Kiat penyemprotan fungsisida untuk mengendalikan cendawan Fusarium oxysporum agar efektif.
Trubus — Yoga Ade Pranata pernah jera menanam bawang merah. Pekebun di Desa Segaran, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, itu gagal panen. Mula-mula tanaman anggota famili Liliaceae itu layu. Ia akhirnya tahu biang keladi rusaknya tanaman karena ulah cendawan Fusarium oxysporum. Petani setempat menyebutnya penyakit moler atau layu fusarium. Makhluk liliput itulah yang menghancurkan tanaman bawang merahnya di lahan 1.500 m² pada 2017.
Sejatinya petani dapat mengendalikan serangan cendawan Fusarium oxysporum dengan menyemprotkan fungsisida seperti Octave 50 WP berbahan aktif Prochloraz-manganese chloride complex 50%. Konsentrasi hanya 2 gram per liter air. Penyemprotan 1 hektare lahan hanya memerlukan 650 gram. Fungisida itu bekerja secara translaminar ke jaringan tanaman dan mengendalikan penyakit secara protektif dan eradikatif.
Memutus siklus
Menurut Senior Crop Manager Vegetable PT Bina Guna Kimia (FMC), Agus Suryanto, S.P, petani sebaiknya juga memutus siklus penyakit dengan membudidayakan komoditas berbeda di luar famili Liliaceae. Menurut Agus kebiasaan petani yang terus-menerus menanam bawang merah tanpa pergiliran tanaman juga meningkatkan risiko selangan moler atau layu fusarium.
Faktor dari tanaman seperti penggunaan bibit yang tidak selektif, menggunakan bibit dari tanaman inang yang terinfeksi, serta kurangnya kandungan organik tanah dapat meningkatkan potensi serangan layu fusarium. Upaya mencegah serangan layu fusarium lebih baik daripada mengatasi. Jika moler telanjur menyerang, gunakan fungisida yang tepat agar pengendalian efektif.
Menurut Yoga kebanyakan petani sembarangan menggunakan fungisida. Petani kelahiran 5 Februari 1993 itu menuturkan, “Yang penting kena daun atau tidak jarang ditemui aplikasi yang berlebihan. Harusnya satu lahan pakai satu tangki, ini empat tangki,” kata pria 26 tahun itu. Menurut Agus Suyanto pemilihan jenis fungisida yang tidak tepat menyebabkan pengendalian penyakit pun gagal.
Namun, kerap kali petani keliru dalam penyemprotan fungsida. Akibatnya menimbulkan masalah baru seperti cendawan menjadi kebal hingga terjadi resurjensi atau peledakan populasi. Agus Suryanto menyarankan setelah dua kali penyemprotam Octave 50 WP petani dapat mengganti dengan Rovral 50 WP dengan dosis yang sama. Tujuannya menghindari cendawan fusarium menjadi kebal akibat pemakaian berulang-ulang.
Faedah perekat
Menurut Agus petani sebaiknya juga menggunakan perekat seperti surfaktan terutama saat musim hujan. Tujuannya agar fungsida itu tidak lekas “tercuci” saat hujan turun.Menurut Yoga, selain untuk menurunkan tegangan air, perekat membantu meminimalisir penggunaan fungisida serta memaksimalkan masuknya bahan aktif ke jaringan tanaman.
Penambahan surfaktan dalam larutan fungisida sangat dianjurkan. Apalagi kebutuhan surfaktan juga relatif kecil, hanya 20 ml per sekali penyemprotan. Selain itu, petani kerap mengabaikan waktu menyemprotkan fungisida. Menurut Yoga dalam menyemprotkan fungisida terdapat 5 kaidah, yakni tepat dosis, tepat guna, tepat sasaran, tepat waktu, dan tepat konsentrasi.
Sebelum menentukan jenis fungisida, petani sebaiknya mengidentifikasi gejala serangan dan penyebab penyakit. Menurut Yoga jika petani mengetahui penyebab penyakit, dapat menentukan bahan aktif. Adapun dosis dan konsentrasi tinggal mengikuti anjuran yang tertera di kemasan. Dari langkah awal yang sederhana, kaidah dosis, sasaran, guna, dan konsentrasi telah terpenuhi.
Agus Suryanto menganjurkan petani menyemprotkan fungsida pada fase awal sebelum terjadi seragan penyakit layu fusarium (moler). “Secara umum bisa dilakukan aplikasi Octave 50WP mulai umur 14 hari setelah tanam (HST),” kata Agus. Bila daerah sentra bawang merah merupakan endemik petani sebaiknya menyemprotkan fungsisida lebih awal, misalnya 7—10 hari setelah tanam. (Hanna Tri Puspa Borneo Hutagaol)