Itulah siem konawe, jeruk kebanggaan masyarakat Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Meski warna daging kuning pucat kurang menarik, rasanya manis menyegarkan dan berair banyak.
Bila membeli siem di Surabaya, boleh jadi itu siem konawe. Maklum, menurut Ir Achmad Chaedir Nurdin MBA, kepala Subdinas Hortikultura, Dinas Perkebunan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Tenggara, selain pasar lokal, Surabaya memang pasar utama siem asal Kecamatan Sinanggea, Kabupaten Konawe Selatan itu.
Meski tidak sepopuler siem pontianak, konawe tak kalah unggul. Kulit hijau kekuningan, mulus mengkilap, dan cukup tebal. Ukuran buah beragam, berkisar 6—15 buah/kg. Namun, dari total produksi per pohon, “Sebanyak 40—70% di antaranya buah berukuran besar dan sedang. Kira-kira 6—10 buah/kg,” tutur I Nyoman Merta, pekebun yang ditemui di arena pameran. Keunggulan lain, jumlah biji sedikit. Paling banter 1 butir per juring.
Wilayah transmigran
Asal usul siem konawe tidak diketahui pasti. Yang jelas ia sudah lama ditanam di halaman-halaman rumah di Kecamatan Sinanggea. “Misal di Desa Lambodi Jaya dan Atari Jaya, wilayah transmigrasi asal Jawa dan Bali, ia sudah ada sejak 1984,” ungkap Chaedir. Bibit dibawa para transmigran dari Sulawesi Selatan.
Dari 2 desa berketinggian 100—200 m dpl itulah siem konawe masuk ke pasar-pasar lokal di sana. Mulai dari Palangga—ibukota kabupaten—hingga Kendari—ibukota provinsi. Maklum, Konawe Selatan hanya berjarak 50—100 km dari Kendari.
Melihat potensi pasar itu, masyarakat di kecamatan lain tertarik menanam. Sejak 5—6 tahun lalu dilakukan pengembangan besar-besaran, baik lewat program dinas pertanian setempat maupun swadaya pekebun. Selain di Sinanggea, siem konawe juga berkembang di Kecamatan Landono dan Konda. Jeruk dari tiga kecamatan berjarak 50—100 km dari Kendari itu kini mulai membanjiri pasar.
Chaedir memperkirakan luas pertanaman mencapai 1.000 ha. Tak sekadar tanaman pekarangan, siem konawe dikebunkan di lahan-lahan khusus dengan jarak tanam teratur. Lambodi Jaya salah satu sentra terbesar dengan luas penanaman 300—400 ha.
Setahun 2 kali
Penanaman umumnya berjarak rapat, paling jauh 5 m x 5 m. Maklum, tajuk tanaman hanya selebar 1,5—2 m. Dengan tipe percabangan menyamping, tinggi tanaman cuma 3 m pada umur di atas 10 tahun. Meski begitu, ia cukup produktif. “Setahun bisa 2 kali panen,” kata Nyoman Merta. Panen besar berlangsung Juni—Juli; panen kecil, September—Oktober.
Siem konawe mulai belajar berbuah pada umur 3 tahun. Pada umur 5—6 tahun produktivitas mencapai 15—20 kg/pohon. Produktivitas terus meningkat hingga mencapai 70—100 kg pada umur di atas 10 tahun.
Pada musim panen raya, siem dijual borongan Rp60.000—Rp70.000 per kardus di tingkat pekebun. Setiap kardus berisi 50 kg. Ada juga yang menjual kiloan dengan harga Rp2.000—Rp2.500 per kg tanpa sortasi. Bila dipisah berdasarkan kelas, jeruk berukuran 6—8 buah/kg laku Rp5.000/kg; sedang (9—11 buah/kg), Rp2.500—Rp3.000; dan kecil Rp1.500—Rp2.500. Dengan harga seperti itu, “Minimal Rp15-juta/ha bisa dikantongi pekebun,” ujar Chaedir.
Kelila dari Wamena
Kalau siem konawe berasal dari dataran rendah, lain lagi dengan kelila. Siem yang dipamerkan Provinsi Papua di arena Agro and Food Expo 2004 itu justru berasal dari dataran tinggi Wamena. Jeruk berkulit lembut itu berwarna kuning cerah, tak kalah cantik dibanding keprok. Daging tak berserat dan manis menyegarkan. Sayang aroma tak sekuat keprok.
Dinamakan kelila lantaran pertama kali dikembangkan di wilayah Kecamatan Kelila, Kabupaten Jayawijaya. Awalnya, kelila hanya ditanam untuk memenuhi kebutuhan keluarga. “Setiap kepala keluarga paling hanya punya 5—10 pohon, ditanam di antara pertanaman lain di kebun adat,” papar Sri Mining, staf Dinas Pertanian Provinsi Papua.
Tiga tahun terakhir pengembangannya meluas ke wilayah lain di kabupaten itu. Terutama di Dolokmay dan Wamena. Luas pengembangan di daerah berketinggian sekitar 1.600 m dpl itu kini mencapai 150 ha. Untuk menjaga keaslian genetik, bibit diproduksi lewat okulasi dengan sumber entres asal Kelila.
Menurut Sri Mining, tanaman hasil pengembangan mulai belajar berbuah. Namun, buah belum bisa dipasarkan lantaran produksi baru 4—5 buah per pohon. Pada umur 5 tahun, produksi mencapai 7,5 kg/pohon setara 3 ton/ha untuk jarak tanam 5 m x 5 m. “Kalau sudah stabil, produksi bisa mencapai 50—100 kg/pohon pada umur di atas 10 tahun,” tuturnya.
Di tingkat pekebun jeruk kelila laku hingga Rp5.000 per kg. Pada April—Mei, saat musim panen berlangsung, ia membanjiri pasar-pasar di berbagai kota di Papua. Mulai dari Wamena, Merauke, Jayapura, hingga Timika. Di sana kelila dijual seharga Rp7.500—Rp10.000 per kg. (Fendy R Paimin/Peliput: Evy Syariefa)