Trubus.id— Tekad Helmi Nurjamil, S.H., M.H., bulat, berhenti dari pekerjaannya sebagai amtenar atau aparatur sipil negara (ASN) di sebuah lembaga pemerintah untuk bertani jamur. Keluarga dan kerabat menyayangkan keputusan Helmi berhenti dari pekerjaan yang ditekuni sejak 2011 itu.
Namun, pria 33 tahun itu mantap untuk fokus mengembangkan jamur tiram. Ia merintis budidaya jamur tiram sejak 2018—dua tahun sebelum berhenti sebagai pegawai negeri.
“Jika bukan sekarang kapan lagi? Mumpung usia masih muda dan semangat berinovasi,” kata petani jamur tiram di Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu mengenang. Ketika memulai bisnis, Helmi mengelola sebuah kumbung—bangunan untuk budidaya jamur— berpopulasi 5.000 baglog.
Kini agribisnis jamur tiram berkembang menjadi 17 kumbung masing-masing terdiri atas 20.000 baglog per kumbung. Satu siklus budidaya 4 bulan rata-rata menghasilkan 300—400 gram per baglog berbobot 1.200 gram.
Artinya nilai Biological Efficiency Ratio (BER) sekitar 25—30%. Pemuda itu menuai rata-rata 1.000—2.000 kg jamur segar per hari yang terserap pasar. Sarjana Hukum alumnus Universitas Padjadjaran itu melayani permintaan pasar swalayan dan pasar konvensional. di berbagai daerah seperti Bogor, Tangerang, dan Jakarta.
Harga sayuran anggota famili itu pleurotaceae relatif stabil, pada kisaran Rp12.000—Rp15.000 per kg. “Permintaan harian jamur tiran amat besar, untuk Jakarta dan sekitarnya saja hingga 10 ton per hari. Andai ada 10 produsen seperti kami pun masih bisa menyerap,” katanya.
Helmi mengatakan, omzet perniagaan jamur mencapai Rp1 miliar per bulan. “Omzet sebetulnya fluktuatif, memang paling tinggi Rp1 miliar per bulan,” kata produsen jamur tiram bernama Jamur Halwa itu.
Itulah salah satu alasan Helmi memilih jamur. “Permintaan jamur itu harian, sehingga perputaran uang pun cepat,” katanya. Omzet tinggi itu bukan hanya hasil penjualan jamur segar ke pasar di Jakarta dan sekitarnya.
Petani muda itu menggeluti usaha jamur dari hulu hingga hilir, dari pembibitan hingga pascapanen jamur tiram. Setiap hari setidaknya Helmi memproduksi 1.000—5.000 baglog jamur demi menjaga kontinuitas pasokan.
Baglog bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, karena Helmi juga melayani permintaan para petani lain di sekitarnya. Jumlah permintaan tidak menentu. Selain itu, Helmi juga mengolah dan mengawetkan jamur tiram menjadi beberapa produk turunan, antara lain tepung dan suwir jamur kering.
Rendemen pengolahan tepung mencapai 10 %. Jika mengolah 10 kg jamur segar menghasilkan 1 kg tepung. Faedah tepung tiram antara lain awet dan memperoleh nilai tambah.
Harga jual tepung jamur mencapai Rp300.000 per kg. Sementara itu harga jamur suwir mencapai Rp200.000 per kg. “Jika diolah produk jamur bisa awet hingga setahun,” katanya. Ayah dua anak itu mengolah jamur menjadi tepung atau suwir terutama ketika produksi berlebih.
Menurut Magister Humum alumnus Universitas Indonesia, produk olahan meningkatkan nilai tawar petani jamur. Bahkan, Helmi mengoptimalkan baglog bekas pakai menjadi media cacing tanah (Lumbricus rubellus).
Sisa baglog itu dicampur dengan remahan jamur, dan jamur apkir sebagai pakan cacing. Selang 4—6 bulan sisa baglog itu menjadi vermikompos sebagai pupuk. Menggeluti bisnis jamur bukan berarti tanpa aral.
Di bagian hulu, Helmi pernah mengalami hambatan ketika miselium gagal tumbuh. Pada awal produksi baglog, hal itu beberapa kali terjadi. Kendala lain ketika mitra bisnis meninggalkan Helmi.
Mitra mengirim jamur ke perusahaan lain karena tergiur harga jual lebih tinggi. Meski banyak aral, Helmi tak jera berbisnis jamur. Pembudidaya jamur tiram itu tertantang membuka pasar baru di Kota Batam, Kepulauan Riau.
“Potensi di luar Pulau Jawa amat besar,” katanya. Tingginya permintaan itu membuat harga pun lebih mahal. “Jika harga di Jakarta Rp12.000 per kg, harga di luar Pulau Jawa seperti Kota Batam, bisa 4 kali lipat lebih mahal,” katanya.
Helmi menambahkan, pasar potensial lainnya dari negara tetangga seperti Singapura. “Di sana permintaan jamur tiram tinggi dan pemainnya masih sedikit,” kata Helmi. Oleh sebab itu pada tahun depan Helmi berencana memenuhi permintaan jamur tiram ke luar Pulau Jawa dan pasar ekspor.
Helmi tertarik beragribisnis ketika berkunjung ke salah satu peternak ayam di Kota Bandung, Jawa Barat. Peternak itu menceritakan pengalamannya membimbing pemuda asal Thailand mengenai budidaya ayam pedaging pada 1970-an.
Pemuda asal Negeri Siam itu kini menjadi petinggi di perusahaan produsen ayam ras di Thailand. Helmi mengatakan, “Itulah mengapa pemuda harus terjun di pertanian, karena masih penuh energi dan kaya akan inovasi.”