Trubus.id—Kepel tergolong salah satu tanaman langka Indonesia. Keberadaannya semakin sulit ditemukan walaupun kepel ditetapkan sebagai flora identitas Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Menurut Pengendali Ekosistem Hutan di BBPSIK Yogyakarta, Ir. Ari Fiani, M.Sc., saat ini, di Yogyakarta, kepel umumnya ditemukan di sekitar keraton karena pada awalnya merupakan tanaman eksklusif dan hanya digunakan oleh kalangan bangsawan.
Status konservasi kepel termasuk dalam kategori conservation dependent (CD). Artinya keberadaan kepel sulit ditemui karena langka (rare) dan tergantung pada aksi konservasi. Jika tidak dilakukan tindakan konservasi maka status kepel meningkat satu tahap menjadi rawan (vulnerable).
Lebih lanjut Ari menuturkan, salah satu penyebab langkanya kepel kemungkinan karena keengganan masyarakat membudidayakan tanaman itu karena nilai ekonominya kurang menarik.
Daging buah hanya sedikit sedangkan sebagian besar buah berisi biji. Sebuah kajian di Taman Nasional Meru Betiri menunjukkan bahwa regenerasi kepel di sana tidak seimbang (populasi abnormal).
Penyebabnya kemungkinan karena masyarakat memanen buah sehingga tidak tersedia untuk regenerasi secara alami. Penyebab lainnya buah yang dimakan satwa liar di pohon atau di permukaan lahan hutan terbawa air hujan serta masuk ke sungai sehingga busuk dan mati.
Sudah sepatutnya kepel lestari terutama di DIY. Harap mafhum tanaman yang bisa tumbuh setinggi 25 m itu merupakan flora identitas DIY yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur Kepala DIY No. 385/KPTS/1992 tentang Penetapan Flora dan Fauna Daerah Provinsi DIY. Alasannya kepel salah satu flora yang memiliki nilai filosofis bagi masyarakat Yogyakarta.
Menurut Perencana Ahli Muda Balai Besar Pengujian Standar Instrumen Kehutanan (BBPSIK) Yogyakarta, Fasis Mangkuwibowo, S.Hut., M.Sc., kepel berasal dari kata bahasa Jawa, kepel, yang berarti genggaman tangan manusia. Ada juga yang mengartikan greget dalam bekerja.
Pohon kepel dipercaya melambangkan manunggaling sedya kaliyan gegayuhan yang berarti bersatunya niat dengan kerja. Fasis berharap buah lokal seperti kepel bisa masuk ke pasar swalayan sehingga lebih banyak yang merasakan lezatnya buah kepel.
Apalagi buah itu memiliki segudang manfaat kesehatan. Harapan itu tidak berlebihan mengingat banyaknya bibit kepel yang tersebar. Tentunya kehadiran buah kepel di pasaran juga sekaligus melestarikan keberadaan tanaman yang tersebar alami di Asia Tenggara itu.