Plum asal daerah subtropis berbuah di Bandung.
Buah seukuran bola pingpong itu amat seronok. Warnanya jingga amat kontras dengan hijau daun. Itulah plum yang tumbuh subur di halaman depan kediaman Akhmad Setiobudhi. Plum Prunus americana merupakan tanaman subtropis. Namun, kolektor tanaman buah di Bandung, Jawa Barat, itu sukses membuahkan kerabat mawar itu. Di sebuah pohon itu menggelayut lebih dalam pot 10 buah.
Saat buah berwarna kuning atau dua bulan setelah penyerbukan, plum sejatinya sudah dapat dinikmati. Namun, rasanya masih masam. Itulah sebabnya Setiobudhi membiarkan buah sampai kemerahan. Itulah saat paling pas untuk menikmati kelezatannya. Ketika gigi menembus daging buah yang lembut berair itu seketika rasa manis menyegarkan menyergap tenggorokan.
Tumbuh di pot
Ukuran buah plum di kediaman Setiobudhi memang tidak sebesar plum yang tumbuh di negara-negara subtropis. “Ukuran buah plumnya hanya seukuran koin Rp 500,” ujar pria kelahiran April 1963 itu. Ukuran buahnya mirip dengan buah mahkota dewa Phaleria macrocarpha. Bobot buah hanya kurang dari 100 gram, bandingkan plum mancanegara yang mencapai 200 gram.
Pohon itu berbuah setelah Setiobudhi rutin menaburkan pupuk di bagian tepi pot, kira-kira berjarak 30 cm dari pangkal batang. Perawatan lain berupa penyiraman. Setiobudhi dua kali menyiram per hari. Saat pagi hari sinar matahari menerpa pohon tanpa halangan apa pun. Dengan perawatan itu plum di halaman rumahnya mampu berbuah. Pohon setinggi 5 meter itu sudah berbuah sejak 2003.
Produksi buah pertama hanya sepuluh buah. Namun, setelah itu produksi terus meningkat. Pohon plum di kediaman Setiobudhi 2—3 kali berbuah per tahun. Ia mendapatkan bibit plum dari rekannya di Bogor, Jawa Barat, pada 1990.
Pohon induknya tumbuh di halaman depan rumah tua temannya dengan kondisi tidak terawat. Setiobudhi tertarik menanamnya dan membawa tunas yang muncul dari akar itu ke rumahnya di Padasuka, Bandung. Karena tak kunjung berbuah, istrinya, Dewi hendak menebang plum itu dan menggantinya dengan pohon lain yang lebih mudah menghasilkan seperti jambu. Ternyata pohon itu kemudian berbuah. Setiobudhi kemudian mencangkoknya.
Empat bulan berselang ia menanam bibit hasil cangkokan setinggi 1,5 cm di polibag karung plastik berdiameter 50 cm. Ia menggunakan media campuran tanah dan kotoran kambing dengan perbandingan 1: 2. Dua tahun berselang pohon anggota famili Rosaceae itu berbuah perdana. Setiobudhi memberi 1 sendok makan pupuk NPK dengan interval 1 bulan. Pembuahan kedua pada Juli 2015 yang menghasilkan 3 buah.
Plum merah
Karena keberhasilan membuahkan plum, Setiobudhi memperbanyak tanaman subtropis itu. Kini ia memiliki 6 tabulampot plum setinggi rata-rata 1,5 meter. Ia menempatkan keenam tanaman itu di lahan kosong belakang rumahnya berketinggian 750 meter di atas permukaan laut. Kini Setiobudhi tengah menyambung tanaman plum dengan plum merah.
Ia memperoleh entres alias batang atas masing-masing setinggi 10 cm itu dari anak sulungnya yang kuliah di Belgia. Lima entres hasil sambungannya tumbuh baik. Ia melepas tali sambungan setelah dua bulan. Plum dari Eropa memiliki ciri warna merah tua keunguan, agak empuk, rasanya manis, tetapi kurang berair. Berbeda dengan plum Jepang dan Asia Barat milik Setiobudhi berwarna hijau kekuningan dan merah merata. Rasanya asam manis dan berair banyak.
Pehobi tanaman itu memberi satu sendok makan pupuk NPK per tanaman. Penyiraman juga rutin setiap dua kali sehari hingga media basah jenuh. Dengan perawatan itu tanaman berbunga persis enam bulan setelah penyambungan. Warna bunga berbeda dengan bunga plum sebelumnya. Menurut dosen Planologi Institut Teknologi Nasional itu bunga plum terdahulu berwarna putih, sedangkan bibit dari Belgia itu berbunga merah.
Ada tiga bunga mekar setelah beberapa hari. Namun, sayang bunga rontok sebelum menjadi buah. Setelah mengetahui plum merah itu dapat berbuah maka ia langsung memperbanyak plum pertamanya dengan mencangkok. “Saya rasa plum merah akan lebih bagus jika bisa dibuahkan juga,” ujar alumnus Institut Teknologi Bandung itu.
Menurut peneliti di Balai Penelitian Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro), Agus Soegiyatno, buah-buahan subtropis seperti plum, pir, bahkan peach atau persik bisa ditanam di daerah dataran tinggi di Indonesia. Namun, produktivitas dan kualitasnya tidak bisa semaksimal di subtropis.
“Meski di Indonesia ada dataran tinggi tetap saja bukan iklim subtropis melainkan tropis. Sementara buah-buahan itu butuh iklim ekstrem saat akan produksi buah. Jika ditanam di Indonesia kualitasnya menurun, biasanya ukurannya lebih kecil daripada di negara asalnya. Produktivitasnya pun tak setinggi di negara asalnya,” ujar Agus. Ia mengatakan, kunci membuahkan plum atau tanaman subtopis lain di daerah tropis menggunakan media tanam dan pupuk kandang untuk memperbaiki struktur tanah.
Perlakuan sementara agar berbuah, pangkas cabang dan ranting atau rompes, berikan air, dan pupuk yang cukup. Balitjestro di ketinggian 950 m di atas permukaan laut, mengoleksi 6 pohon peach berumur 30-an tahun. Menurut Agus tanaman itu tumbuh subur dan sempat berbuah dengan rasa masam manis. Sayangnya, pohon itu tidak tahan curah hujan tinggi dan panas yang menyebabkan buahnya pecah, seperti tersiram air panas. Ukuran buahnya pun lebih kecil dan jumlahnya sedikit, hanya 10 buah dalam satu pohon per tahun. (Ian Purnama Sari/Peliput: Bondan Setyawan)