Belum banyak perkebunan pisang yang khusus menanam jenis tertentu. Maklum, alam Indonesia memang sangat kaya ragam jenis pisang. Hampir di setiap daerah, ada jenis pisang khas. Sebut saja barangan yang identik dengan Medan, atau pisang tanduk, Lumajang.
Bukan tak pernah ada ide pengembangan jenis pisang tertentu secara komersil. Misal memfokuskan pada produksi pisang mas sebagai andalan ekspor. Apa daya, Malaysia lebih sigap mengembangkan jenis itu dengan standar kualitas tinggi. Sekarang negeri jiran itu berjaya dengan pisang mas memasok pasar Eropa. Indonesia tertinggal selangkah untuk berkompetisi di pasar global mengusungkan buah meja berwarna kuning menarik itu.
Wacana lain yang berkembang yaitu menjadikan pisang barangan sebagai pisang nasional. Pisang itu sempat menjadi primadona pekebun di Sumatera Utara. Lantas beberapa provinsi lain mengikuti jejak itu. Sayang kegandrungan itu Cuma berjalan sekejap. Bahkan di Sumatera Utara pun, populasi pisang barangan kian menurun.
Vitamin A
Sekarang, Mikronesia—kepulauan di Lautan Pasifik—lewat Filipina mencoba membidik pasar Indonesia dengan promosi pisang dengan kandungan vitamin A tinggi. Contohnya, pisang karat (867 mg b karoten/100 g) atau pisang usr kolontol (4960 mg b karoten/100 g).
Kandungan beta karoten pisang karat 25 kali cavendish yang banyak dijajakan di pasar-pasar di Eropa dan Amerika Serikat. Beta karoten merupakan tanda kandungan vitamin A. Seandainya pisang karat sampai beredar di sini, maka kita kalah langkah lagi. Padahal banyak pisang lokal yang kandungan vitamin A-nya tinggi, tetapi tidak dipromosikan.
Indonesia salah satu sumber asal tanaman pisang. Oleh karena itu sebenarnya banyak pilihan jenis yang dapat dijadikan andalan untuk mengisi pasar domestik maupun ekspor. Lebih dari 200 varietas pisang komersil yang perlu sentuhan publisitas agar dikenal.
Dengan mengusung label seperti kaya Ca atau vitamin A, ada peluang untuk mendapatkan satu jenis pisang andalan nasional yang mampu berkompetisi dengan jenis komersial lainnya. Untuk itu perlu kesiapan masyarakat untuk mengembangkannya.(I. Djatnika, Agus Sutanto, dan Edison HS, peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Buah Solok)