhancement), Septi Ayu Virgilisa (Officer Public and Government Relations), keduanya dari PT Medco, serta Rina Kania Dewi (pengusaha olahan jamur di Kota Bandung).
Mereka mengamati penampilan penganan yang tersaji di atas piring terlebih dahulu sebagai salah satu penilaian. Maulidar yang mendapat giliran keempat berdiri agak lama untuk mengamati penampilan. Sampai-sampai Andri mengajaknya untuk mencicipi katsu jamur itu. “Ntar, mengamati dulu,” ujar Maulidar. Selain itu para juri juga menilai citarasa dan tekstur katsu jamur.
Officer Community Enhancement PT Medco, Abdul Hamid, turut mencicipi katsu jamur 15 menit sebelum para juri menilai. Menurut Hamid penampilan katsu-katsu itu sangat menarik. Sepintas bukan berasal dari jamur. Pada umumnya katsu di Indonesia berbahan baku daging ayam. Setelah mencicipi beberapa potong katsu itu Hamid mengatakan, “Saya tidak ‘ngeh’ jika katsu itu berbahan baku jamur.” Citarasa katsu jamur itu mirip sekali idengan katsu ayam. Jika di tempat umum dan penjual tidak memberi tahu bahan baku, bisa jadi pembeli tak menyangka katsu itu berbahan baku jamur tiram.
Selain katsu jamur anggota famili Pleurotaceae itu, panitia juga melombakan abon berbahan baku daging lele. Sehari sebelumnya mereka juga mendapatkan pengetahuan abon lele dari narasumber. Tiga juri katsu jamur juga menilai abon lele. Posisi Rina Kania Dewi digantikan oleh Lina T. Gempur, pengusaha aneka olahan lele di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Segi penilaian relatif sama yakni penampilan, citarasa, dan tekstur.
Di luar sejatinya panitia juga mengamati ketepatan waktu dan kekompakan tim sebagai tambahan nilai bagi setiiap kelompok. Panitia membatasi olahan abon hanya 45 menit. Waktu pengolahan relatif singkat karena bahan baku berupa daging lele sudah dikukus terlebih dahulu hingga matang. Panitia lalu menjumlahkan nilai kedua olahan itu (katsu jamur dan abon lele) untuk menentukan juara lomba.
Rasa cumi-cumi
Para peserta lomba berkumpul di teras RPIA yang cukup jembar dan bersih. Sementara di hadiah-hadiah untuk sang jawara juga telah disiapkan. Setelah panitia dan juri berembuk akhirnya memutuskan, kelompok dua dengan perolehan nilai 1.950 menjadi yang terbaik. Sementara iitu kelompok satu (1.860) meraih peringkat kedua dan kelompok tiga (1825) juara ketiga. Panitia juga mengganjar kelompok empat dengan hadiah hiburan.
Hanya itu? Tidak, panitia juga menetapkan Siti Fatimah mewakili Kecamatan Indramakmur dan Liana Hasanudin (Kecamatan Julok) menjadi peserta terbaik. “Saya merasa senang mengikuti pelatihan ini karena ilmu saya bertambah. Saya akan sebarkan pengetahun ini kepada anak-anak dan warga terdekat,” ujar Fatimah yang menjadi guru di sebuah Sekolah Menengah Kejuaruan itu usai penobatan itu. Ia berharap bisa mempraktikkan keterampilan baru itu agar membangun kewirausahaan untuk memajukan ekonomi daerah.
Sejatinya keempat kelompok itu juga menyajikan satai berbahan jamur tiram. Namun, panitia tidak melombakan hidangan itu. Peserta memilah jamur tiram berukuran besar dan memotong bagian kaki jamur yang kotor. Mereka merendam jamur tiram dalam air panas sesaat, lalu menusukkan bambu (tusuk satai) layaknya gerakan orang menjahit kain. Artinya jamur dalam keadaan utuh, tanpa pemotongan. Peserta membakar satai itu di atas arang yang membara.
Keruan saja para peserta juga melengkapi satai itu dengan bumbu kacang yang lezat. Tampiilan satai itu amat ciamik. Sepiring satai jamur yang disajikan panitia kepada pengelola RPIA langsung ludes dalam sekejap. Oktin Catur Palupi dari Medco Foundation turut mencicipi satai itu. Setelah menggigit batang jamur yang kenyal, kres, kres, Oktin menyimpulkan, “Rasanya seperti cumi-cumi, ya.” Rekan-rekannya, Oky, Nisa, Maya, dan Mayunidar, menyetujui kesimpulan itu. Menurut Oky, satai jamur tiram juga amat smoky.
Menurut juri sekaligus narasumber pelatihan, Rina Kania Dewi dan Lina T. Gempur, penampilan aneka olahan seperti satai, abon, naget sangat bagus. Demikian pula citarasanya. “Ini baru sekali belajar mengolah sudah sangat bagus. Nanti seiring dengan pengalaman, citarasa dan tampilan akan lebih bagus,” ujar Rina. Itulah bekal mereka berwirausaha agribisnis, meski banyak tantangan. Seperti peribahasa Latin, Ad astra per aspera. Peserta harus melewati tantangan agar mampu menuju bintang. (Sardi Duryatmo)