Air hujan banyak menjadi limpasan atau terbuang ke sungai dan laut. Embung upaya memanen air hujan untuk pengairan tanaman buah.
Trubus — “Air hujan bisa dimanfaatkan ketika kemarau,” kata ahli hidrologi dari Institut Pertanian Bogor, Dr. Ir. Hendrayanto. Biasanya air hujan hanya menjadi air limpasan yang mengalir di atas permukaan tanah kemudian mengalir ke sungai. Keruan saja akibat tingginya air limpasan sekaligus buruknya “memanen” air hujan itu menyebabkan masyarakat acap kekurangan air ketika kemarau dan banjir saat musim hujan.
Persentase air limpasan di perkotaan cenderung meningkat. Menurut Hendrayanto area bervegetasi meminimalkan limpasan air hujan. Di kebun tanaman buah, air hujan yang mengalir ke sungai hanya 50% atau malah kurang. “Semestinya air hujan tak terbuang ke sungai atau laut, tetapi kita simpan untuk memperkaya air tanah,” kata Hendrayanto. Namun, pekebun tidak bisa serta-merta mengandalkan air hujan yang tertampung dalam akuifer (air tanah dangkal).
Solusi embung
Menurut Hendrayanto tidak semua lapisan tanah mempunyai akuifer. Kalaupun ada, kedalamannya bervariasi. Itu sebabnya embung menjadi alternatif tepat. Air hujan akan tertampung dalam embung itu sehingga lebih bermanfaat—antara lain untuk budidaya hortikultura atau tanaman pangan. Direktur eksekutif Yayasan Obor Tani, konsultan pembangunan embung, Pratomo menyatakan salah satu embung untuk memanen air hujan ada di Desa Karanggeneng, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, Jawa Tengah.
Embung yang kini pengelolaannya ditangani Dinas Pertanian itu terdiri atas 2 danau dengan ukuran berbeda. Embung yang lebih atas, berkapasitas 1.000 m³, lebih tinggi 2 m ketimbang danau bawah. Sementara itu embung bawah, yang hanya terpisah jarak 30 m, berkapasitas 2.500 m³ atau mampu menampung 2,5-juta liter air. Pembuatan 2 embung terpisah itu lantaran menyesuaikan kondisi lahan. “Bukit untuk membuat embung itu mempunyai 2 puncak dengan ketinggian berbeda,” kata Pratomo.
Embung lain yang cukup unik berada di Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta. Embung yang berada di sentra durian menoreh itu mengairi 3.000 pohon durian di lahan seluas 20 ha milik 111 petani inti. Sementara itu di Desa Kledung, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, embung Kledung mengairi komoditas buah yang langka di tanahair, yaitu leci dan kesemek. Pohon-pohon itu milik 27 keluarga petani di sekitar embung. Kecamatan itu berada di kaki Gunung Sindoro, salah satu sentra hortikultura Jawa Tengah.
Selain itu di sisi selatan gunung purba Nglanggeran, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, juga terdapat embung. Di area berketinggian 450 m di atas permukaan laut (dpl) terdapat embung berukuran 40 m x 70 m dengan kedalaman air ketika penuh 4 m, embung mampu menampung 12.000 m³—setara 12-juta liter—air hujan. Pratomo menyatakan bahwa simpanan air dalam embung mampu mengairi 20 ha lahan dalam radius 1 km dari embung. Syaratnya, lahan itu ditanami pohon buah yang merupakan tanaman tahunan.
Yayasan Obor Tani milik pegiat pertanian dan tanaman buah di Semarang, Budi Dharmawan, membangun embung di berbagai daerah sejak 2014. Idenya berasal dari kebun tanaman buah milik mereka sendiri di Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Kebun seluas 25 ha itu berisi berbagai pohon buah seperti durian, jeruk, lengkeng, dan srikaya. Pada 2009, pengelola Hortimart—perusahaan milik Budi Dharmawan—memanfaatkan kontur kebun yang berbukit-bukit sebagai penyimpan air hujan.
Mereka lantas membangun 3 embung. Air dari ketiga embung itu mencapai pohon melalui jaringan pipa polivinil klorida (PVC). Jaringan pipa itu terbagi menjadi 3 tingkat, yaitu pipa primer, sekunder, dan tersier. Pipa primer, berdiameter 4 inci, mengalirkan air dari saluran keluar di dasar embung ke beberapa pipa sekunder. Dari pipa-pipa sekunder berdiameter 2 inci itu, air mengalir ke beberapa pipa tersier.
