Trubus.id — Masyarakat Banyuwangi masih mempertahankan kultur mengolah kopi secara tradisional. Salah satunya adalah Dwi Muji Prasetyo. Asap mengepul dari tungku dan wajan berbahan tembikar.
Dwi menyangrai kopi beras (greenbeans) dalam wajan di atas tungku dengan bahan bakar kayu. “Harus terus membolak-balik agar kematangan merata,” ujar Dwi sambil mempraktikkan cara menyangrai kopi secara tradisional kepada Trubus.
Menurut Dwi, penyangraian 5 kg kopi beras secara tradisional setidaknya memerlukan waktu hingga 3 jam. Bandingkan dengan mengolah 5 kg kopi beras secara modern memakai mesin penyangrai (roasting) yang hanya memerlukan waktu 15–20 menit.
Harap mafhum, menggunakan mesin suhunya lebih stabil dan pengadukan otomatis sehingga penyangraian lebih cepat. “Lama penyangraian pun tergantung pada karakter dan kadar air dalam kopi,” kata penyangrai kopi sejak 2017 itu.
Dwi menuturkan, masyarakat Banyuwangi memiliki kultur mengolah kopi secara mandiri. Mereka mengolah kopi secara tradisional menggunakan tungku dan wajan berbahan tembikar.
Sentra pengolahan kopi paling terkenal ada di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Masyarakat setempat lazim mengolah kopi secara tradisional turun-temurun.
“Di sana tidak ada kebun kopi, tetapi berbagai jenis kopi dari seluruh Indonesia bisa ditemui karena adanya budaya mengolah kopi,” kata Dwi.
Menyangrai kopi menggunakan metode tradisional dan modern intinya sama, yakni membuang kulit ari pada biji kopi. Jika menggunakan metode tradisional, caranya penyangrai meniup kopi pascasangrai. Serpihan seperti kulit tipis kecokelatan itu akan beterbangan, terpisah dari biji kopi. Sementara itu, pada mesin penyangrai modern, kulit ari kopi itu otomatis terpisahkan oleh penyaring pada mesin.
Lantas mengapa kulit ari mesti terpisah? Menurut Dwi, kulit ari yang masih tersisa pada kopi bisa menyebabkan perut kembung dan mulas. “Penyangraian yang baik sejatinya memisahkan antara biji kopi dan kulit ari kopi sehingga kopi aman dikonsumsi,” kata Dwi.
Artinya, baik secara tradisional maupun modern asalkan pengolahan tepat, cita rasa kopi bisa optimal dan aman dikonsumsi. Budaya mengolah kopi secara tradisional mandiri itu pun lazim bagi masyarakat di sekitar perkebunan.
Semula tidak ada kedai kopi ditemui di area sekitar perkebunan. Alasannya, masyarakat mengolah secara mandiri di tiap rumah. Namun, seiring perkembangan zaman, kedai kopi di sekitar perkebunan di Banyuwangi kian tumbuh.
Salah satu kedai kopi yang masih mempertahankan pengolahan menyangrai secara tradisional adalah Kedai Kopi Manjehe di Dusun Kopencungking, Kampung Anyar, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Dwi pun membuka kedai kopi di perkebunan kopi di Desa Tamansari, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Tujuannya, agar petani kopi merasakan cita rasa optimal kopi hasil dari kebun.