Monday, March 3, 2025

Dongkrak Nilai Tambah Kakao

Rekomendasi

Trubus.id— Agus Nurohman mengemas campuran kakao atau cokelat, kacang, dan gula semut itu pada kemasan 100 gram. Pekebun sekaligus pengolah kakao di Kabupaten Sleman, Yogyakarta itu menamai produk kreasinya granola.

Agus biasanya memasok camilan berbahan dasar biji kakao itu ke warung sekitar tempat tinggal dan kolega khusus. “Memproduksi terutama jika ada acara khusus,” katanya. Jika di rata-rata pasokannya 5 kg saban bulan setara 50 kemasan.

Agus menjual granola seharga Rp16.000 per kemasan 100 gram. Artinya, ozmet penjuaalan 1 kg olahan kakao itu Rp160.000. Nilai itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual biji kakao fermentasi yang hanya Rp18.000—Rp25.000 per kg.

Pekebun kakao sejak 2011 itu mendapat nilai tambah tinggi dengan mengolah sendiri produk dari kebunnya. “Pasokan dalam bentuk olahan masih belum dominan,” katanya. Agus dan 25 petani mitra mengelola 3 hektare lahan kakao dengan populasi 3000 tanaman. “Panen sekitar 0,5—1 kg buah kakao per tanaman per tahun,” katanya.  

Menurut Kepala Produksi CV Putra Mataram (Macoa Cokelat), Muhammad Akbar Anas, sejatinya pekebun kakao sudah bisa memperoleh nilai tambah jika bisa mengolah hingga bentuk nibs atau biji kakao sangray kupas.

Harga jual nibs bisa mencapai Rp110.000—Rp130.000 per kg. Nilai itu lebih besar dibandingkan dengan harga jual biji kakao kering fermentasi yang hanya Rp40.000—Rp50.000. “Proses hingga menjadi nibs cukup sederhana, pekebun bisa membeli alat sangrai harganya pun cukup ekonomis,” kata produsen kakao sejak 2015 itu.

Akbar menambahkan, rendemen dari biji kering fermentasi menjadi nibs 40%—50%. “Semakin baik perwatan tanaman dan mutu buah kakao, rendemen kian tinggi,” katanya. Pekebun juga mesti mengetahui teknik penyangraian yang baik agar produk disenangi konsumen.

Sebab, penyangraian salah satu satu fase pengolahan kritis yang bakal memengaruhi citarasa. “Minimal nibs yang dihasilkan tidak melempem, tidak banyak kulit ari yang terbawa, dan kadar air kurang dari 3%,” katanya.

Akbar menambahkan, kriteria lain seperti citarasa lazimnya mengikuti persyaratan yang diterapkan konsumen atau pabrik. Harap mafhum, masing-masing pabrik atau produsen cokelat mempunyai pakem tersendiri sebagai syarat bahan baku.

Fenomena pekebun yang mengolah hingga produk jadi memang tengah tumbuh. Alasannya pekebun bisa mendapat nilai tambah dari pengolahan produk. Sebut saja Yohanes di Kota Lubuklinggau, Sumatera Selatan, yang tengah memesan seperangkat alat untuk pengolahan kakao hingga menjadi permen cokelat.

Pekebun 15.000 pohon kakao itu berencana mulai mengolah kakao menggunakan seperangkat alat itu pada 2023. “Sudah bisa mengolah dengan alat sederhana hingga menjadi permen cokelat, hanya pasokan masih terbatas,” kata Yohanes.

Menurut Akbar, pekebun mengolah kakao hingga menjadi produk cokelat amat memungkinkan. Namun, banyak tantangan yang mesti dihadapi. “Tantangannya sulit untuk fokus, kecuali punya sumberdaya manusia (SDM) profesional,” katanya.

Begitu pula menjadi sebuah tantangan jika pabrik atau produsen pengolah cokelat jika mesti mengelola juga kebun kako. “Kami memilih berkolaborasi dengan pekebun, sembari mengedukasi agar menghasilkan produk kakao berkualitas,” kata Akbar.

Hal senada diungkapkan Produsen sekaligus Eksportir Cokelat di Kabupaten Tabanan, Bali, Kadek Surya Prasetya Wiguna, S.E., pasalnya pekebun setidaknya butuh 5—10 mesin agar pengolahan optimal.

Kadek mengatakan, “Harga seperangkat mesin pengolah untuk skala kecil menengah berkisar Rp80 miliar—Rp300 miliar,” katanya. Namun, hal itu amat memungkinkan jika dilakukan oleh gabungan kelompok tani (gapoktan) atau usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang sudah mapan. 

Menurut ahli agribisnis dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Ir. Masyhuri, petani yang mengolah kakao menjadi produk jadi berarti melakukan diversifikasi vertikal. Memproduksi produk jadi akan memberiikan nilai tambah yang tinggi, dan mendapatkan harga jual yang lebih tinggi.

“Inilah hilirisasi produk pertanian yang ditunggu-tunggu,” kata Guru Besar Ekonomi Pertanian UGM itu. Masyhuri menambahkan, petani harus menguasai standar mutu produk jadi. Standard mutu itu penting agar dapat bersaing dengan produsen lain.

“Kalau membidik pasar ekspor banyak persyaratan teknis yang mesti dipenuhi, seperti belajar Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP),” katanya. Artinya, hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah memungkinkan. Tantangannya perlu modal dan meningkatkan SDM agar hasil mumpuni.

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Inovasi Olahan Rumput Laut, Mi Hingga Agar Strip

Trubus.id–Usup Supriatna berhasil mengolah rumput laut menjadi produk inovatif berupa mi rumput laut dan agar strip. Mi rumput laut...

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img