Pemikiran Sun Tzu, ahli strategi dan seni perang pada masa Tiongkok Kuno, itulah yang melatarbelakangi kepergian saya ke Pontianak, Kalimantan Barat serta Kuching dan Miri, keduanya di Serawak. Bukan untuk berperang, tapi mengunjungi sentra pembibitan dan penanaman lengkeng dataran rendah.
Tujuan berikutnya, Lampung, Demak, dan Malaysia semenanjung. Konon di dekat Kualalumpur ada kebun tanaman induk cukup besar. Tak ketinggalan Vietnam dan Thailand yang pionir pengembangan lengkeng dataran rendah. Sebelum itu, sentra di Gunungkidul, Yogyakarta, juga disambangi.
Perjalanan keliling Asia Tenggara itu bukan tanpa alasan. Ada obsesi untuk mengambil alih peran Malaysia dan Thailand dalam agribisnis buahbuahan. Kalau saat ini kita dibanjiri lengkeng impor asal Thailand, 10 tahun ke depan boleh jadi kita yang mengirim balik ke sana. Untuk itu informasi lengkap kekuatan lawan mutlak diperlukan. Seperti kata Sun Tzu, itulah kunci kemenangan dalam persaingan.
Peluang pembibitan
Selama ini lengkeng identik dengan dataran tinggi bersuhu dingin. Kini ada yang berproduksi di dataran rendah yang panas. Dengan potensi 80% wilayah Indonesia berada di dataran rendah, pendatang baru itu bisa ditanam massal. Daerah penanaman lebih luas, modal untuk menyaingi Thailand dan Malaysia.
Bukan tak mungkin pada akhirnya impor lengkeng di stop karena kita bisa memenuhi dari produksi sendiri. Nilainya luar biasa. Setiap tahun ribuan ton asal Thailand masuk Indonesia. Setelah saya hitung, jika itu dipasok pekebun lokal maka dibutuhkan 400.000 tanaman produktif.
Artinya, kita membutuhkan 400.000 bibit untuk ditanam. Hasil pelacakan pada para penangkar di Kalimantan Barat, “kekuatan” mereka paling banter 5.000—10.000 bibit per tahun. Tambahan 10.000 bibit mungkin didapat dari Demak dan Lampung. Setelah ditambah kapasitas produksi 20.000 bibit dari Serawak, jumlah itu masih jauh dari kebutuhan.
Nah, dari kebutuhan bibit saja, lengkeng dataran rendah sudah membuka peluang. Katakanlah harga bibit terendah Rp50.000 per batang asal okulasi setinggi 20—30 cm diambil langsung ke penangkar. Dengan kebutuhan 400.000 bibit berarti omzet yang bisa diperebutkan mencapai Rp20-miliar. Padahal data di lapang menunjukkan, harga bibit rata-rata berkisar Rp100.000—Rp250.000 per batang.
Prioritas
Lengkeng dataran rendah pun bisa mensubstitusi rambutan. Kerabat lengkeng itu selama ini “menguasai” dataran rendah, tapi hampir tak ada nilainya. Bila kebunkebun di Cileungsi, Jonggol, sedang panen harganya Rp500 per kg. Terkadang lantaran tidak laku, digundukkan begitu saja seperti sampah.
Menurut data Biro Pusat Statistik pada 2002, kita memiliki sekitar 9,45-juta pohon rambutan. Kalau sebanyak 2-juta pohon tidak bermutu disubstitusi dengan lengkeng, pekebun akan lebih kaya. Harga lengkeng bisa Rp5.000 per kg.
Lengkeng tahan hingga 10 hari—bahkan dengan teknologi penyimpanan 3 bulan—tanpa perubahan kondisi fisik berarti. Jadi mengapa pekebun tidak memilih lengkeng?
Ini kesempatan untuk mengejar Thailand dan Malaysia. Dulu saya sempat bangga dengan durian Indonesia. Ragam yang unggul begitu banyak. Bila ada orang mempunyai 2—5 ha lahan, maka menanam durian biasanya jadi pilihan. Alasannya, harga jual tinggi mencapai Rp30.000 per buah.
