Indonesia punya modal kuat menjadi pemain besar hortikultura dunia.Kementerian Pertanian seperti disampaikan oleh Dirjen Hortikultura, Hasanuddin Ibrahim, dalam konferensi pers Refleksi Akhir Tahun di Jakarta pada Senin, 2 Januari 2012 mengungkap fakta Indonesia adalah negara eksportir terbesar nanas di dunia. Nilai ekspornya mencapai US$139-juta dengan pasar hampir ke seluruh dunia. Terbesar Amerika Serikat, diikuti negara-negara di Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Latin seperti Peru, Uruguay, dan Panama, serta India. Nanas diekspor dalam bentuk nanas olahan dalam kaleng (finance.detik.com).
Nanas itu berasal dari sebuah perusahaan hortikultura yang berorientasi ekspor PT Great Giant Pineapple (GGP) di Lampung. Kesuksesan GGP yang berdiri pada 1979 itu menjadi produsen nanas terbesar hanya butuh waktu 17 tahun. Di usianya yang ke-17 mereka sudah mampu memproduksi 700 ton nanas olahan. Sementara Filipina hanya mampu memproduksi 500 ton pada umur yang sama.
Itu pun patungan dari 5 perusahaan berbeda. Thailand butuh 63 tahun untuk menyejajarkan diri bersama Indonesia dan Filipina. Itu membuktikan, Indonesia mempunyai potensi untuk memproduksi komoditas hortikultura dalam skala besar dan menghasilkan produk berkualitas. Contoh sama ditunjukkan oleh PT Nusantara Tropical Fruit yang berorientasi pada ekspor pisang.

Langka
Fenomena dua perusahaan itu mengingatkan pada peran penting komoditas pertanian dalam sejarah Indonesia. Sejak berabad-abad silam Indonesia sohor sebagai kantung hasil bumi yang melimpah ruah. Kepopulerannya bahkan mengundang minat saudagar barat untuk datang. Bulan berganti tahun, dengan dalih berdagang itu pula mereka saling berebut menjadi penguasa negeri. Sebut saja Portugis, Inggris, dan Belanda. Ratusan kapal dikirim hanya untuk mengangkut berton-ton produk perkebunan dan hortikultura nusantara. Sungguh sebuah potret wilayah yang kaya akan sumber daya alam.
Sayang kondisi saat ini justru sebaliknya. Negeri ini seolah sedang mengalami kelangkaan hasil bumi. Produk pertanian dari negeri tetangga menjadi penguasa pasar, bukan produk lokal. Sungguh memprihatinkan bila jagung, kedelai, bawang merah, dan beragam buah-buahan impor membanjiri pasar dalam negeri. Preferensi pasar pun cenderung berpihak pada produk-produk impor.
Kualitas produk impor menjadi penyebabnya. Apalagi dengan harga yang relatif murah dibanding produk lokal, tentu pilihan konsumen jatuh pada produk yang berkualitas lebih baik. Kelangkaan produk hortikultura seperti itu dapat memicu terjadinya inflasi.
Lantas bagaimana dalam jangka panjang? Bila tidak segera ditangani tentu negeri khatulistiwa ini akan menjadi sasaran empuk bagi negara lain untuk memasarkan produknya. Bagaimanapun kebijakan untuk menggenjot produk dalam negeri baik dari segi kualitas, kuantitas, maupun biaya, dan meningkatkan volume ekspor akan lebih menguntungkan. Strategi sebagai negara agraris pun pernah dituangkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Namun, sudah hampir satu dekade strategi itu mulai pudar.
Peran Pemerintah
Setiap wilayah di tanahair memiliki kemampuan yang berbeda. Tidak semua produk hortikultura yang menarik di pasar lokal maupun internasional dapat dikembangkan di setiap daerah. Jenis komoditas yang menonjollah yang layak dikembangkan. Begitu juga daerah yang berpotensi tinggi untuk mengembangkan sebuah komoditaslah yang perlu mendapat perhatian.
Selanjutnya, pendampingan pemerintah pada para pelaku hortikultura juga sangat dibutuhkan untuk mengembangkan hortikultura di tanahair dalam jangka panjang. Penerapan konsep inti plasma merupakan salah satu cara untuk menjaga kelangsungan pengembangan komoditas hortikultura.
Fakta di lapangan, banyak dijumpai kegagalan produksi hortikultura akibat rendahnya pemahamam petani terhadap penguasaan teknologi budidaya. Berkembangnya penyakit tular tanah seperti Fusarium sp, Phytophthora sp, Erwinia sp, serta penggunaan pestisida yang kurang bijak sangat berpengaruh terhadap rendahnya hasil panen. Di sini peran pemerintah untuk memberikan informasi mengenai teknologi budidaya pertanian yang benar pada petani. Di samping itu kebijakan pemerintah untuk mengendalikan peredaran pestisida sangat diperlukan.
Di samping itu, penguasaan teknologi mekanisasi, alat pengolahan tanah, penanaman, perawatan, pemanenan, pengawetan, dan irigasi juga sangat menentukan peningkatan produktivitas dan pengembangan produksi hortikultura dalam jangka panjang. Teknologi manual tampaknya sangat menghambat proses budidaya di sebuah kebun hortikultura. Tenaga kerja yang murah tentu bukan hal menarik bagi angkatan kerja.
Fluktuasi harga
Fluktuasi harga komoditas hortikultura relatif lebih tinggi dibandingkan fluktuasi harga komoditas pangan. Sebagai sebuah komoditas strategis, pemerintah turut terlibat intensif dalam menentukan keseimbangan harga pangan. Misalnya melalui operasi pasar oleh Badan Urusan Logistik (Bulog). Bagaimana dengan hortikultura? Risiko jatuhnya harga dan kegagalan panen menjadi hambatan berkembangnya industri hortikultura dalam negeri. Padahal industri hortikultura dalam negeri harus bersaing dengan produk impor yang memiliki standar kualitas tinggi dan harga murah.
Keterlibatan pemerintah sangat diperlukan guna menjadikan industri hortikultura menarik bagi petani. Jaminan kestabilan harga, supervisi teknologi, bantuan pemasaran, perlindungan terhadap serangan barang impor akan sangat membantu petani.

Karakter produk hortikultura yang mudah rusak membuat tidak ada pilihan bagi petani selain harus segera menjual setelah panen. Petani-petani itu memiliki daya tawar sangat rendah. Teknologi penyimpanan dan pengawetan akan sangat berarti bagi mereka guna meningkatkan daya tawarnya di pasar.
Pada perusahaan-perusahaan besar standar kualitas, seperti Standar Nasional Indonesia (SNI), International Organization for Standardization (ISO), Hazard Analysis Critical Control Point (HCCP) sudah tidak asing lagi. Bagaimana bagi petani? Perlu sosialisasi standar kualitas yang berkelanjutan agar mereka mengerti tingkat kompetensi dirinya terhadap kondisi pasar.
Solusi yang tidak terintegrasi akan menimbulkan “balloon fenomena”. Satu sisi masalah selesai, tetapi muncul masalah baru. Beragam masalah hortikultura bukan tidak mungkin akan menenggelamkan Indonesia dengan membanjirnya produk impor. Kesungguhan merupakan kunci solusi.***
*(Ir Ratno Soetjiptadie, PhD, utusan Food Agricultural Organization (FAO) bidang pengembangan pertanian di Indonesia, Vietnam, Kamboja, dan Papua Nugini)