Monday, March 10, 2025

Kini Saatnya Tanam Tiram!

Rekomendasi

Setelah berpamitan pada pemilik lapak di kiri-kanan, Harry langsung meninggalkan Pasar Sragen, Jawa Tengah. “Kalau tidak cepat-cepat lari saya bisa diomeli pelanggan yang tidak kebagian barang,” selorohnya.

 

Dini hari itu, sama seperti hari-hari lainnya, 40—50 kg jamur tiram yang dibawa ludes tak bersisa. Hanya dalam hitungan satu jam, 200—250 bungkusan plastik berisi 2 ons oyster berpindah ke tangan pedagang dari seputaran Sragen, Solo, dan Ngawi. “Permintaan sebenarnya lebih banyak, tapi saya baru sanggup memproduksi segini,” kata pemilik Inti Jamur Kerjo itu.

Dari jumlah itu, pria yang baru setengah tahun menggeluti jamur kayu itu mesti membagi-bagi rata dagangannya. Jika ada yang meminta cukup banyak, misal 15 kg, paling hanya dipenuhi setengahnya. Itu pun tidak setiap pelanggan mendapat jatah kontinu setiap hari.

Cerita serupa terjadi di Pasar Caringin, Bandung. Setiap hari merembang petang, Andre Rusmayadi membawa sekitar 8 kuintal jamur tiram yang dikumpulkan dari para pekebun di Cisarua. Pleurotus ostreatus itu sudah ditunggu para pedagang yang bakal mendistribusikan lagi ke pasarpasar di seputaran Bandung seperti Soreang, Cicadas, Subang, hingga Sukabumi.

Kelahiran Bandung, 8 Desember 1981 itu terpaksa menolak permintaan seorang pembeli baru yang meminta berapa pun pasokan. “Meski harga yang dia tawarkan lebih tinggi—Rp6.000 per kg dari harga rata-rata Rp4.500—Rp5.000 per kg—saya tolak,” ujar Andre. Maklum untuk memenuhi permintaan pelanggan tetap pun ia masih kelabakan.

Ludes

Bulan madu memang tengah dinikmatipara p e k e b u n jamur tiram. “Berapa pun p a s o k a n yang masuk ke Pasar Caringin pasti terjual,” tutur Mamat Rahmat, pekebun senior di Cisarua, Lembang. Padahal, setiap hari dari kecamatan di Bandung Utara itu rata-rata dipanen sekitar 7 ton. Permintaan dari pembeli di Sumatera Utara (Medan), kotakota di perbatasan Kalimantan dan Malaysia, Nusa Tenggara Barat, dan Bali sulit dipenuhi.

Harry pun menunda pasokan ke sebuah pasar swalayan di Solo dan pembeli baru di Bali. Maklum untuk pasar lokal Sragen saja masih kurang. Pria yang pernah mengecap pendidikan di Akademi Manajemen Perusahaan Jayabaya itu menghitung, dengan total pasokan 70—80 kg per hari saat ini Pasar Sragen masih bisa menampung hingga 100 kg.

Itu berkebalikan dengan kondisi sekitar 20 tahun silam. Kala itu oyster baru saja diperkenalkan ke pasar. “Para pembeli bukannya menanyakan bagaimana jamur diolah, tapi apakah jamur yang dijual beracun atau tidak,” kenang Basuki Rahmat, sekretaris Masyarakat Jamur Indonesia (MASI). Malah salah seorang rekan ayah 2 anak itu mesti menaruh kartu tanda pengenal sebagai jaminan. Kalau sekarang tiram jadi incaran, itu buah kerja keras para pekebun memperkenalkan tanaman berspora itu.

Rahmat kerap terjun langsung sendiri ke pasar-pasar baru menjajakan tiram. Di pasar-pasar potensial incaran itu—misal Cirebon—ia menjual dengan harga miring. Itu biasanya dilakukan bila harga jual di pasar langganan sedang jatuh. Selama sebulan penuh Harry dan Siti Nurhaini Farida—sang istri—memasak pepes, bothok, cap cay, keripik, dan arem-arem berbahan jamur. Olahan itu dijajakan berdampingan dengan tiram segar di lapak di pasar. Hasilnya kini jamur kayu itu selalu ludes dibeli pelanggan.

Menjamur

Pantas pekebun pun menjamur di berbagai daerah. Sekadar contoh di Kecamatan Cisarua. Pada 2000 jumlah pekebun 200 orang, jumlah itu meningkat menjadi 300 pada 2005. Sentra penanaman pun menyebar hingga Ciwidey, Pangalengan—keduanya masih di Kabupaten Bandung, Cikajang (Garut), Cipanas (Cianjur), Bogor, Sumedang, Tasikmalaya, Kaliurang (Yogyakarta), hingga ke Bedugul (Bali) bahkan Batam dan Balikpapan. Menurut Sardiyana dari Balai Benih Induk Hortikultura Yogyakarta permintaan bibit jamur tiram melonjak mulai 2004.

