Trubus — Jejak mengilap seperti air setengah membeku menghiasi permukaan lantai-lantai kebun. Penjaga kebun, Mustofa, sigap menyibak dedaunan di tepi jalur itu. Jejak itu berasal dari liur atau lendir yang merupakan sekresi dari perut bekicot. “Pletak!” Suara itu terdengar ketika ia melemparkan temuannya, hewan bercangkang cokelat bergaris, ke dalam ember yang dibawanya.
“Kalau musim hujan mereka cepat sekali beranak-pinak,” katanya. Ia melangkah melanjutkan pencariannya. Suara cangkang bekicot membentur dinding ember berkali-kali terdengar. Bekicot menjadi salah satu masalah di kebun saat musim hujan. Giant african snail—merujuk pada benua Afrika tempat asalnya—itu dibawa imperialis barat ke Asia Tenggara lebih dari 100 tahun silam. Mereka memboyong bekicot untuk diolah menjadi escargot—dibaca eis-kaa-gou—kuliner asal Perancis.
Di negara asalnya, escargot dibuat dari keong lain yang disebut roman snail jenis Helix sp. Sosok roman snail sepintas mirip bekicot, terutama corak cangkang yang sama-sama cokelat bergaris-garis. Namun begitu diolah, rasa escargot bekicot itu berbeda dengan yang “asli”. Sudah begitu, escargot bekicot itu menguarkan aroma aneh yang merusak selera. Kelanjutannya bisa diduga, pemanfaatan bekicot untuk menggantikan roman snail itu gagal total.
Peternakan bekicot di berbagai negara ditinggalkan begitu saja sehingga makhluk itu lepas ke vegetasi umum. Iklim tropis yang hangat dan basah seperti habitat asalnya di Afrika timur membuat bekicot cepat berkembang biak. Masyarakat Asia Tenggara tidak mempunyai kearifan lokal memanfaatkan pendatang dari Afrika itu. Beberapa orang petani memanfaatkan sebagai pakan ternak atau bahan pupuk organik.
Sejatinya kalau bekicot mau menjadi “anak baik” dan hanya berada di lantai kebun, mengurai seresah atau memakan gulma, petani tidak keberatan. Di tanaman yang tidak ternaung seperti komoditas hortikultura, bekicot tidak menimbulkan gangguan. Masalahnya, “Tanaman yang memerlukan naungan seperti kopi, apalagi di dataran rendah, rentan serangan bekicot,” ungkap pembudidaya kopi di Kecamatan Ambal, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Yuri Dulloh.
Yuri menyatakan bekicot paling hanya memakan beberapa lembar daun, tidak menyebabkan kerusakan berarti apalagi sampai mengurangi produksi buah. “Saya biarkan saja, nanti juga pergi,” katanya santai. Namun, petani daun katuk di Kabupaten Sukabumi, Bambang Ismail, tidak bisa sesantai Yuri. “Serangan bekicot bisa menggagalkan pembibitan lebih dari 80%,” kata Ismail. Pembibitan katuk menggunakan setek batang.
Bekicot mengupas kulit batang yang berwarna hijau. Kalau terserang, batang setek pasti gagal bertunas. Itu sebabnya ia rutin mengontrol pembibitan. Kalau tampak bekicot mendekat, ia buru-buru membunuhnya. Di lahan budidaya yang terbuka, bekicot jarang dijumpai selama rajin membersihkan gulma, menyingkirkan serasah atau tumpukan kayu maupun tempat yang potensial menjadi persembunyian bekicot.
Jika bekicot menjadi komoditas bernilai, masalah hama teratasi sekaligus memberikan penghasilan tambahan bagi petani. Thailand yang mengandalkan sektor pertanian juga menganggap bekicot salah satu hama utama. Ternyata Achatina fulica itu menyimpan zat berkhasiat untuk kesehatan. Dr. Pramote Chamnanpeun dari Departemen Zoologi dan Dr. Teerasak E-kobon dari Departemen Genetika—keduanya di Kasetsart University, Bangkok, Thailand, meriset serius potensi itu.
Mereka bukan yang pertama. “Penelitian bekicot di Thailand dimulai lebih dari 50 tahun lalu,” kata Pramote kepada reporter Trubus Tamara Yunike. Bidang penelitian mereka pun berkembang dari budidaya, anatomi, fisiologi, keragaman genetika, dan parasitologi. Satu dekade terakhir, mereka mulai riset yang lebih serius dengan mempelajari aspek biokimia bekicot. Pada 2012, Pramote mulai mengkhususkan diri meneliti lebih jauh liur atau lendir bekicot.
Periset di laboratorium gastropoda Pusat Penelitian Biologi LIPI, Kabupaten Bogor, Ir. Ristiyanti Marsetiyowati Marwoto, M.Si menyatakan liur itu membantu bekicot bergerak. “Bagian tubuh yang bergerak bersentuhan langsung dengan berbagai macam permukaan sehingga memerlukan perlindungan,” ungkap alumnus Pascasarjana Biologi Universitas Indonesia. Menurut Ristiyanti, satwa moluska (bertubuh lunak) menggunakan liur untuk melindungi bagian tubuh yang tidak terlindung cangkang dari pengaruh lingkungan.
