Trubus.id — Selain menghasilkan buah, tanaman lontar juga menghasilkan nira. Nira lontar bisa diminum untuk melegakan dahaga. Tidak hanya itu, nira lontar bisa diolah menjadi gula. Pengolahan menjadi salah satu upaya meningkatkan harga jual nira.
I Komang Sukarma, S.S., salah seorang produsen gula lontar di Tianyar Barat, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Sukarma mengolah nira lontar menjadi gula kristal dan serbuk. Dari perniagaan gula lontar itu, saban bulan ia meraup omzet puluhan juta rupiah.
Sukarma memproduksi 500–1.000 kg gula lontar setiap bulan. Anak muda kelahiran 20 Desember 1993 itu bekerja sama dengan 41 warga untuk memproduksi gula lontar. Para petani memanen nira lontar pada musim kemarau, yakni awal Mei–November.
Pada musim hujan mereka berhenti memanen nira karena tanaman licin sehingga sangat berisiko jatuh dari ketinggian. Petani lazim memanen nira pada pukul 04:00–05:00 WIB dan selesai pukul 09:00–10:00 WIB.
Selanjutnya, istri para penderes mengolah nira selama 3–4 jam. Pukul 12:00–13:00 WIB gula lontar selesai diolah. Sukarma mengatakan, rendemen pengolahan nira menjadi gula mencapai 12,5%. Jika mengolah 20 liter nira, mereka menuai 2,5 kg gula.
“Bahan baku utama nira lontar. Selain itu kami memiliki resep dapur yang merupakan campuran bahan-bahan organik lainnya,” kata Sukarma.
Pria berumur 29 tahun itu mengelola bisnis secara modern. Sebelumnya, masyarakat mengolah gula lontar secara tradisional. Sukarma memberi merek Tarunira pada gula lontar produksinya. Kata “taru” dalam bahasa Bali berarti pohon. Adapun nira bermakna air manis sadapan mayang lontar.
Saat ini nama Tarunira sudah mendapatkan sertifikasi halal dan izin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT). Sukarma menargetkan bisa menembus pasar ekspor pada 2024. Sejak awal produksi, banyak permintaan gula lontar dari mancanegara. Namun, belum terpenuhi lantaran keterbatasan produksi.
“Ceruk pasar masih besar untuk dipenuhi. Apalagi nilai utama gula lontar yaitu berindeks glikemik paling rendah dari jenis gula lainnya,” kata Sukarma.
Tarunira juga produk organik tanpa tambahan bahan kimia. Oleh karena itu, Sukarma mempersiapkan dari hulu hingga hilir demi memenuhi syarat mendapatkan sertifikat organik. Sertifikat organik diperlukan demi mewujudkan ekspor gula lontar.
Kesuksesan Sukarma mengembangkan gula lontar menemui banyak kendala. Salah satu tantangannya adalah sedikit yang mengenal gula lontar. Selain itu, pihaknya juga mengaku kekurangan tim riset dan pengembangan untuk penciptaan produk yang memiliki nilai tambah.
Itulah sebabnya ia menjalin kerja sama dengan Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selain itu, ia bekerja sama dengan Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana.