Laba dari asap cair mencapai 9 digit alias ratusan juta rupiah per bulan.
Tujuh tahun bekerja serabutan mulai dari membuat sangkar burung hingga buruh tani sungguh tak nyaman bagi Andrieyono. Pada 2006 ia memutuskan menjadi produsen asap cair. Pilihan itu muncul setelah Andrie melihat prospek bisnis asap cair yang menjanjikan di dunia maya. Keputusan warga Kecamatan Jenggawah, Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur, itu tepat. Saat ini omzet dari asap cair mencapai Rp700-juta—Rp1-miliar dengan laba bersih Rp234-juta per bulan. Pendapatan yang tidak pernah terbayang oleh Andrie bila tetap bekerja serabutan.
Nun di Yogyakarta, Imam Nurhidayat, dari CV Pusat Pengolahan Kelapa Terpadu (PPKT) memproduksi 10.000 liter per bulan asap cair. Cairan berwarna kekuningan itu dijual Rp25.000 per liter. Setelah dipotong biaya produksi sebesar Rp10.000 per liter, laba Imam mencapai Rp15.000 per liter. Dengan produksi 10.000 liter per bulan, pendapatan bersih Imam mencapai Rp150-juta.
Banyak gagal
Keberhasilan Andrie dan Imam memperoleh laba ratusan juta rupiah itu lantaran mereka mampu bangkit setelah gagal berulang-ulang. Andrie, misalnya. Ia kesulitan membeli alat pembuat asap cair lantaran harganya senilai sepeda motor terbaru. Itu sebabnya lajang yang hanya tamat SMP itu membuat sendiri alat pembuat asap cair. “Saya memakai drum bekas berkapasitas 200 liter,” kata pria 30 tahun itu. Drum itu berisi sekarung tempurung kelapa yang ia beli di pasar seharga Rp15.000.
Alih-alih mendapat asap cair, justru asap pembakaran itu lepas ke udara. “Saya keliru mengarahkan pipanya,” ungkap Andrie. Belum lagi berkali-kali upaya memperbaiki dan memodifikasi alat yang belum pas. Walhasil selama coba-coba itu ia merusak alat buatannya sampai 12 kali. “Setiap kali rusak sampai terbakar,” kata Andrie yang juga bereksperimen dengan membakar ranting dan daun kering, kayu, hingga ban mobil bekas serta sandal jepit itu.
Pintu keberhasilan kerja alat itu terkuak setelah Andrie berkenalan dengan seorang rekan yang tengah meriset asap cair. Mereka bekerja sama dan berbagi tugas: Andrie membuat alat untuk arang dan rekannya menganalisis komposisi asap cair yang keluar. Berselang setahun, Andrie dapat membuat asap cair setelah menghabiskan biaya hingga Rp100-juta.
Produksi perdana asap cair itu dibagikan gratis oleh Andrie. “Banyak yang menolak lantaran tidak tahu kegunaannya,” tuturnya. Meski sempat frustrasi, jerih payahnya mulai menemukan titik terang ketika mengikuti Lomba Inovasi Pemuda yang dihelat Kementerian Pemuda dan Olahraga pada 2011. Tak disangka rancangannya menjadi juara. Andrie memperoleh hadiah Rp14-juta.
Sukses itu membuka pintu penjualan. Terbukti ia mulai kebanjiran order. Untuk memenuhi permintaan itu, Andrie lantas menggandeng 2 rekan lain untuk memperoduksi asap cair nonpangan sebagai desinfektan dan penghilang bau. Pada 2012, Andrie menambah alat pembuat asap cair menjadi 4 unit dari semula satu unit. Belakangan jumlah alat bertambah hingga total 13 unit dengan kapasitas produksi keseluruhan 320 liter per hari atau 9.000 liter per bulan. Di bawah bendera CV Prima Rosandries, Andrie menjual asap cair seharga Rp35.000 per liter. Produknya beredar di 33 provinsi sampai mancanegara seperti Brunei Darussalam. Konsumennya mulai dari produsen makanan, herbal, sampai rumahsakit.
Imam hanya mampu memenuhi sepertiga dari permintaan 30.000 liter per bulan. Sisa permintaan itu ia berikan kepada mitra di Kalimantan Timur dan Sumatera Barat. “Kenaikan permintaan terasa sejak 6 tahun lalu,” kata Imam yang menyebutkan pembelinya semula terbiasa menggunakan asap cair impor. Setelah mengetahui produk lokal tak kalah berkualitas, mereka beralih memakai produk lokal.
Eli Nurlaeli dari PT Badranaya Putra, produsen sosis di Bandung, Jawa Barat, salah satu konsumen asap cair lokal. Eli membeli 20 liter asap cair untuk perisa aroma asap di sosis. Semula Eli menggunakan produk wood vinegar impor asal Inggris. Namun, ketika pasokan tersendat, ia membeli produk lokal. “Harga lebih murah dan kualitas bagus,” kata Eli. Menurut Imam, pembeli seperti Eli dengan keperluan 5—10 liter mencapai puluhan orang. “Yang di atas 500 liter per bulan sekitar 10—15 pelanggan,” katanya.
