Trubus.id—Lima mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) meneliti pemanfaatan rumput laut dan buah mengkudu sebagai pakan aditif untuk memodifikasi keadaan rumen ternak ruminansia. Harapannya dapat menekan angka produksi gas metana pada ternak.
Melansir pada laman UGM, emisi gas metana menjadi salah satu penyebab terjadinya global boiling atau gambaran kenaikan suhu bumi yang ekstrem dan dianggap telah melampaui fase pemanasan global (global warming).
Global Monitoring Laboratory mencatat bahwa emisi gas metana terus meningkat sejak 1980 yakni 1.620 ppb. Pada Oktober 2023 mencapai 1933.46 ppb. Emisi gas tersebut berpotensi meningkatkan suhu global 28 kali lipat dibandingkan CO2.
Sekitar 20—25% dari total emisi gas metana berasal dari aktivitas peternakan, yaitu melalui proses fermentasi enterik dalam rumen ternak yang menghasilkan gas metana. Keluar melalui feses dan saat ternak bersendawa.
Melalui kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Eksakta (PKM-RE) yang didanai oleh Kemendkibud-Ristek. Ahmad Rizal Riswanda Danuartha, Aqidatul Izza, Dinda Rahmasari, Elsia Manik, dan Tanaya Bagus Priya Waskita di bawah bimbingan Moh. Sofiul Anam, S.Pt., M.Sc meriset potensi dua tanaman itu untuk menekan angka produksi gas metana pada ternak.
Rizal menuturkan rumput laut mengandung senyawa metabolit sekunder yang dapat menurunkan emisi gas metana yang dihasilkan oleh ternak. Ia mengungkapkan penggunaan macroalgae jenis Gracilaria sp. bukan tanpa alas an. “Banyak mengandung tanin, saponin, alkaloid, dan flavonoid,” katanya.
“Dipercaya bisa memodifikasi proses fermentasi pakan di dalam rumen ternak dengan menghambat kinerja bakteri metanogenik, sehingga dapat menekan angka produksi gas metan dari sektor peternakan tanpa mengganggu pencernaan ternak itu sendiri,” ujar Ahmad.
Sementara mengkudu menurut Ahmad, mempunyai kandunga nsenyawa metabolit sekunder di antaranya tanin, polifenol, flavonoid, dan senyawa lain. Tim riset menggunakan sampel rumput laut dari Pantai Sepanjang, Gunungkidul. Sementara buah mengkudu segar, Ahmad dan rekan peroleh dari daerah Berbah, Sleman.
Mula-mula periset mengering anginkan rumput laut selama 2 pekan, sementara buah mengkudu dioven pada suhu 550C selama 3 hari. Setelah itu, sampel diekstraksi dan dikeringkan menggunakan metode freeze-drying hingga menjadi granule.
Elsia Manik menuturkan hasil granule dari macroalgae dan buah mengkudu itu akan melalui uji in vitro di Laboratorium Teknologi Makanan ternak (TMT) Fakultas Peternakan dan Laboratorium Kimia Organik (KIMOR) UGM. Pada saat uji in vitro, periset menggunakan cairan rumen dari sapi fistula bangsa bali, yang diambil gasnya untuk dianalisis produksi gas metana itu.
Hasil riset menunjukkan penambahan ekstrak macroalgae dan M. citrifolia dengan dosis T2 (3% macroalgae + 3% M. citrifolia) dan T3 (2% macroalgae + 4% M. citrifolia) menunjukkan terjadinya peningkatan kecernaan bahan kering mencapai 5,78% dan 4,73%.
Ia menjelaskan produksi gas metana pada jam ke-24 terjadi penurunan yang signifikan pada dosis T1 (4% macroalgae + 2% M. citrifolia) dan T3 (2% macroalgae + 4% M. citrifolia) berturut-turut sebesar 14,04% dan 33,1%.
Pada jam ke-48 terjadi penurunan produksi gas metana sebesar 27,78%. “Padahal, awalnya energi dalam pakan tidak dapat terserap secara optimal karena digunakan untuk produksi gas metan,” katanya.
Manik dan tim berharap , emisi gas metana yang disumbangkan oleh sektor peternakan dapat berkurang dengan inovasi itu, sehingga dapat mengatasi perubahan iklim secara bertahap.