Industri herbal yang terus berkembang dan bertahan hingga kini.
Kuku Bima, Tolak Angin, dan STMJ hanya beberapa gelintir produk herbal yang memasyarakat. Produsen minuman berbahan herbal itu PT Sido Muncul di Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Hampir di seluruh kios jamu ketika Sido Muncul merilis Kuku Bima, terpampang spanduk bergambar tokoh pewayangan Werkudara memamerkan kuku di ibu jarinya. Dekade berikutnya, 1990, produk susu telur madu jahe (STMJ) memimpin pasar.
Di mana-mana orang mengonsumsi STMJ. Hampir setiap rumah menyimpan kemasan praktis siap konsumsi itu untuk dinikmati sewaktu-waktu. Itu salah satu kelebihan STMJ, yaitu praktis dibawa dan dinikmati setiap saat. Kelebihan STMJ terutama adalah bentuk serbuk plus gula yang praktis. Hanya menuangkan air panas tanpa perlu menambahkan gula, susu, madu maupun bahan lain. Konsumen langsung bisa menikmati dan merasakan khasiat ramuan legit yang nikmat itu.
Terus berkembang
Kelebihan lain STMJ bercitarasa bersahabat dengan lidah sehingga hampir seluruh masyarakat Indonesia menerima STMJ. Itu mematahkan stigma konsumsi jamu identik dengan etnis Jawa. Sido Muncul menjadi lokomotif industri jamu tanahair, meninggalkan produsen-produsen lain jauh di belakang. Konsekuensi lain yang harus dihadapi adalah keterbatasan tempat. Pabrik di Kaligawe, Kabupaten Semarang, semakin terasa sesak.
Hilir-mudik truk yang masuk membawa bahan baku silih berganti dengan truk yang keluar mengangkut produk. Relokasi alias pemindahan tempat menjadi satu-satunya jalan keluar. Pada 1997 Sidomuncul membangun pabrik di Klepu, Ungaran, Kabupaten Semarang. Mereka mendapat kehormatan berupa peletakan batu pertama oleh Sultan Yogyakarta, Hamengkubuwono ke-10. Alat-alat produksi di dalamnya tidak main-main, dipesan dan didatangkan dari Jerman.
Tiga tahun kemudian, pabrik Klepu rampung. Sido Muncul pun membedol dapur produksinya dari Kaligawe ke lokasi baru seluas 8 ha itu. Pabrik berjarak sejam perjalanan dari pusat Kota Semarang itu memberikan keleluasaan untuk berkembang. Saat Trubus mengunjungi pabrik Klepu pada Maret 2017, luas pabrik Klepu berkembang menjadi 36 hektare. Kini Sido Muncul tidak hanya memproduksi jamu, tetapi juga berbagai produk kesehatan lain.
Mereka melebarkan sayap ke industri suplemen kesehatan, pangan, ekstrak bahan alam, kemasan, dan pupuk organik. Pada 1 September 2014, Sido Muncul mengakuisisi sebuah industri farmasi di Yogyakarta, Berlico Mulia Farma. “Sekarang industri farmasi menyaingi pabrik jamu dengan membuat produk herbal. Kami juga bisa membuat produk farmasi,” kata Direktur Utama Sido Muncul, Irwan Hidayat.
Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula terpaan angin. Berbagai tudingan kerap menerpa Sido Muncul. Namun, tak satu pun tudingan itu terbukti. Sido Muncul tetap bertindak. “Saat ini kami membangun instalasi pengolah limbah tambahan yang diperkirakan rampung 2017. Lagi pula kalau dipikir, apa limbah pabrik jamu yang membahayakan lingkungan? Kami tidak menggunakan pewarna atau bahan kimia berbahaya apa pun,” kata Manajer Senior Humas Sido Muncul, Nanik R Soemarno.
Kepercayaan tinggi
Sejatinya tanpa tuduhan macam-macam dari luar pun industri herbal sudah mempunyai masalah besar, yaitu kepercayaan. “Bisnis paling sulit adalah pabrik jamu. Sulit sekali membuat konsumen percaya,” ucap Irwan Hidayat. Untungnya, Irwan mampu menakhodai bahtera Sido Muncul dengan baik sampai kini. Tentu saja hal itu terkait erat dengan standar tinggi yang ia tentukan. Irwan membuat laboratorium yang bekerja 24 jam pada 2000.
Uji mutu, kendali mutu, dan pengembangan produk tanpa henti dalam bangunan di lahan seluas 3.000 m² itu. Irwan melakukan itu semua jauh sebelum pemerintah menerapkan standar cara pembuatan obat tradisional yang baik (CPOTB). Ketatnya pengujian tergambar di ruang penyimpanan sampel. Setiap batch (1 kali produksi dari penampung ramuan berkapasitas 1 m³, red) memiliki kode khusus dan disimpan selama 3 tahun dalam ruang penyimpanan.