Yang juga mencecap gurihnya asap cair adalah Prof Dr Bambang Setiaji MSc (PT Tropica Nucifera Industry, Yogyakarta), Krishna Murti (Java Charco, Surakarta), dan Kurnia Aji Satriyo (PT Admedia, Kudus). Bambang Setiaji menuturkan kenaikan permintaan asap cair saat ini terkait razia gencar Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) terhadap penggunaan formalin dalam makanan. “Pemakaian formalin dosis rendah maupun tinggi sama bahaya,” kata Guru besar jurusan Kimia Universitas Gadjah Mada itu. Formalin dapat menyebabkan kerusakan hati, ginjal, sampai memicu kanker.
Berbeda dengan asap cair yang aman untuk pangan karena mudah terurai, larut sempurna dalam air, dan bebas logam berat. Terbukti asap cair produksi Imam dapat mengantungi izin BPOM setelah 3 tahun pada 2010. “Prosesnya lama karena BPOM belum mempunyai standar parameter baku untuk produk asap cair,” kata Imam. Produk asap cair itu diuji antara lain kandungan arsenik, benzopiren, logam berat, sampai LD50 alias dosis mematikan.
Pangan dan nonpangan
Sejatinya asap cair memiliki banyak kegunaan seperti untuk pengawet, pembangkit aroma, sampai pengganti detergen untuk mencuci bahan makanan mentah. Di pasaran dijual 2 jenis asap cair: asap cair khusus pangan dan nonpangan. Asap cair pangan bebas tar dan benzopiren yang bersifat karsinogen. Sementara asap cair nonpangan mengandung tar alias aspal. Umumnya setiap produksi asap cair dari pembakaran tempurung kelapa akan menghasilkan cairan berbau asap berwarna kehitaman karena kandungan tar. Itulah asap cair nonpangan alias kelas 3.
Untuk meningkatkan mutu sehingga menjadi asap cair pangan, asap cair kelas 3 diendapkan sebulan. Pengendapan itu akan memisahkan tar sehingga diperoleh cairan kemerahan sebagai asap cair pangan. Namun, itu belum selesai. Cairan disuling untuk membuang sisa partikel tar sehingga produk akhir asap cair pangan berwarna bening kekuningan mirip bensin. Itulah asap cair kelas 1. Menurut Drs Tri Kasihanto MSi, manajer produksi PT Tropica Nucifera Industry, kandungan tar asap cair grade 3 lebih dari 1%; 0,5—1%, grade 2; dan kurang dari 0,5%, grade 1.
Menurut Bambang Setiaji, rendemen asap cair mencapai 50%. Artinya pembuatan seliter asap cair memerlukan 2 kg tempurung kelapa. Seliter asap cair kelas 2 memerlukan 1,25 liter asap cair grade 3; kelas 1, 1,14 liter asap cair kelas 2. Dengan kata lain, seliter asap cair grade 1 berasal dari 5—7 kg tempurung alias rendemen 15—20%. “Tempurung harus berasal dari kelapa tua,” tutur alumnus program doktor bidang Teknik Kimia Universitas Salford di Manchester Inggris itu. Kadar air tempurung kelapa muda terlalu tinggi sementara kandungan asam asetat dan fenol—penyusun utama asap cair—justru minim. Efeknya, asap cair dari tempurung kelapa muda berkualitas rendah.
Dosis penggunaan asap cair pangan tergantung tujuan penggunaan. Sebagai pengawet, cukup 2—3%. Untuk membangkitkan aroma daging panggang, daging asap, maupun ikan asap, perlu larutan asap cair dengan konsentrasi 10%. Sebagai campuran obat untuk mengobati penyakit kulit seperti kudis, sebagai obat sakit gigi, bahkan sebagai antibiotik, konsentrasi asap cair berkisar 5—80%.
Sementara kebutuhan asap cair nonpangan lebih besar ketimbang asap cair pangan. “Pengolahan lateks menggunakan asap cair untuk meredam bau,” kata Imam. Asap cair juga bisa menggantikan bahan desinfektan dan vaksin di peternakan unggas. Imam memperkirakan, bila seluruh tempat pelelangan ikan (TPI) di Jawa menggunakan asap cair pangan, butuh sekitar 100.000 liter per bulan.
Indonesia timur
Peluang besar itu kini memiliki sandungan lantaran tempurung kelapa semakin terbatas karena menjadi rebutan banyak pihak. Harap maklum, tempurung kelapa juga menjadi bahan baku briket arang, obat nyamuk bakar, dan pernik kerajinan. Menurut Kurnia Aji Satriyo, direktur PT Admedia, produsen asap cair dan briket arang tempurung di Kudus, Jawa Tengah, saingan terberat mereka adalah industri kerajinan. “Mereka membayar lebih mahal dalam hitungan satuan, sementara kami beli curah,” tutur Aji.
Hal senada disampaikan oleh Krishna Murti, pembuat arang tempurung dan asap cair dari Java Charco di Surakarta, Jawa Tengah. “Kami sampai megap-megap mencari pasokan karena bersaing dengan pabrik obat nyamuk bakar yang berani membeli lebih mahal,” kata Krishna. Itu sebabnya Krishna membina mitra di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. “Saat ini kami akan membuka pengolahan asap cair di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan,” kata Krishna. Hal itu semata-mata demi laba dari asap cair. (Argohartono Arie Raharjo/Peliput: Lutfi Kurniawan)