
Nilai impor kurma Indonesia hampir Rp500-miliar per tahun. Padahal, Indonesia berpeluang besar mengebunkan kurma.
Menu sarapan keluarga Muhaimin Iqbal berbeda dengan kelaziman masyarakat. Setiap pagi Iqbal dan 5 anggota keluarganya mengonsumsi paling sedikit 7 kurma kering sebagai pengganti sarapan. Kebiasaan keluarga Iqbal menyantap kurma bukan hanya saat Ramadan atau Lebaran. Pengusaha berusia 43 tahun itu menggemari kurma ajwa yang sohor sebagai kurma nabi.
“Kurma mengandung unsur gizi yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia,” ujar alumnus Institut Pertanian Bogor itu. Itulah sebabanya ia bergeming meski harga kurma ajwa relatif mahal, Rp450.000—Rp750.000 per kg. Iqbal dan masyarakat Indonesia lainnya memang terbiasa mengonsumsi kurma, terutama saat Ramadan. Konsumsi kurma menjadi budaya di Indoesia. Keberadaanya mudah ditemukan di pasar-pasar modern hingga tradisional dengan beragam kualitas.

Buah primadona
Karena belum ada kebun kurma intensif, maka Indonesia harus mengimpor. Volume dan nilai impor kurma Indonesia cenderung melonjak setiap tahun. Kementerian Perdagangan mencatat total impor kurma mencapai 22.560 ton senilai Rp251-miliar pada 2012. Volume itu membubung hingga 29.110 ton (Rp413-miliar) pada 2013 dan 30.500 ton (Rp483-miliar) pada 2014.
Kurma memiliki serapan pasar tinggi sehingga membuka peluang masyarakat mengebunkan secara komersial. Sayang, di Indonesia masyarakat menanam 1—2 kurma sekadar hobi. Padahal, masyarakat Thailand justru mengebunkan Phoenix dactylifera secara massal dan intensif. Bahkan, mereka mempunyai kultivar kebanggaan yakni Kolak One (KL-1) yang adaptif di iklim tropis.
Kultivar hasil pemuliaan Sak Lamjuan PhD, peneliti di Maejo University, Chiangmai, itu terbukti genjah, berbuah perdana pada umur 3—4 tahun dari bibit hasil perbanyakan biji. Keistimewaan lain, KL-1 mampu berbuah tanpa perangsangan. Kini penanaman KL-1 meluas ke berbagai provinsi mulai dari Thailand bagian utara (Provinsi Chiangmai), tengah (Provinsi Suphanburi, Ayutthaya, dan Pathumtani), timur laut (Provinsi Nakhonratchasima), timur (Chantaburi), dan barat (Provinsi Kanchanaburi).

Hasil penelusuran Trubus sudah ada 100 pekebun kurma di Thailand. Mereka tertarik mengebunkan kurma lantaran inthaphalam—sebutan kurma di Thailand—tahan simpan, budidaya mudah, dan tergolong buah baru. Di negeri jiran itu para pekebun kurma menjual buah segar. Harganya fantastis, di tingkat pekebun rata-rata 500 baht setara Rp200.000 per kilogram.
Saat buah berada di pasar modern, harganya menjadi 800—1.000 baht per kilogram atau Rp400.000. Nilai jual yang tinggi menyebabkan kurma segar masuk dalam daftar buah eksklusif di Negeri Gajah Putih itu. Selama ini para pekebun di sana mudah memasarkan buah baru. Bahkan, acap kali buah habis di kebun akibat banyaknya pengunjung yang hendak menyaksikan pohon kurma berbuah, lalu memetik sendiri.

Ganti komoditas
Masyarakat Thailand mengenal kurma itu sebagai kurma tropis. Itu semata-mata untuk membedakan dengan kurma yang selama ini identik dengan kawasan Asia barat daya atau negeri gurun. Kurma tropis memiliki beragam keunggulan, yakni bersifat genjah atau mampu berbuah pada umur 3 tahun, produktivitas tinggi, yakni 25 kg per pohon umur 5 tahun, berbuah tanpa perangsangan, serta harga jual tinggi.
Dengan segala kelebihan itu wajar jika beberapa pekebun berani mengganti tanaman di kebunnya demi berkebun kurma. Sekadar menyebut contoh, pekebun di Kanchanaburi, Anurak Boonlue, misalnya, mencabut seluruh tanaman tebu dan singkong di lahan 30 rai setara 4,8 hektar lalu menggantinya dengan kurma KL-1. Penggantian komoditas itu pada 2008. Kini populasi kurma di kebunnya 900 pohon. Umur pohon bervariasi 1—7 tahun.
Ayah satu putri itu rutin menuai 7,2—10,8 ton kurma segar dari 120 pohon betina setiap tahun. Ia membanderol harga 600 baht per kg. Artinya, ia meraup pendapatan sekitar Rp1,72-miliar sampai Rp2,59-miliar dari panen buah yang berlangsung selama 3 bulan itu. “Berkebun kurma tergolong mudah asal mengetahui karakteristik pohon dan letak kebun,” ujar Anurak Boonlue yang ditemui Trubus di kebun.