Maklum menurut hitung-hitungan Rahmat, dengan harga jual terendah di tingkat pekebun Rp3.000 per kg dan ratarata produksi per baglog 0,5 kg, pekebun masih mengantongi kelebihan Rp500 per baglog. Itu setelah dikurangi nilai pembelian baglog Rp1.000 per buah. Pekebun bisa memperoleh keuntungan lebih tinggi bila memproduksi baglog sendiri—biaya sekitar Rp800 per buah—dan menjual langsung ke pasar. Sumarno, pekebun di Hargomulyo, Ngawi, mendapat harga jual Rp6.000—Rp7.000 per kg lantaran langsung membawa hasil panen ke Pasar Ngawi.

Seiring dengan penambahan jumlah pemain, produksi pun melimpah. Menurut data (MAJI), total produksi di Kecamatan Cisarua sekitar 1 ton per hari pada era akhir 1990-an. Jumlah itu melonjak tajam pada 2000 menjadi 7—8 ton per hari. Bila kondisi iklim kondusif pasokan naik hingga 10 ton.

Ramadhan

Sayang, hasil panen yang sangat tergantung pada iklim membuat harga jamur berfl uktuasi. Kala pasokan sedang membanjir—10 ton per hari—harga beli di tingkat pekebun Rp3.000—Rp4.000 per kg. Saat iklim buruk, produksi melorot hingga 3,5 ton, harga melonjak jadi Rp6.000 per kg. Toh, dengan harga berayun-ayun pekebun tetap untung. “Harga di bawah Rp4.000 jarang terjadi. Dari 3 musim tanam dalam setahun paling hanya 1 minggu harga jamur jatuh. Itu pun nantinya tertutup pas Ramadhan,” kata Basuki Rachmat.

Maklum ketika bulan puasa permintaan pasar melonjak hingga 30%. “Sementara produksi biasanya merosot sampai 40% karena waktu itu biasanya bertepatan dengan musim hujan,” kata HM Kudrat Slamet, ketua MAJI. Harga di tingkat pekebun pun meroket hingga Rp9.000 per kg.

Pantas bila sejak Agustus—waktu Trubus meliput—pekebun mulai ramai menabung baglog. Lima belas rumah tanam milik Jajat di Cisarua dipenuhi baglog-baglog berisi miselium. Pun kumbung-kumbung milik Harry dan Sumarno. Setiap hari 4.000 baglog keluar dari kumbung Rahmat—sejak 2000 ia memproduksi baglog untuk dijual—untuk pengiriman ke pekebun di seputaran Cisarua, Ciwidey, Pangalengan, hingga Garut. Para pekebun berharap dengan menanam pada Agustus, mereka menuai panen Oktober saat Ramadhan datang.

Manajemen kebun

Manisnya berkebun jamur tiram bukan tanpa batu sandungan. Menurut pengamatan Rahmat, banyak pekebun rontok lantaran salah mengelola keuangan. “Uang jamur itu masuk setiap hari. Kalau pekebun tidak disiplin mengatur uang, tahu-tahu pas akan memulai musim tanam baru tidak ada uang tersisa,” tutur pria tinggi besar itu.

Hal senada diamini Kudrat. Pekebun senior itu melihat banyak pemilik kumbung tak punya kemampuan memanaj produksi. Saat mengelola 1 kumbung mereka menuai untung, tapi begitu jumlah rumah tanam ditambah justru merugi.

Kendala lain, serangan hama yang beberapa tahun terakhir kian mengganas di sentra Cisarua. Serangga itu menyantap miselium dan tubuh jamur. Akibatnya 30% baglog gagal dipanen. Hama muncul lantaran sanitasi kebun kurang terjaga.

Pertambahan produksi pun bisa menjadi bumerang bila pasar-pasar baru tidak dibuka. “Pasar masih terbuka bila industri olahan kian menjamur,” kata Basuki. Ia pernah melakukan tes kebutuhan keripik jamur di sentra oleh-oleh di seputaran Terminal Leuwipanjang, Bandung.

Di sana ada sekitar 200 pedagang yang membutuhkan 2—4 kg keripik per hari. Dengan rendemen 2:1—untuk membuat 1 kg keripik dibutuhkan 2 kg jamur segar—berarti total kebutuhan tiram segar mencapai 800 kg per hari. Permintaan olahan juga datang dari mancanegara. Permintaan 4—5 kontainer per bulan berisi acar jamur tiram dari Cina masuk ke kumbung produksi Basuki ketika iseng-iseng memasukkan nama perusahaannya di salah satu situs belanja dunia maya.

Permintaan itu jelas tidak sanggup dipenuhi dengan produksi jamur tiram saat ini. Jadi, tak salah bila para pekebun percaya kini memang saatnya menanam jamur tiram. (Evy Syariefa/ Peliput: Hawari & Laksita Wijayanti)

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Anak Muda Berbisnis Hidroponik

Trubus.id–Ahmad Ardan Ardiyanto memanen 25—30 kg selada hijau setiap hari. Ardan—sapaan akrabnya—menjual hasil panen ke tiga toko sayur dan...

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img