Trubus.id — Penyakit patek atau antraknos menjadi momok bagi petani cabai. Menurut Abdul Fajar, petugas penyuluh lapangan di Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, patek susah dikendalikan.
Gejala cabai yang terserang patek adalah muncul bercak-bercak kecokelatan yang membuat buah cabai busuk. Jika serangannya berat, petani gagal panen. Untuk mengatasi penyakit yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum capsici itu, petani kerap menggunakan pestisida kimia berbahan aktif propineb dan mankozeb.
Namun, dari pengalaman sebagian petani, fungisida kimia itu masih kewalahan melawan patek. Akhirnya, petani ada yang memilih tidak tanam cabai di musim hujan seperti pada Oktober–Desember karena risikonya besar.
Menurut Abdul Fajar, sejatinya penyakit patek bisa dikendalikan dengan pestisida buatan sendiri. “Saya menganjurkan ke petani menggunakan pestisida yang lebih ramah lingkungan tetapi efektif mengendalikan patek,” tutur Fajar.
Ia menggunakan campuran kapur, detergen, dan belerang. Kapur untuk menstabilkan pH, detergen sebagai perekat pestisida, dan belerang sebagai antiantraknos.
Untuk membuat pestisida nabati itu, mula-mula Abdul Fajar menyiapkan 1 kg kapur dolomit, dua bungkus kecil detergen, 2 kg belerang, 10 biji gambir, dan dua saset kaplet pelancar haid yang mengandung beragam herba seperti daun sembung (Blumea balsamifera).
“Rebus semua bahan itu dengan 20 liter air sampai mendidih. Kemudian dinginkan dan endapkan. Ramuan siap digunakan,” tutur penyuluh pertanian sejak 2007 itu.
Menurut Abdul Fajar, kapur berfungsi sebagai penetralisir pH detergen agar pestisida saat diaplikasikan lebih merata mengenai bagian tanaman, belerang, gambi, dan pil pelancar haid sebagai bahan aktifnya. Semprotkan ramuan itu 3–4 hari sekali sejak tanaman berumur 1–2 pekan setelah tanam.
Trichoderma
Selain menggunakan pestisida ramah lingkungan itu, Abdul Fajar juga menggunakan agen hayati berupa trichoderma dan Plant Growth Promoting Rhizobakteri (PGPR).
Untuk agen hayati pertama, ia melarutkan terlebih dahulu dua sendok makan bubuk trichoderma ke dalam 14 liter air. Adapun PGPR, ia membuat sendiri dengan memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di sekitar.
Untuk membuat PGPR, ia awali dengan membuat larutan biangnya terlebih dahulu. Mula-mula ia merendam segenggam akar rumput gajah dalam seliter air selama sepekan.
Akar rumput gajah bisa diganti akar rumput putri malu atau akar bambu. Sembari menunggu biang siap digunakan, ia merebus campuran 0,5 kg bekatul, dua bungkus kecil terasi, dan satu sendok makan dalam 20 liter air hingga mendidih.
Setelah dingin, campur rebusan bekatul, terasi, dan kapur dengan biang lalu tutup rapat dan diamkan selama sepekan. Untuk aplikasi PGPR, bisa dicampur dengan trichoderma. Caranya, larutkan 200 ml air PGPR dan dua sendok makan bubuk trichoderma ke dalam satu tangki air atau 14–20 liter air. Kocorkan PGPR dan trichoderma ke tanah sepekan sekali sejak sepekan setelah tanam. Untuk perawatan akar, bibit tanaman bisa juga dicelup ke dalam larutan trichoderma sebelum ditanam di lahan.
“Untuk 1.000 m2 butuh sekitar 3–4 tangki,” kata Abdul Fajar.