Pekebun lain di Nakhonratchasima, Pratin Apichatsanee (51), sama saja. Ia mengganti singkong Manihot esculenta dengan mengebunkan tanaman buah anggota famili Arecaceae itu secara monokultur. Kebun kurma milik mantan bankir itu luasnya 60 rai setara 9,64 ha dengan total populasi 2.200 pohon. Umur pohon bervariasi 1—4 tahun. Pada musim panen 2015, ia memanen 10 ton kurma segar dari 104 pohon berumur 4 tahun.
Pria separuh abad itu menjual kurma segar 500 baht setara Rp200.000 per kg. Omzet Pratin dari penjualan kurma mencapai Rp2-miliar. “Dilihat dari sisi bisnis, mengebunkan kurma sangat menguntungkan,” ujarnya semringah. Sebagai gambaran, bila pekebun menanam 150 pohon dengan komposisi pohon betina sebanyak 125 pohon dan pohon jantan 25 pohon maka pada tahun ketiga pekebun berpeluang maeraup untung Rp996-juta.
Asumsi volume panen sebesar 6,25 ton dan harga jual di tingkat pekebun Rp200.000 per kg. Keuntungan akan semakin meningkat seiring pertambahan umur pohon (baca: “Hitung Laba Kurma”, halaman 16—17). Pohon berumur 5 tahun, umpamanya, mampu menghasilkan 100—150 kg per tahun.

Laba besar
Pratin menuturkan dengan produksi 100—150 kg buah per pohon umur 5—6 tahun, omzet pekebun minimal Rp20-juta per pohon. Padahal, biaya perawatan hanya 200 baht atau Rp80.000 per pohon per tahun di luar biaya pembelian bibit. Itulah sebabnya Pratin menuturkan jika harga jual kurma segar turun hingga 50 baht setara Rp20.000 per kg, ia tetap mendapatkan untung.
Itulah yang membuat Suphan di Suphanburi dan Preecha Thammanuchaowarut pekebun di Pathumthani tertarik menanam kurma. Suphan baru 2 tahun berkebun kurma sehingga belum menikmati hasil panen. Begitu pula Preecha yang baru menanam 20.000 bibit kurma KL-1 hasil perbanyakan biji setahun silam. Iming-iming untung tinggi membuat mereka tergiur menanam kurma.
Lihat saja Chong Chai yang meraup untung tinggi dari berkebun kurma. Pada musim panen 2015, pekebun di Suphanburi itu menangguk omzet 3,75-juta baht setara Rp1,5-miliar dari penjualan 6,25 ton kurma di kebunnya. Jumlah panen itu berasal dari 120 pohon berumur 3—7 tahun. Dengan total biaya perawatan sekitar Rp30-juta per tahun, Chong Chai mengantongi laba Rp1,2-miliar per tahun.

Menurut pakar buah di Bogor, Jawa Barat, Dr Mohamad Reza Tirtawinata MS, Indonesia berpeluang mengebunkan kurma tropis. Musababnya kondisi agroklimat di Indonesia mirip Thailand. Jonggol Farm di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, mengambil peluang itu dengan menanam 180 bibit hasil kultur jaringan. Perusahaan itu mendatangkan bibit beragam kurma seperti barhee, dan jarvis dari Inggris.
Jonggol Farm membudidayakan kurma di lahan 0,8 ha berjarak tanam kurma 8 m x 8 m. Menurut manajer farm, Mukhsin, saat ini pohon berumur 3 tahun. Ia memperkirakan tanaman menghasilkan buah 2 tahun yang akan datang. Saat itu pohon berumur 5 tahun pascatanam. Muchsin menuturkan Jonggol Farm berencana menjual kurma segar lantaran terinspirasi oleh keberhasilan pekebun di Thailand.

Peluang Indonesia
Kebun lain milik Mahdi Muhammad. Direktur Departemen Surveillance Sistem Keuangan, Bank Indonesia, itu mengebunkan 1.200 pohon kurma di Nanggrore Aceh Darussalam pada 2013. Ia membudidayakan kurma lulu, mabrum, tunisia, deglet nor, dan barhee. Ia bersama Bank Indonesia juga menjalankan program bertanam kurma di Provinsi Riau.
Mahdi dan Bank Indonesia menanam 500 bibit kurma yang tersebar di perkantoran dan kompleks perumahan, antara lain kantor gubernur Riau, kantor walikota, kantor bupati, perguruan tinggi, dan sejumlah masjid di Riau. Mahdi menuturkan kebun kurma belum berkembang di Indonesia lantaran banyak pekebun yang masih percaya mitos kalau kurma tidak cocok ditanam di Indonesia.
Peneliti di Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain (Balitpalma), Manado, Sulawesi Utara, Ir Ismail Maskromo MS, menuturkan kurma bukan tanaman asli Indonesia. Oleh karena itu kurma tidak masuk dalam mandat Badan Penelitian dan Pengembangan.

