Namun, saat seorang petani suku Dayak, Kalimantan Timur berjalan di sela-sela tanaman padi itu, ternyata tingginya menyamai tinggi padi, 130—150 cm. Istimewanya, padi organik itu mampu menghasilkan 90—100 bulir/malai. Yang istimewa, sepetak sawah seluas 100 m2 itu berisi 6—9 jenis padi.
Begitulah cara petani padi Krayan dan Bulungan, Kalimantan Timur mengharap asa dari Dewi Sri. Beragam jenis Oryza sativa lokal tumbuh subur tanpa perawatan sedikit pun. “Cara itu sudah turun temurun sejak zaman nenek moyang,” ujar Matius Tay, petani asal Krayan. Menurut kakek 14 cucu itu semua padi tumbuh subur hanya mengandalkan pijakan dan kotoran kerbau. Tanpa pestisida dan pupuk kimia—100% organik—sawah tetap menguning berhias bulir padi.
Hasilnya, padi lokal unggulan Krayan dan Bulungan kesohor di Serawak, Malaysia, hingga Brunei Darussalam. Inilah beberapa jenis padi organik yang ditanam ratusan hektar di Bumi Suci, Kalimantan Timur.
Adan putih
Semua penduduk sekitar Krayan hingga Serawak, Malaysia mengenal padi adan. Hampir seluruh penduduk di kecamatan seluas 3.594 km2 itu. menanamnya di lahan 700 ha lebih. “Adan padi nomor satu di sini,” ujar Ir Suwono Th alib, ketua Dinas Pertanian Kabupaten Nunukan.
Itu lantaran padi yang ditanam petani suku Dayak Lun Dayeuh—suku mayoritas di Krayan—itu rasanya enak, harum, dan pulen. Makanya disebut adan (enak dalam bahasa Dayak Krayan, red). Selain itu, harganya pun tinggi. Di Serawak, Malaysia adan dihargai Rp3.000—Rp5.000/kg. Bahkan di Brunei Darussalam mencapai Rp70-ribu—Rp80-ribu/kg.
Padi adan sangat adaptif dengan tanah Krayan. “Bila ditanam di daerah lain, ia tumbuh subur, tetapi tidak berbuah,” ujar Marthen T, pengawas benih Dinas Pertanian Kabupaten Nunukan. Adam cocok ditanam pada ketinggian 1.000 m dpl. Jika di dataran rendah, ia rebah dan rasanya berubah.
Adan tumbuh tegak dan tingginya mencapai 138—150 cm. Panen pada umur 165 hari sejak tanam. Gabahnya ramping dan kecil berwarna kuning terang. Ia pun tahan rontok, hama, dan penyakit. Tak heran bila produktivitas mencapai 3,1—3,2 ton/ha. “Satu malai berisi 100 biji,” ujar Marthen.
Tuan
Lain adan lain pula tuan. Walaupun sama-sama dari Krayan, sosok tanaman berbeda. Bila adan kompak, tuan memiliki rumpun dan anakan yang renggang. Tingginya 140—150 cm dengan posisi daun tegak. Ia dipanen pada umur 160 hari sejak persemaian. Ia juga tahan rontok dan rebah.
Padi tuan memiliki 15—21 anakan yang produktif. Setiap anakan mengeluarkan malai yang digelayuti 80—90 bulir padi. Wajar bila produktivitas mencapai 2,3—2,5 ton/ha pada total luasan 500 ha di Krayan. Gabah berwarna kuning terang berbentuk gemuk memanjang. Itulah sebabnya disebut tuan (artinya raja, besar, red).
Uniknya, di Krayan padi tuan memiliki 2 varietas: merah dan putih. “Morfologi tanaman tidak berbeda. Yang membedakan cuma warna berasnya,” katanya. Walaupun tak seharum padi adan, tekstur nasi tetap pulen.
Sia
Krayan memang kaya dengan padi organik. Kecamatan yang terdiri dari 89 desa itu juga dipenuhi padi abang, padan, dan sia. Padi sia misalnya. Ia jenis padi adan berwarna merah. “Sia artinya merah dalam bahasa dayak,” kata Marthen. Menurut pria suku Dayak itu sia ditanam pada luasan 150 ha yang tersebar di berbagai desa.
Sosok tanaman tegak dengan tinggi 135—140 cm. Produktivitas juga tinggi mencapai 2,2—2,4 ton/ha. Gabah sia berwarna kuning tua berbentuk ramping melengkung. Bulir beras lebih besar dibanding adan putih.
Berbeda dengan padi Krayan lain, ia lebih cocok ditanam di dataran rendah, 100 m dpl. Namun, ia tidak rebah dan rontok. Serangan hama dan penyakit pun tidak pernah terjadi.
Lawid
Satu lagi padi lokal Krayan yang mengeluarkan aroma harum saat ditanak. Petani menyebutnya lawid. “Artinya ikan. Mungkin penamaan itu terkait sejarah ikan di Krayan,” ujar Jeff ry, staf dinas. Walaupun tak seharum adan, ia tetap disukai karena berasnya putih dan pulen. Wajar bila penanaman mencapai 250 ha.
Sosoknya pun setinggi saudarasaudaranya, 140—145 cm. Setiap rumpun berpisah dari induknya ke kiri dan ke kanan. Ia pun termasuk padi berumur panen panjang, 160—165 hari sejak semai. Namun, lawid terkenal produktif. Padi yang adaptif di ketinggian 500—1.000 m dpl itu memiliki jumlah anakan produktif 17—21. Setiap malai dari masing-masing anakan menghasilkan 90—95 butir padi. Hasilnya, para petani rata-rata memanen 2,3—2,5 ton/ha.
Padi-padi bulungan
Tak hanya Krayan yang kaya padi organik. Nun di balik rimbunnya pohon buah-buahan di tepi Sungai Kayan, Bulungan, juga terdapat ratusan hektar sawah organik. Di Desa Teras Baru, Bulungan, hamparan sawah ditanami beragam jenis padi lokal warisan nenek moyang seperti angga, salengpen, taret, ikan, putih, dan jenis padi lain. Anehnya, tak jarang petani menanam beragam padi itu dalam satu petakan seluas 100—200 m2.
Tak berbeda dengan Krayan, kehidupan Dewi Sri di Bulungan berlangsung tanpa campur tangan manusia. “Tanah tidak dicangkul dan dipupuk kimia. Kesuburan tanah berasal dari kotoran dan pijakan kaki kerbau,” kata Kunyau Jalung, petani padi.
Di antara semua jenis lokal, padi angga menjadi andalan. Bulir padi besar berwarna kuning terang. Ia juga mengeluarkan aroma harum dan wangi saat ditanak. Untuk menikmati kepulenan beras organik itu, penduduk Bulungan dan masyarakat di sekitarnya rela mengeluarkan uang Rp4.000—Rp5.000/kg.
Semua padi bulungan memiliki kelebihan dan tekstur tersendiri. Padi ikan misalnya beraroma harum dan pulen. Salengpen memiliki kulit berwarna hitam di bagian bawah bulir. “Salengpen berarti pantat hitam,” tutur Suling Jalung, petani padi di Teras Baru, Bulungan. Istimewanya, semua kelebihan warisan alam itu bersatu di hamparan sawah yang suci. (Rahmansyah Dermawan)