Meski berpendidikan magister, Rici Solihin, S.E., M.Si., memilih berkebun paprika. Ia membuktikan gaji petani paprika lebih besar daripada gaji pegawai. Sayang, ayahnya tak bisa melihat kesuksesan Rici.
Trubus — “Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau hanya jadi petani?” Itulah pertanyaan yang terlontar dari orang tua saat Rici Solihin menyampaikan keinginannya berkebun paprika. Banyak orang tua bermimpi anaknya bekerja kantoran atau menjadi pegawai negeri. Orang tua Rici khawatir menjadi petani rentan merugi karena tingkat keberhasilannya tidak pasti. Namun, pemuda asal Kota Bandung, Jawa Barat, itu membuktikan bahwa pendapatan petani juga besar.
Rici tak salah langkah. Kini peraih Magister Sains dari Universitas Padjadjaran itu memiliki 4 rumah tanam dengan luas masing-masing 500—700 m² di Desa Pasirlangu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Tiga rumah tanam di antaranya untuk membudidayakan paprika, satu lagi untuk membudidayakan mentimun jepang alias kyuri dan tomat ceri. Ia bahkan sedang membuat rumah tanam baru dengan luas sekitar 500 m².
Jalin kemitraan
Rici menanam paprika secara bergilir. Saat Trubus berkunjung pada akhir Agustus 2017, tanaman di salah satu rumah tanam paprika siap panen, tanaman di satu rumah tanam lainnya baru setinggi paha orang dewasa atau berumur sekitar 2 bulan setelah tanam. Adapun rumah tanam lainnya baru saja selesai masa produksi. Seluruh tanamannya dibongkar dan siap penanaman tanaman baru.
Dengan pola produksi bergilir itu, Rici rutin memanen rata-rata 1 ton paprika per bulan terdiri atas 600 kg paprika hijau, 300 kg (paprika merah), 100 kg (paprika kuning). “Harga tertinggi bisa mencapai Rp50.000 per kg,” tutur pemilik perusahaan bernama Paprici Segar Barokah itu. Panen terakhir pada Agustus 2017 harga paprika relatif bagus.
Harga jual buah lonceng di tingkat petani mencapai Rp10.000—Rp25.000 per kg untuk paprika hijau, Rp40.000 paprika merah, dan Rp50.000 paprika kuning. Omzet Rici dari perniagaan paprika rata-rata Rp30 juta per bulan. Ia menjual hasil panen ke perusahaan pemasok pasar swalayan di Bandung, Jakarta, dan berbagai daerah di Pulau Jawa. Harga jual paprika berfluktuasi. “Fluktuasi harga biasanya dipengaruhi sikap latah petani,” turut Rici.
Saat harga tinggi, para petani beramai-ramai menanam paprika sehingga saat panen harga bisa anjlok hingga Rp7.000 per kg. Pada saat anjlok itulah mereka pun berhenti menanam. Akibatnya, pada musim tanam berikutnya harga kembali tinggi karena pasar kekurangan pasokan. Selain hasil panen dari kebun sendiri, Rici juga memperoleh pasokan dari pekebun mitra yang tergabung dalam Kelompok Tani Segar Barokah dan Kharisma.
Hingga kini terdapat 10 petani yang bergabung dalam Kelompok Tani Segar Barokah dan 30 petani dalam Kelompok Tani Kharisma yang bergabung menjadi mitra. Jumlah pasokan petani mitra bervariasi karena musim tidak menentu. Menurut Rici volume pasokan paprika saat ini belum mencukupi permintaan pasar. Ia juga memasok aneka jenis sayuran lain, seperti tomat kentang, dan cabai. Pemuda 27 tahun itu memperoleh pasokan dari petani di berbagai daerah seperti Kabupaten Garut (tomat), Pangalengan, Kabupaten Bandung (kentang), dan Kabupaten Tasikmalaya, (cabai).
Dengan tambahan pasokan dari petani mitra, Rici memperoleh omzet total hingga Rp50 juta per bulan. Sebagian dari pendapatan itu ia sisihkan untuk menambah investasi. “Saya punya target setiap tahun bertambah satu rumah tanam,” tutur peraih gelar master bidang manajemen operasional Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadajaran. Keberhasilan Rici saat ini seakan menjawab kekhawatiran orang tua. “Sayangnya ayah sudah meninggal,” tutur Rici.
Balik modal
Bisnis paprika Rici saat ini terus berkembang. “Namun, sebetulnya banyak kendala saat memulai,” ujar anak ketiga dari empat bersaudara itu. Orang tua sempat ragu saat Rici ingin menjadi petani. Berbagai upaya Rici lakukan untuk meyakinkan mereka. Ia menyodorkan rencana bisnis paprika yang ia susun saat menyelesaikan tugas akhir saat kuliah S1 di Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran.