Pramote menyatakan, liur melindungi bekicot dari dehidrasi, mencegah infeksi mikrob patogen, membantu pergerakan maju, sekaligus berkomunikasi dengan bekicot lain. “Liur juga melindungi bekicot saat berhibernasi pada kemarau panjang,” kata Pramote. Saat itu bekicot “bersembunyi” dalam cangkang. Makhluk tak bertulang itu melapisi bagian yang terbuka dengan liur tinggi kalsium. Zat kapur itu mengering membentuk lapisan pelindung, mencegah kehilangan cairan tapi bekicot tetap bisa bernapas.
Kemampuan itulah yang menggugah minat Pramote. Ia pun menggandeng rekannya dari berbagai jurusan maupun lembaga untuk meneliti liur bekicot. Saat ini peneliti di universitas tertua di Kota Bangkok, Thailand, itu menyentuh aspek omics—julukan untuk bidang penelitian yang menyangkut genomik, proteomik, dan metabolomik. Penelitian permulaan menyingkap kandungan lapisan peptida dan protein dalam liur bekicot.
Mata orang awam melihat liur bekicot sebagai zat tunggal, tapi sebenarnya, “Ada 2 jenis kelenjar liur di kaki bekicot, masing-masing menghasilkan zat berbeda yang fungsinya juga berbeda-beda,” ungkap Pramote. Ia memaparkan, setidaknya ada 2 jenis kelenjar liur. Kelenjar di punggung yang tersusun atas sel berbentuk tabung (tubular) dan kelenjar di kaki di sisi bawah perut yang bentuk selnya membulat. Kedua jenis kelenjar itu menghasilkan liur yang mengandung mukopolisakarida asam dan netral.
Proporsi produksi mukopolisakarida itu berubah seiring perkembangan usia. Ketika baru menetas sampai umur sebulan, kelenjar di punggung dan kaki bawah perut sama-sama menghasilkan polisakarida netral. Umur 2—3 bulan, produksi mukopolisakarida asam di kelenjar punggung lebih banyak menghasilkan ketimbang yang netral. Di kelenjar bawah perut, produksi mukopolisakarida netral itu minim pada umur sebulan, melonjak tinggi di umur 2 bulan, dan menurun ketika umur 3 bulan.
Apa pentingnya mukopolisakarida? Menurut Pramote dan Teerasak liur mengandung glukosaminoglikan (GAG), khususnya zat bernama acaran sulfat. Mereka menyatakan acaran sulfat mempunyai 4 fungsi. Pertama, mengikat, menyerap, dan memindahkan kation. Kedua, mencegah kehilangan cairan. Ketiga, mempermudah pergerakan maju; dan keempat, antibiotik atau antipredator.
Zat acaran sulfat dalam butiran GAG itulah muasal rasa dan aroma tidak enak ketika bekicot diolah menjadi escargot. Namun, “Sifat antimikrob, antiparasit, atau antipredatornya terbukti berefek analog (menghasilkan efek serupa, red.) meski liur itu tidak lagi berada di tubuh bekicot,” kata Teerasak. Ia membuktikannya dalam penelitian invitro terhadap kultur sel kanker payudara MCF-7. Riset rumit—melibatkan fraksinasi dan berkali-kali melalui kromatografi cair kinerja tinggi (high performance liquid chromatography, HPLC)—itu mengungkap sumber zat aktif bahan antisel kanker.
Sumbernya tidak lain adalah turunan acaran sulfat alias GAG, yang bentuknya sedikit berbeda sehingga Teerasak menyebutnya acasin. Salah satu fraksi acasin yang berbentuk peptida efektif menghambat perkembangan kultur sel kanker dan justru meracuni (sitotoksik) sel kanker. Itu baru satu fraksi—pecahan—dari salah satu turunan acaran sulfat. Padahal, “Liur bekicot mengandung beragam zat aktif dari berbagai golongan, seperti peptida, glikoprotein, atau proteoglikan,” kata Teerasak.
Wajar saja 3 tahun terakhir bermunculan peternakan bekicot di Thailand, khususnya di Provinsi Nakornnayok yang hanya 2—3 jam bermobil dari Bangkok. Para peternak, dengan bimbingan para periset dari Universitas Kasetsart, mampu mengambil liur dari bekicot dan menjualnya ke salah satu pabrik. “Liur menjadi bahan utama kosmetik antipenuaan dini dan meremajakan kulit,” kata Pramote.
Prediksinya terbukti, pemanfaatan bekicot sebagai kosmetik mengatasi masalah hama. Bahkan, petani di negeri Gajah Putih itu kini mendapat tambahan penghasilan dari bekicot. Satwa moluska itu bukan sekadar hama. (Argohartono Arie Raharjo/Peliput: Tamara Yunike)