
Pada masa depan kebutuhan daging masyarakat Indonesia tidak hanya berasal dari sapi dan kerbau. Kemungkinan penduduk Indonesia juga mengonsumsi sumber protein hewani dari satwa liar seperti anoa. Rencana jangka panjang itu tidak bakal terwujud dalam hitungan tahunan, bahkan puluhan tahun. Mungkin perlu waktu hingga ratusan tahun untuk menyantap daging anoa secara legal.
Harap mafhum saat ini satwa endemik Pulau Sulawesi itu dilindungi pemerintah karena terancam punah. Perburuan dan perdagangan satwa berkuku itu haram. Populasi anoa di alam semakin merosot karena alih fungsi hutan dan perburuan. Data dari Forest Watch menunjukkan, luas hutan di Pulau Sulawesi 9-juta hektare pada 2009. Sebelumnya pada 2000 hutan di pulau yang berbentuk huruf K itu seluas 10,7-juta hektare.

Artinya rimba di Pulau Selebes menurun hingga 166.784 hektare per tahun. Penurunan itu terjadi pada ekosistem hutan dataran rendah yang berubah menjadi pemukiman, lahan pertanian, dan perkebunan. Selain itu perburuan anoa juga terus terjadi. Lazimnya pemburu menggunakan perangkap untuk menjebak anoa. Mereka mengambil daging anoa dan menjadikan tanduknya hiasan.
Kerusakan dan pengejaran anoa yang terus berlanjut mempercepat kepunahan hewan menyusui itu. Anoa yang termasuk ruminansia seperti sapi dan kerbau berpotensi cukup besar untuk dikembangkan sebagai satwa budidaya. Penelitian menunjukkan, daging anoa memiliki indeks penyebaran kelompok urat daging baku yang lebih baik daripada sapi, kerbau, dan banteng.
Kandungan lemak anoa juga lebih rendah ketimbang ketiga satwa itu. Proses membudidayakan satwa liar didahului dengan proses domestikasi. Domestikasi merupakan pengadopsian tumbuhan dan hewan dari kehidupan liar ke dalam lingkungan kehidupan sehari-hari manusia. Secara sederhana domestikasi adalah proses penjinakan hewan liar. Manusia memantau domestikasi sebagai proses perkembangan organisme yang mencakup perubahan genetik yang berlangsung secara berkesinambungan.
Domestikasi juga mencakup pembiakan dan pemberian pakan. Sejatinya domestikasi bukanlah barang baru. Sejarah mencatat sekitar 6.500 sebelum masehi (SM) manusia berupaya mendomestikasi sapi yang pada mulanya berasal dari Asia barat daya, Eropa, dan India. Pada 4000 SM manusia mendomestikasi kerbau yang berasal dari lembah Sungai Indus, India.

Sementara awal mula domestikasi sapi bali yang berasal dari nenek moyang banteng di Jawa terjadi 2500 SM. Kini rusa mulai dibudidayakan sebagai hewan ternak penghasil daging dan ranggah. Teknik dalam proses domestikasi adalah melalui penangkaran. Penangkaran adalah pemeliharaan dan perkembangbiakan sejumlah satwa liar yang sampai batas-batas tertentu dapat diambil dari alam.
Pengembangan selanjutnya diambil dari keturunan-keturunan yang berhasil dari penangkaran. Terdapat empat faktor penentu keberhasilan penangkaran satwa liar antara lain objek. Peneliti mesti memperhatikan kondisi populasi satwa liar sasaran di alam, kondisi spesies, proses pemeliharaan, dan pemanfaatannya. Kunci sukses lainnya yaitu penguasaan ilmu dan teknologi, ketersediaan tenaga terampil dan profesional, serta masyarakat yang diharapkan berperan sebagai sasaran utama dalam pemasaran produk.
Penelitian anoa sebagai potensi satwa budidaya bermula pada 2000. Kegiatan diawali dari proses adaptasi, pemeliharaan dalam penangkaran, kesehatan, reproduksi, dan pakan termasuk pakan alternatif di sekitar penangkaran. Hasil pengamatan mengungkapkan anoa beradaptasi baik terhadap lingkungan baru di dalam penangkaran. Sumber pakan anoa di penangkaran antara lain rumput, sayuran, umbi, serta buah-buahan.

Anoa juga memiliki ketahanan yang baik terhadap serangan penyakit. Tantangan dalam domestikasi anoa selain kepastian taksonomi yang belum jelas, teknologi reproduksi untuk mempercepat menghasilkan generasi berikutnya belum dikuasai. Itu penting karena salah satu indikator keberhasilan penangkaran adalah populasi yang semakin banyak. Domestikasi satwa liar termasuk anoa merupakan perjalanan panjang yang membutuhkan dana besar.
Selain tetap menjamin kestabilan populasi anoa di alam, dukungan dan komitmen dari berbagai pihak sangat diharapkan. Perlu puluhan generasi untuk mendapatkan galur-galur yang benar-benar adaptif dengan lingkungan buatan manusia. Domestikasi konvensional membutuhkan waktu yang sangat lama. Oleh karena itu terobosan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat diperlukan untuk mempercepat domestikasi.

Keberhasilan program domestikasi anoa sangat menguntungkan karena kelestarian sumber daya genetiknya lebih terjamin, keanekaragaman satwa di Pulau Sulawesi dapat dipertahankan, serta keanekaragaman hewan domestik sebagai sumber protein hewani lokal akan bertambah. Selain itu masyarakat berpeluang mengembangkan peternakan anoa sehingga meningkatkan pendapatan.
Harapan lainnya domestikasi anoa mampu menjadi jalan keluar untuk menanggulangi perburuan. Sejarah membuktikan bahwa hewan hasil domestikasi seperti kambing, domba, sapi, dan kerbau jauh lebih besar manfaatnya dan lebih lestari di alam dibandingkan ketika hewan-hewan tersebut masih liar. Domestikasi anoa yang berhasil pun dapat menambah kebutuhan pasokan daging nasional sekaligus menjamin kelestarian anoa di alam. (Diah Irawati Dwi Arini dan Anita Mayasari, peneliti di Anoa Breeding Center, Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manado, Sulawesi Utara)