“Jika ada keluhan, kami bisa mendeteksi batch mana yang dipasarkan ke daerah asal konsumen yang mengeluh. Nantinya kode batch di wilayah itu kami cocokkan dengan kondisi sampel batch di ruang penyimpanan,” tutur Irwan. Jika sampel di penyimpanan baik, maka kerusakan produk mungkin terjadi dalam proses pengiriman maupun penyimpanan di tempat pengecer. Sebaliknya, kalau sampel di penyimpanan rusak, jelas bahwa kesalahan terjadi sejak produksi.
Prosedur ketat dan standar tinggi itu terbukti oleh kepercayaan masyarakat. “Produk Sido Muncul lebih dipercaya daripada produk impor,” kata Irwan. Kepercayaan itu bahkan melampaui batas negara. Pada 2017 ini, Irwan merencanakan membuka kantor pemasaran di Manila dan Tokyo. Jepang dipilih karena masyarakat Negeri Sakura itu tergolong konsumen herbal fanatik. Sekali percaya, mereka akan terus mengonsumsi merek itu.
Kendalanya, konsumen Jepang sangat cerdas. Itu sebabnya Irwan memandang pasar Jepang sebagai pasar tersulit. Toh, usia 70 tahun tidak mengurangi nyali bisnisnya. “Merintis pasar di tempat tersulit menjamin keberhasilan di pasar lain. Sekali tertembus, pasar negara lain terbuka lebar,” ujar pria bertubuh ramping itu.
Impian terwujud
Sido Muncul yang terus berkembang bermula dari sebuah impian pasangan suami istri Rakhmat Sulistio dan Go Djing Nio. Semula mereka mengupayakan peternakan sapi perah dan usaha pemerahan susu di Ambarawa, Kabupaten Semarang, yang sejuk dan tenang. Pada dekade 1920, pasangan muda Rakhmat Sulistio memilih kecamatan yang teduh itu untuk membuka usaha pemerahan susu, yang mereka beri nama Melkrey.
Gonjang-ganjing resesi dunia pada 1928 mengakibatkan perlambatan ekonomi global, termasuk di Indonesia yang saat itu dikuasai Belanda. Melkrey merugi dan gulung tikar. Rakhmat dan istrinya lantas pindah ke Surakarta dan mendirikan pabrik roti yang mereka beri nama Roti Muncul. Usaha mereka di Kota Sunan itu berkembang sehingga Go Djing Nio, istri Rakhmat, ingin kembali menekuni keahliannya meracik jamu.
Nio lantas mengajak Rakhmat membuat usaha peracikan jamu di Yogyakarta pada 1935. Pada 1941, Nio memperkenalkan racikan yang kelak melegenda sebagai ramuan Tolak Angin. Usaha pembuatan jamu tradisional itu pun mulai dikenal di Yogyakarta. Malang tak dapat ditolak, perang kemerdekaan yang berkobar di sana memorak-porandakan peracikan jamu yang masih belia itu. Agresi militer 1949 itu meluas hingga Surakarta, membuat pasangan Rakhmat dan Nio memutuskan pindah ke Semarang dan meneruskan usaha jamu yang mereka mulai di Surakarta.
“Mendirikan pabrik jamu adalah keinginan almarhumah nenek saya sejak lama, yang harus tertunda berkali-kali karena kondisi. Hal itu menjadi impian baginya,” ungkap Irwan Hidayat, cucu ke-6 dari 46 cucu almarhumah Go Djing Nio dan direktur PT Sido Muncul. Di Trenggulun, Kota Semarang itulah nama Sido Muncul—artinya impian yang terwujud—lahir pada 1951.
Saat itu Sido Muncul mengandalkan jamu Tujuh Angin yang racikannya tercipta di Yogyakarta (baca boks: Konsistensi Tolak Angin). Seiring perkembangan pasar, Sido Muncul meluncurkan jamu-jamu lain yang banyak digemari masyarakat saat itu. Segmen yang disasar antara lain perawatan kewanitaan (jamu nifas dan resikda), stamina dan vitalitas pria (jamu kuku bima dan STMJ), dan jamu untuk anak-anak.
Produksi pun meningkat pesat sehingga lokasi di Trenggulun tidak lagi memadai. Pada 1984, Sido Muncul memindahkan pabrik ke Lingkungan Industri Kecil di Kaligawe, Kota Semarang. Sejak berlokasi di Kaligawe, permintaan meningkat pesat. Sido Muncul pun terus berkibar hinngga kini. (Argohartono Arie Raharjo)