Trubus.id — Sorgum bukan komoditas baru. Itu diungkapkan oleh Muhammad Bayu Hermawan, S.H., M.H., seorang produsen produk olahan sorgum yang memiliki pabrik di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Pasalnya, saat Bayu kecil, neneknya kerap membuat makanan berbahan sorgum.
“Saya sering makan sorgum yang dibuat kudapan seperti mencampurnya dengan gula merah dan kelapa,” kata pemilik PT Banua Tani Makmur Indonesia itu.
Seiring berjalannya waktu, ia tidak lagi menikmati kudapan sorgum. Tanaman sorgum pun perlahan menghilang. Bahkan, saat ini banyak orang yang tidak mengetahui sosok tanaman anggota famili Poaceae itu.
Pada 2013 Bayu teringat cerita neneknya. Waktu itu sang nenek kerap bercerita faedah tanaman kerabat padi tersebut. Lalu, ia mencari berbagai informasi tentang sorgum yang memiliki banyak manfaat.
Selain sebagai pengganti beras dan jagung, biji sorgum diolah menjadi tepung. Bahkan, nira dari perasan batang Sorghum bicolor dapat diolah menjadi gula dan kecap. “Ini peluang usaha,” kata pria yang kini berdomisili di Kecamatan Kelapagading, Jakarta Utara, itu.
Sejak itu, Bayu mencari sentra sorgum untuk mendapatkan benihnya. Bayu mendapatkan benih sorgum di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali. Pasalnya, tidak ada lagi yang menanam sorgum di Kalimantan Selatan.

Akhirnya, dengan modal Rp13 juta dari hasil bisnis jamur tiram yang lebih dahulu ditekuni, ia membeli dan menanam benih sorgum. Namun, untuk memperkenalkan sorgum kepada masyarakat cukup sulit dan membutuhkan waktu lama.
Bayu tak patah arang. Pada 2015–2017 ia meriset sorgum. Selama dua tahun lamanya, ia mempelajari pembuatan produk turunan sorgum seperti beras dari biji, tepung, gula, dan kecap.
Pada 2019 Bayu memberi merek untuk semua produk turunan itu dengan nama Tambiyaku. Nama itu diambil dari bahasa Dayak yang artinya nenek. Nama itu diberikan sebagai dedikasinya kepada nenek yang kali pertama memperkenalkan sorgum.
Bayu kesulitan memperkenalkan dan memasarkan produk olahan sorgum kepada masyarakat. Perlu edukasi panjang yang dilakukan secara gencar. Dari pengalaman itu, pasar akhirnya mulai terbuka.
Ternyata, masyarakat membutuhkan sorgum untuk kesehatan. Contohnya, penderita diabetes melitus memerlukan makanan yang mengandung karbohidrat kompleks. “Kami lalu sarankan untuk mengonsumsi sorgum sebagai pengganti beras,” kata Bayu.
Sorgum juga mengandung protein lebih tinggi sehingga cocok dipasarkan kepada para atlet dan pelaku fitness. Setelah mendapat pasar, ia masuk ke komunitas. Ternyata, strategi itu membuahkan hasil.
Hingga kini produk Tambiyaku menembus pasar di beberapa kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan beberapa daerah di Pulau Kalimantan. Ia juga pernah menembus pasar ekspor Australia, Singapura, dan beberapa negara di Afrika.
“Sekarang ini lebih fokus ke pasar lokal karena peluangnya masih terbuka lebar,” kata peraih penghargaan Petani Muda Indonesia 2018 itu. Bayu mendapat omzet Rp300 juta dari perniagaan produk olahan sorgum itu.