Namun, ketika akan dikembangkan banyak kendala, terutama di budidaya. Akhirnya, para pekebun pun kecewa. Begitu lengkeng dataran rendah muncul dengan segala kelebihannya, ia menjadi prioritas untuk dikembangkan.
Belum tertinggal
Peluang Indonesia menjadi “pemain besar”, sebuah keniscayaan. Kita belum tertinggal terlalu jauh dari Thailand dan Malaysia. Waktu berkunjung ke Kebun Penelitian Pemerintah di Semongok, Serawak, saya menemukan koleksi beragam lengkeng dataran rendah. Sebut saja kohala asal Hawaii, serta mata kucing dan ihau atau isau yang khas semenanjung Malaysia dan Borneo.
Begitu banyak potensi tetapi belum digarap komersil. Yang justru tampil ialah pengusaha-pengusaha swasta. Misal TG Nursery di Kuching yang memproduksi bibit diamond river, pingpong, dan itoh. Saya lihat induk itoh—itu idoh asal Chiangmai, Thailand, yang sudah beradaptasi dengan dataran rendah—baru puluhan.
Umur induk tertua di bawah 10 tahun. Generasi berikutnya berumur 6 tahun habis digunduli untuk dicangkok. Mereka belum terbiasa dengan sambung pucuk atau okulasi. Saya perkirakan kapasitas produksi 20.000 bibit cangkokan per tahun.
Penanaman dalam kebun komersil dilakukan oleh Soon Hoop Group di Miri. Di lahan berbukit-bukit, curam, dengan garis pantai terlihat jelas ditanam 1.000 pohon umur 1—4 tahun. Di sana juga ditanam si chompu—varietas asal Thailand yang sudah adaptif dengan iklim panas.
Setali 3 uang dengan yang terjadi di Thailand. Hasil pelacakan Trubus, pengembangan varietas pingpong baru berumur 5 tahunan.
Kebun baru
Di Indonesia beberapa hobiis mulai mengembangkan, bahkan menuai panen. Sebut saja Mulyono dan Hendrik Virgillius di Singkawang yang mendatangkan diamond river dan pingpong hampir 4 tahun silam. Pun Mitra Jeruk Lestari (MJL) di Sambas, Kalimantan Barat. Melihat potensi yang besar MJL berencana memperluas penanaman. Untuk tahap pertama “cukup” 50 ha dari rencana 500 ha. Di berbagai daerah, misal Sukabumi, Karawang, Semarang, Blitar, dan Jambi kebun-kebun baru pun bermunculan.
Geliat di tengah masyarakat hendaknya didukung oleh pemerintah. Demi sukses “memukul balik” Thailand, mengapa tidak melibatkan perkebunan misalnya. Dari areal yang begitu luas, katakanlah 5% saja dialihkan menjadi kebun buah komersil.
Cara yang paling aman, sentra perkebunan rakyat. Di sana masyarakat terbiasa dengan budidaya buah-buahan. Bupati Semarang pernah menginstruksikan menanam lengkeng di jalan-jalan protokol. Sayang lantaran belum ada kesungguhan akhirnya ia terkalahkan oleh kepentingan lain.
Namun, lagi-lagi semua rencana itu terkendala ketersediaan bibit. Dengan kebutuhan 400.000 bibit, minimal harus ada 10.000 induk. Idealnya selain ditanam di kebun swasta seperti MUS, induk disebar ke Balai Benih Induk di berbagai daerah.
Dengan wilayah begitu besar serta ragam jenis tanah dan iklim, tidak sulit mengembangkan lengkeng. Dalam 10 tahun, dengan dukungan semua pihak bukan mustahil kita sudah menjadi eksportir. Jadi kalau bisa memproduksi sendiri mengapa harus mengimpor? (Dr Mohamad Reza Tirtawinata, MS, pakar buah-buahan)