Temuan Suyono seolah mendobrak penelitian kedelai yang berjalan di Indonesia sejak 1918. Seabad lamanya Indonesia gagal berswasembada kedelai. Produksi nasional rata-rata hanya 1,1 ton per ha sehingga pekebun tidak tertarik menanam kedelai. Wajar bila pada 2002 impor kedelai mencapai 1,14- juta ton atau 60% dari kebutuhan 1,4—2,5 juta ton per tahun.
Rendahnya produksi disebabkan potensi hasil kedelai unggul di Indonesia hingga 1999 kurang dari 2,5 ton/ha. Efektivitas di lapangan hanya 60—70%. “Banyak varietas unggul kita diuji coba. Hasilnya seolah unggul, tetapi, sebetulnya membebani pekebun karena butuh asupan pupuk yang lebih banyak. Itu kan sia-sia,” ujar Suyono.
Menurut alumnus Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada itu, cita-cita berswasembada kedelai tercapai bila ada varietas baru berpotensi hasil 2,5—3,5 ton/ha. Varietas itu juga harus sesuai standar internasional, seperti genjah alias umur pendek, sekitar 80—90 hari. Biji besar dengan bobot minimal 13 g per 100 biji, warna kuning, kandungan protein 40%, lemak 20%, dan cocok pada kondisi tanah dan iklim tropis.
Baluran dan merubetiri
Terdorong keinginan menciptakan kedelai unggul, sejak 1994 Suyono mengumpulkan 1.000 galur dari Thailand, Australia, Taiwan, dan Kanada. Enam tahun kemudian suami Rindayati itu berhasil menemukan 2 galur harapan berpotensi hasil tinggi, yakni GC 88025- 3-2 dan GC 88022-9-2.
Setelah mengalami berbagai uji coba GC 88025- 3-2 berpotensi produksi 2,5—3,5 ton per ha. Kultivar itu kemudian diresmikan sebagai varietas baluran. Potensi serupa dimiliki GC 88022-9-2 yang disahkan sebagai merubetiri. Keduanya dilepas oleh Menteri Pertanian Prof Dr Bungaran Saragih pada April 2002.
Baluran dan merubetiri kini mulai ditanam di sentra-sentra kedelai di Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Sayang, penggunaan varietas yang meluas di tingkat pekebun tak sertamerta memudahkan untuk mendapatkan hak paten. “Saya sudah ajukan ke lembaga berwenang. Namun, belum ada tindak lanjut hingga sekarang,” ujar ayah 6 anak itu.
Lewat baluran dan merubetiri itu Suyono mendesak Departemen Pertanian RI untuk mewujudkan swasembada kedelai. Pemerintah tinggal menyediakan lahan 2,5—juta ha per tahun, swasembada kedelai bisa tercapai. “Panen kita 5—juta ton kedelai kering panen. Itu sudah lebih dari kebutuhan. Bahkan kita bisa ekspor,” ujar dosen di jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Negeri Jember itu.
Ijen dan panderman
Yang tak kalah serius meneliti kedelai adalah Ir Mochammad Muchlis Adie MS, pemulia di Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi), Malang. Ia meneliti kedelai berproduksi tinggi, tahan terhadap hama, dan rebah batang. Harapannya, dapat dihasilkan varietas unggul. “Kedelai kita berproduksi rendah. Ditambah terserang hama, makin terpuruk saja produksinya,” ujar master alumnus Universitas Brawijaya itu.
Melalui penyilangan yang dilakukan sejak 1993, Muchlis memperoleh galur harapan B4F3WH-177-382-109 dari silangan balik wilis dengan varietas himeshirazu asal Jepang. Ia disebut varietas ijen. Sosok mirip wilis dan agak toleran terhadap ulat grayak. Produksi hasil mencapai 2,5 ton per ha.
Varietas lain hasil riset Muchlis yaitu panderman asal galur GC 87032-10-1. Ia berbiji besar dan tahan rebah. Kedua varietas itu telah dilepas oleh Menteri Pertanian pada Agustus 2003. Dengan varietas unggul, swasembada kedelai bukan sekadar impian. (Destika Cahyana)