Kelompok yang mengenalkan tumbuhan plus menggali kegunaan dan cara memanfaatkannya.
Namanya terdengar menyeramkan: horor tengah malam. Masyarakat lokal menyebut buah mirip petai sepanjang 1 meter itu bungli. Heri Santoso menyodorkan buah Oroxilum indicum itu ketika Trubus menyambangi kediamannya. Nama horor tengah malam alias midnight horror merupakan sebutan bungli di mancanegara. Sebutan lain, terompet indian dan patah tulang alias broken bones.
Nama kedua mengingatkan kita pada Euphorbia tirucalli yang lebih dahulu sohor dengan nama patah tulang. “Bungli merupakan sayuran raja-raja Jawa zaman dahulu,” ujar Heri. Masyarakat lazim mengolah daun muda dan bunga yang sudah gugur sebagai sayuran. Orang-orang Thailand sering mencari bungli. Harga biji bungli mencapai US$300 setara Rp4,5 juta per kg—kurs 1 US$ = Rp15.000.
Pangan alternatif
Salah satu khasiat biji bungli sebagai afrodisiak atau zat kimia untuk merangsang daya seksual. Itulah sebabnya bungli sering juga disebut kayu lanang. Dalam bahasa Jawa, kata lanang berarti lelaki. Heri menjelaskan khasiat bungli hadapan para peserta Komunitas Inobotanica. Hari itu Komunitas Indobotanica melakukan foraging atau pengumpulan tanaman di alam yang lazim dikonsumsi manusia.
“Ilmu ini sangat bermanfaat bagi kelestarian alam dan hutan Indonesia dan sewaktu-sewaktu juga bisa menolong manusia ketika kesusahan mencari makanan. Misalnya ketika terjadi bencana alam, pengungsi yang pernah foraging tidak tergantung dengan makanan dari bantuan pemerintah dan yang lainnya. Ia bisa tetap bertahan dengan mengonsumsi tanaman-tanaman di sekitarnya. Foraging juga cocok bagi masyarakat yang hobi mendaki gunung,” ujarnya.
Sekitar 58 peserta anggota Komunitas Inobotanica dari berbagai daerah seperti Yogyakarta, Surakarta, Bandung, Malang, dan Surabaya antusias mengikuti kegiatan itu. Latar belakang peserta juga beragam. Ada yang mahasiswa, dokter, aparatur sipil negara, peneliti, dan pelajar. “Memberikan pengalaman baru. Awalnya lihat tumbuhan di sekitar tidak bisa diapa-apakan, setelah mengikuti foraging, baru tahu kalau tumbuhan-tumbuhan di sekitar kita banyak menyimpan mafaat,” ujar Winda Partono.
Perempuan yang hobi mendaki gunung itu berharap kegiatan mencari tanaman di sekitar juga diadakan untuk anak-anak. “Anak-anak bisa diajari sejak dini mengenai cinta lingkungan. Kalau sudah tua susah, bahkan sekadar untuk membuang sampah pada tempatnya,” ujar Winda. Maria Lanang dari Surabaya kagum mengetahui harga-harga tumbuhan di sekitar yang ternyata mahal.
“Tumbuhan-tumbuhan mahal itu bisa diangkat untuk meningkatkan ekonomi masyarakat,” ujar Maria. Komunitas Indobotanica sejatinya belum lama berdiri yaitu pada Juli 2018. Salah satu pendiri komunitas itu, Badrut Tamam, semula bertemu dengan sesama pehobi tanaman. Kemudian ia merangkul mereka dan bersama-sama membentuk sebuah komunitas bernama Indobotanica, berasal dari kata Indonesia dan Botani.
Potensi ekonomi
Menurut Tamam Indobotanica secara legalitas berada di bawah yayasan Generasi Biologi Indonesia. Menurut Tamam—sapaan Badrut Tamam—keberagaman alam Indonesia terutama tumbuhannya sangat banyak. “Untuk tumbuhan berbiji saja setidaknya ada 30.000—40.000 jenis yang ada di Indonesia. Itu belum termasuk tumbuhan tak berbiji,” ujarnya.
Ketika berkunjung ke pesisir pantai utara, Tamam menemukan banyak sekali tanaman bidara Ziziphus mauritiana yang belum termanfaatkan secara maksimal. Padahal, potensi ekonominya tinggi. “Di dunia maya, buah bidara per 10 buah dijual Rp50.000. Di Tiongkok disebut kurma cina. Bibit tanamannya pun harganya cukup menjanjikan, sekitar Rp100.000 per tanaman,” ujar Tamam.
Kegiatan utama Indobotanica ada tiga yaitu identifikasi tanaman, wisata botani, dan foraging. Menurut Heri Santoso jumlah anggota Indobotanica semula 7 orang. “Kini mencapai 20 orang yang komitmen untuk pelestarian lingkungan dan edukasi keanekaragaman hayati ke masyarakat Indonesia,” ujar alumnus jurusan Biologi, Universitas Islam Negeri Malang itu.
Para anggota tersebar di berbagai daerah seperti pulau Kalimantan, Maluku, Bali, Lombok, dan Jawa. Heri berharap, masyarakat bisa menjadikan foraging sebagai salah satu gaya hidup seperti nenek moyang dahulu. Salah satu anggota Indobotanica asal Kediri, Jawa Timur, Faiqotul Hima, menuturkan, banyak sekali tumbuhan yang multimanfaat seperti markisa hutan Passiflora foetida.
Tumbuhan liar yang merambat itu memiliki buah yang berwarna jingga ketika matang. “Ukurannya lebih kecil daripada markisa biasa, tetapi rasanya lebih manis,” ujar Faiqotul Hima. Markisa hutan dapat dikonsumsi dalam bentuk segar dan dibuat salad. “Manfaat untuk kesehatan, markisa hutan bisa untuk mencegah penyakit tuberkulosis,” ujarnya. Umur panen markisa hutan dari biji hingga berbuah butuh waktu 6 bulan.
Setelah itu akan berbuah terus-menerus. Masyarakat dapat mengonsumsi daunnya dengan menumis dan menyeduh bunganya. Tumbuhan di sekitar kita juga bermanfaat lain. Heri Santoso menerangkan, nenek moyang menggunakan buah lengkuas malaka untuk parfum atau wewangian. Caranya dengan meremas kulit buah Alpinia malaccensis di dalam air lalu menyaringnya.
Air itu harum untuk badan. “Rimpangnya sebagai rempah-rempah tetapi berbeda dengan lengkuas biasa. Rimpangnya juga bisa dimakan sebagai lalap,” ujarnya. Untuk membersihkan perabot yang berjelaga dan mengasah pisau atau keris, nenek moyang menggunakan daun tanaman Tetracera indica. Permukaan daun itu amat kasar seperti ampelas.
“Tetrasera termasuk tanaman kacang-kacangan. Karena permukaan daunnya kasar, sering juga disebut tanaman ampelas,” ujar Heri. Untuk pendaki yang doyan ngemil, hutan Indonesia menyediakan sengon buto Enterolobium cyclocarpum. Penggemar camilan dapat menyangrai biji sengon buto yang bercita rasa seperti kacang. “Rasanya enak sekali,” ujar Heri. (Bondan Setyawan)