Cardinal tetra generasi sebelumnya mempunyai warna hitam di punggungnya. Bagi Lie Sie Tjien–akrab dipanggil Hadi—garis itu tampak kotor dan mengurangi pantulan cahaya, sehingga sinarnya kurang terang. Karena kecintaannya kepada cardinal tetra, Hadi mencoba menghasilkan strain baru. Alhasil beberapa strain pun “diciptakannya” dari ruang bekas ruko di Bandung.
Awal niat Hadi menangkarkan tak lebih untuk membuat cardinal tetra miliknya “panjang umur”. Sejauh pengalaman hobiis tetra, jenis ini sulit dipelihara. Banyak yang cepat mati karena rentan terhadap perubahan suhu dan cahaya. Belakangan diketahui, jenis yang rentan itu hasil tangkapan alam.
Begitu pun yang dialami Hadi. Selama 5 tahun menekuni tetra, banyak kesulitan yang dihadapi. “Pertama kali pelihara, puluhan ekor mati,” ujar ayah 2 putra itu. Namun, itu tak membuatnya patah semangat memelihara famili Characidae lagi. Dari situlah ia belajar menangkarkan tetra. “Asal kondisi sesuai habitat asli mereka bisa hidup baik dan panjang umur,” ujar Hadi.
Strain baru
Kesuksesanny a “menaklukkan” cardinal tetra ke dalam akuarium tak lantas membuatnya puas. Ia berniat menghasilkan strain cardinal tetra baru yang warnanya lebih terang. Berkat kerja kerasnya, beberapa strain cardinal baru berhasil diciptakan. Salah satunya cardinal tetra dengan mata warna merah. “Hasil ini di luar dugaan. Saya benar-benar terkejut karena sebelumnya tak pernah ditemukan cardinal albino,” tuturnya. Namun, warna tubuh si albino itu tak menarik. Ia tak bercahaya, sehingga Hadi tak memperbanyaknya.
Melalui breeding yang terus-menerus dan seleksi ketat akhirnya suami Grace Tirtanirmala itu menghasilkan cardinal strain baru yang sempurna. Penampilannya berbeda dengan cardinal tetuanya, karena semua pigmen hitam di punggung hilang. “Bandingkan dengan cardinal asli, jenis baru itu tampak lebih bercahaya,” ujar pria kelahiran Bandung 47 tahun lalu itu.
Cardinal tetra memang banyak disukai hobiis. Oleh karena itulah dari sekian banyak jenis tetra, Hadi memfokuskan pada cardinal tetra. “Cardinal warnanya khas, tak seperti tetra-tetra lain,” ujar alumnus Fakultas Sastra Inggris Universitas Maranatha Bandung, Jawa Barat. Jenis itu paling banyak digunakan dalam aquascaping, karena memberi kesan akuarium lebih hidup.
Dipelihara di akuarium biasa pun sebenarnya sangat cocok. Itulah yang dihadirkan Hardian, hobiis ikan hias di Jakarta. Alumnus Institut Pertanian Bogor itu tertarik pada cardinal tetra ketika pertama kali melihat akuarium berisi puluhan ikan kecil dengan warna terang di salah satu mall di Jakarta. Dari situlah ia mengetahui cardinal tetra dan akhirnya mencoba memeliharanya.
Berkelompok
Menurut Hadi, tetra harus dipelihara dalam jumlah banyak. “Mereka tampak tak bahagia jika hidup soliter,” ujar ayah Randy yang kini sedang kuliah di Nanyang University, Singapura.
Selain itu, meski bukan menjadi keharusan, tanaman air sebaiknya melengkapi akuarium. Tujuannya sebagai tempat sembunyi dan melindungi dari pantulan sinar. Maklum, kebiasaan tetra yang suka hidup gelap-gelapan membuatnya tak menyukai cahaya terang dari lampu maupun sinar matahari langsung.
Jenis tanaman apapun cocok untuk tetra, seperti amazone sword, rossete sword, atau fi ne leaf. Namun dikombinasikan dengan tanaman air harus diperhatikan intensitas cahaya. “Biasanya digunakan lampu 80 watt, jika dipadukan dengan tanaman air. Sebaliknya tidak, cukup 10 watt,” kata Hadi. Dengan daya yang cukup besar itu tanaman air mampu berfotosintesis tanpa sinar matahari langsung.
Persyaratan air juga mutlak dipenuhi jika menginginkan cardinal tetra panjang umur. Usahakan kondisi air seperti habitat aslinya di perairan Sungai Peruvian, Amazone, Brazil: pH 6,2, kesadahan tak lebih dari 6, serta suhu berkisar 22—24 oC.
Dengan kehadiran cardinal tetra di ruang tamu, Anda tak harus jauh-jauh berpergian untuk melepaskan penat akibat rutinitas sehari-hari. Toh harga ikan seukuran 5 cm itu masih terjangkau. Cardinal tetra strain baru Rp12.000; yang lama Rp10.000 per ekor. (Dewi Permas/Peliput: Hanni Sofi a)