Berdasarkan hitung-hitungan Rici, bisnis paprika menjanjikan keuntungan tinggi. Orang tua Rici pun akhirnya luluh. Berbekal rencana bisnis itu, ia pun mengikuti berbagai kompetisi wirausaha. Beberapa di antaranya berhasil menjadi juara. “Sebanyak 80% modal usaha saya peroleh dari hadiah lomba, 20% lagi dari tabungan hasil berdagang sayuran dan tambahan modal dari orang tua,” ujar pemuda 27 tahun itu.
Dengan modal Rp60 juta, pada 2012 Rici membangun sebuah rumah tanam berkerangka bambu seluas 500 m². Rumah tanam itu mampu menampung 2.500 tanaman paprika. Ia menanam paprika dalam polibag berisi media tanam arang sekam. Sebagai sumber nutrisi, Rici menggunakan pupuk untuk hidroponik, yaitu AB mix. Penyiraman dan pemupukan dilakukan secara manual, yakni dengan menyiram media tanam.
Paprika mulai berbuah pada umur 3 bulan. Rici memanen buah hingga tanaman berumur 8—9 bulan. Namun, saat panen perdana, kekhawatiran orang tua itu benar terjadi. Harga jual paprika di pasaran anjlok, yakni hanya Rp7.000 per kg. Padahal, biaya produksi sekilogram paprika minimal Rp8.000 per kg. Kerugian itu sempat membuat Rici patah arang. Ia pun berhenti menanam paprika dan akhirnya melamar kerja ke sebuah bank ternama dan ternyata diterima.
Namun, kabar baik juga datang dari pasar paprika. Ketika itu harga paprika meroket tajam, hingga Rp50.000 per kg. Akhirnya Rici menghadap ke orang tua agar diizinkan kembali menanam paprika. Ia memberikan hitung-hitungan bahwa dengan harga yang berlaku saat itu, penghasilannya jauh lebih tinggi daripada gaji pegawai bank. Orang tua Rici pun kembali luluh.
Mereka pun akhirnya mengizinkan Rici kembali menanam paprika dan melepas pekerjaannya di bank. “Alhamdulillah dengan harga jual saat itu dalam satu musim tanam langsung kembali modal,” ujar alumnus Manajemen Bisnis Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unpad itu. Sejak itu Rici konsisten berkebun paprika meski harga jual berayun ambing. Kini usahanya semakin berkembang. Jumlah rumah tanam miliknya terus bertambah.
Namun, Rici tidak ingin kisah jatuh-bangunnya mengembangkan paprika ia simpan sendiri. “Saya berharap bisa menjadi contoh agar anak muda tertarik terjun di dunia pertanian,” tuturnya. Rici prihatin jumlah petani muda saat ini terus berkurang. “Sebanyak 70% dari petani yang ada saat ini berusia lebih dari 45 tahun,” tuturnya.
Sarana belajar
Menurut Rici, anak muda saat ini enggan menjadi petani karena berpendapatan rendah. “Saat ini terdapat 26,1 juta keluarga petani yang mempunyai pendapatan rata-rata hanya Rp1 juta per bulan,” kata Rici. Padahal, sektor pertanian berkontribusi 53% terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) nasional. Belum lagi kontribusi sektor industri olahan hasil pertanian yang mencapai 20% sehingga total sedikitnya mencapai 73%. “Jika kita tidak melakukan sesuatu, maka Indonesia berpotensi tidak memiliki petani lagi dalam 20 tahun ke depan,” katanya.
Oleh sebab itu, Rici membuka kesempatan kepada anak-anak dan para pemuda berkunjung ke kebunnya untuk belajar tentang budidaya paprika. Ia juga kerap berkunjung ke sekolah-sekolah untuk bercerita tentang asyiknya bertani. Kini Rici juga aktif mengajar sebagai dosen tamu di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Ekuitas di Kota Bandung. “Saya membuat program edukasi kepada anak-anak dan anak muda untuak menerapkan semangat positif bahwa menjadi petani itu tidak harus selalu kotor, tua, berpikir kolot, dan kaku,” ujarnya.
Ia ingin menunjukkan bahwa petani itu bisa juga sebagai sosok yang muda, bersih, modern, kreatif, dan kekinian. “Dengan begitu diharapkan dapat menumbuhkan minat pemuda untuk terlibat dalam memajukan pangan lokal,” ujarnya. Dengan berbagai upaya itu, pantas bila Rici akhirnya dinobatkan sebagai Duta Petani Muda 2016 oleh Oxfam Indonesia, bekerjasama dengan AgriProFocus Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), dan Kuncup Padang Ilalang (KAIL). (Imam Wiguna)