Ismail menyambut baik bagi para calon pekebun yang ingin menanam kurma di tanahair. “Jika Thailand bisa berkebun kurma secara massal maka Indonesia pun harus bisa,” ujarnya. Ia menuturkan Indonesia berpotensi sebagai negeri penghasil kurma. Beberapa pohon kurma di beberapa daerah seperti Bandung dan Medan, berhasil berbuah. “Agar produksi buah optimal, pekebun harus memperhatikan kualitas bibit, jenis kelamin pohon, dan agroklimat wilayah,” ujar alumnus Insititut Pertanian Bogor itu.
Ia menyarankan pekebun sebaiknya menggunakan bibit hasil perbanyakan vegetatif seperti pemisahan anakan atau kultur jaringan. Kedua perbanyakan itu menghasilkan tanaman baru yang berkarakter sama dengan sang induk. Kesuksesan pekebun kurma di Thailand dapat menjadi motivasi bagi pekebun di Indonesia. Sejumlah wilayah di tanahair berpotensi untuk ditanami kurma seperti Indramayu (Jawa Barat), Surabaya (Jawa Timur), Sumbawa (NTB), dan Labuanbajo (NTT).
Pasar Kurma
Kurma menghendaki daerah kering dengan rata-rata curah hujan 50 mm per tahun. Dengan kondisi lingkungan kering itu pekebun dapat memanen buah kurma pada tamar—buah kering—langsung dari pohon. Namun, dengan curah hujan di atas 50 mm sebaiknya pekebun memanen kurma pada fase khalal—buah segar. Jika di hulu berpotensi, bagaimana soal pasar?
Menurut direktur program Sekolah Bisnis Institut Pertanian Bogor, Dr Ir Arief Daryanto MEC, kurma merupakan komoditas bernilai tinggi yang memiliki prospek pengembangan cerah. Peluang mengedepankan komoditas eksklusif itu didukung oleh meningkatnya pendapatan dan bergesernya kebutuhan konsumen dari bahan pokok ke produk bernilai tinggi. Indonesia pasar potensial untuk kurma. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, masyarakat Indonesia sangat akrab dengan kurma.

Kurma menjadi buah istimewa lantaran tercantum dalam kitab suci Al Quran dan Al-Kitab. Selama ini keberadaan kurma mudah ditemukan di pasar-pasar modern hingga tradisional. Angka penjualan di setiap pedagang pun meningkat drastis. Pemilik toko kurma di Tanahabang, Jakarta Pusat, Pardi, misalnya, mampu menjual 900 kg kurma kering selama Ramadan. Di luar bulan kesembilan itu volume penjualan kurma 500 kg per bulan.
Untuk meningkatkan nilai jual, sejumlah pedagang mendirikan toko kurma eksklusif. Bateel Indonesia, misalnya, di Senayan City, Jakarta Pusat, memanjakan konsumen dengan ruangan yang nyaman berkonsep klasik nan elegan. Menurut manajer operasional toko, Santy Herawati, Bateel Indonesia menjual 15 jenis tamar berkualitas premium dengan kemasan eksklusif. Bateel mengimpor langsung kurma dari kantor pusat Bateel di Dubai. Biasanya pengiriman pertama 3 ton tamar aneka jenis menjelang Ramadan. Adapun pengiriman kedua berlangsung 2 bulan setelah Ramadan sebanyak 2 ton.
Jenis kurma yang paling laris adalah ajwa. Bateel membanderol dengan harga fantastis yakni Rp750.000 per kilogram. Namun, konsumen bergeming. Buktinya, volume penjualan ajwa di Bateel tetap stabil. Herawati menjual hingga 300 kg ajwa saat bulan kesembilan itu tiba. Adapun Abdulkareem bin Taleb, di Jakarta Timur, membuka bisnis waralaba produsen kurma premium ternama di Arab Saudi yaitu Thamra.

Volume penjualan kurma di Thamra mencapai 10 ton per bulan ketika Ramadan. Jumlah itu lebih tinggi dibanding bulan-bulan biasanya, hanya 4—5 ton per bulan. Kemudahan para pedagang kurma dalam memasarkan produknya membuat nilai impor meningkat setiap tahun.
Badan Pangan Dunia (FAO) mencatat Indonesia sebagai negara kesembilan importir kurma terbesar di dunia pada 2012. Namun, dengan keunggulan agroklimat dan pangsa pasar besar, posisi itu bisa saja berbalik arah. Indonesia tetap berpeluang menjadi produsen kurma untuk mencukupi kebutuhan masyarakat yang terus melonjak saban tahun. Kebutuhan di dalam negeri cukup di pasok oleh para pekebun di tanahair. (Andari Titisari/Peliput: Bondan Setyawan, Muhammad Fajar Ramadhan, Hernawan Nugroho, dan Riefza Vebriansyah)