Pipa tersier berdiameter 1 inci itu mengalirkan air ke keran-keran di lahan. Jarak antarkeran 50 m. Air dari embung mengalir sampai keran dengan mengandalkan gravitasi. Itu karena embung dibuat di titik tertinggi. Pembuatan embung melibatkan peralatan berat. Alat-alat berat itu berupa buldozer untuk membuka jalan akses bagi alat berat lain, yaitu ekskavator pembentuk untuk mengeruk puncak bukit, dan ekskavator finishing untuk membentuk serta merapikan dinding tanggul.
Kebun buah
Tahap terakhir yang paling vital yang adalah pemadatan tanggul dengan vibro roller. Vibro roller adalah mesin pemadat yang lazim digunakan untuk pembuatan jalan raya. Tujuannya agar kepadatan tanah uruk yang membentuk tanggul sama dengan gundukan tanah alami. Tanpa pemadatan, tanggul bisa runtuh lantaran gagal menahan bobot air. Untuk memadatkan tanggul embung, Pratomo mensyaratkan penggunaan vibro roller berbobot 12 ton.
Ukuran alat berat itu cukup kecil sehingga mampu bergerak lincah di permukaan tanggul yang sempit. Meski demikian, bobotnya efektif memadatkan tanah urukan. Di dasar embung, lapisan batu pecah bertepi bulat—disebut batu blondos—mengatur kemiringan dasar agar semakin menurun ke arah saluran drainase. Kemiringan itu bertujuan mempermudah pengurasan air ketika musim kemarau.
Pengurasan itu bertujuan memperbaiki kebocoran, membersihkan dan menambal sobekan yang mungkin terjadi di lapisan geomembran. Geomembran adalah lembaran plastik polietilen densitas tinggi (HDPE) mirip karpet tapi berpelindung khusus sehingga tahan sinar ultraviolet, panas matahari, maupun kadar garam dalam air. Kelebihan itu membuat geomembran awet 10—25 tahun, jauh lebih awet ketimbang terpal andalan peternak ikan.
Pekerja pembuat embung menyambung lapisan geomembran setebal 0,75 mm itu dengan las panas sehingga membentuk lembaran besar kedap air. Lembaran geomembran besar itu menahan air hujan agar tidak merembes ke dasar tanggul. Pagar di pinggir embung menghalangi pengunjung agar tidak menginjak ujung lembar geomembran permukaan tanggul. Menurut Pratomo, volume embung dirancang untuk mengairi pohon buah.
“Perhitungan volume embung berdasarkan kebutuhan air tanaman buah selama 6 bulan kemarau,” tutur Pratomo. Jika menanam tanaman pangan atau hortikultura, maka embung berkapasitas 8.000 m³ hanya mampu mendukung 3—4 ha lahan selama 6 bulan. Penambahan luas lahan otomatis mengurangi durasi daya dukung tampungan air dalam danau buatan itu.
Hingga 2017, Yayasan Obor Tani membangun 52 embung dengan beragam kapasitas di berbagai daerah. Kebanyakan di Jawa Tengah, sisanya DI Yogyakarta (3 embung), serta Jawa Barat dan Jawa Timur (masing-masing 2 embung). Pada Juli 2017, mereka tengah mengerjakan embung berkapasitas 8-juta liter air di Desa Tanjunglapang, Kecamatan Malinau Barat, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara.
Embung berketinggian sekitar 70 m itu untuk mengairi 5 ha sawah dan 3 ha kebun durian. Beberapa embung mempunyai kekhasan yang membedakan dengan embung lain. Kehadiran embung kerap menawarkan pemandangan eksotis sehingga menarik kedatangan pelancong. Pengelola embung Nglanggeran berencana menambahkan wahana luncur (flying fox) untuk mengundang lebih banyak lagi pengunjung.
Menurut pendamping masyarakat di embung Nglanggeran, Setiyo Cahyono, pemasukan dari pariwisata justru menjadi andalan sementara pohon buah belum berproduksi. Warga desa di sekitar embung membudidayakan kambing peranakan etawa (PE) di antara pohon kakao. Pohon kakao menyediakan hijauan pakan kambing, sedangkan kambing menghasilkan pupuk untuk pohon. Buah kakao diolah menjadi dodol cokelat yang dijajakan di warung-warung di sekitar embung, sementara susu kambing dijual ke pengepul yang datang dari berbagai daerah. Embung terbukti tidak hanya meningkatkan hasil pertanian, tapi juga penghasilan warga sekitar. (Argohartono Arie Raharjo)