Padahal pepaya hawaii berukuran sama, paling Rp2.000—Rp3.000/kg. Bangkok malang malah hanya Rp800/kg. Jangan dulu memvonis mahal, lantaran pepaya produksi WAL di Mojokerto itu istimewa.
Trubus membuktikan sendiri saat disuguhi di kebun WAL di Pucangrejo, Desa Wonosalam, Mojo agung , Mojokerto . Cara menyantapnya, buah masak dibelah dua dan bijinya dikeluarkan. Daging merah jingga setebal 3 cm dicungkil menggunakan sendok. Begitu masuk ke mulut, manisnya membuat lidah tak henti berdecak. Itu pepaya termanis yang pernah Trubus cicipi. Tekstur daging padat, tapi juicy dengan citarasa khas pepaya yang kuat. Dalam sekejap pepaya mungil itu pindah ke perut.
Sepintas sosoknya mirip varietas solo, andalan Malaysia. Hanya saja pepaya dari Wonosalam itu lebih bulat dan berbelimbing di bagian pantat. Ukurannya pun lebih kecil, bobot hanya 300—400 g per buah atau 2—3 buah/kg. Solo, 400—700 g. Bila dibelah melintang, terlihat rongga kecil, daging berbentuk bintang. Lantaran itulah ia dinamakan pepaya bintang.
Dari Taiwan
Benih si bintang itu diperoleh Vincent Edi Jasin—pemilik WAL—pada 2001 dari seorang pemulia perusahaan benih terkemuka di Taiwan. Di sana waktu itu pepaya baru itu belum dikembangkan secara komersial karena masih dalam tahap penelitian. Vincent beruntung jadi salah seorang yang mendapatkan benihnya.
Penanaman pertama di Wonosalam pada 2002. Benih ditanam di daerah berketinggian 300 m dpl. Total populasi 80 pohon. Tanaman itu tumbuh subur dan mulai berbuah pada umur 7 bulan. Dua bulan kemudian buah sudah dipetik. Panen berikutnya dilakukan setiap 2 minggu. Dari setiap pohon dipetik 2—3 buah.
Hasil panen diterima 2 pasar swalayan di Surabaya. Maklum selain buah manis, ukuran kecil pas untuk sekali santap. Pepaya seperti itu memang mulai digandrungi konsumen. Buktinya, “Dipasok 10 kg/hari pun mereka (pasar swalayan, red) mau, “ucap Daniel Kristanto, penanggung jawab kebun. Saat ini WAL baru sanggup memasok 40—60 kg per 2 minggu. Makanya, permintaan pasar swalayan lain terpaksa ditolak.
Siap santap
Yang tak kalah istimewa, yellow papaya yang diboyong Chandra E. Gunawan pada 2001 dari Thailand. Menurut pemilik Godongijo Nursery di Sawangan, Depok, di negeri Gajah Putih si kulit kuning juga tergolong baru. “Belum ada yang mengebunkan secara khusus di sana,” tutur kolektor tanaman langka itu.
Disebut yellow papaya lantaran sejak buah seukuran bola pingpong kulit sudah kuning. Semakin tua, kulit kian cerah. Bentuk lonjong, ketika dibelah, daging merah agak pucat, tebal, dan padat. Rasanya manis melebihi pepaya bangkok asal Malang.
Hasil pelacakan Trubus di Thailand, pepaya itu kini mengisi hampir semua toko buah di kawasan Chatuchak, Bangkok. Ia dipasarkan dalam 2 bentuk: utuh dan siap santap.
Buah siap santap disajikan tanpa kulit dan dibelah kecil-kecil. Lalu ditata di atas piring styrofoam dan dibungkus plastik. Per pak berbobot 500 g dijual 40 baht, setara Rp8.000. Harga buah utuh lebih miring, 30 baht atau Rp6.000/buah, berukuran maksimal 500 g. Kulit kuning kombinasi daging merah mengundang selera untuk mencicipi. Tanpa terasa, 1 buah Trubus habiskan tanpa beranjak dari tempat duduk. (Syah Angkasa/Peliput: Bertha Hapsari)