Trubus.id — Permintaan minyak gaharu cukup tinggi, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Warto Prabowo, salah seorang produsen minyak gaharu kerap mengekspor minyak gaharu ke kawasan Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, serta Eropa (Belanda dan Jerman).
Produsen di Kecamatan Purwanegara, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, itu menjelaskan proses pembuatan minyak gaharu. Pilih tanaman gaharu yang siap inokulasi (penyuntikan cendawan di batang). Gaharu siap inokulasi pada umur 8 tahun.
Untuk proses inokulasi, Warto mengebor dua titik pada tiap batang berdiameter 25 cm. Titik pertama berketinggian 20–40 cm dari permukaan tanah. Selanjutnya, berjarak 2 meter di atas titik pertama.
Inokulasi menggunakan cendawan berdosis 66 ml per batang. Namun, Warto enggan menyebutkan bahan inokulannya. Sebelum panen, ia mengecek batang. Saat pertama kali disayat aroma manis tercium, indikasi inokulasi berhasil.
Langkah selanjutnya adalah membakar sayatan. Jika tercium aroma khas minyak gaharu, pertanda pohon siap panen. Warto mengatakan, pohon siap panen setelah 1,5 tahun inokulasi. Kayu-kayu itulah yang ia suling menjadi minyak gaharu dengan rendemen 0,1%.
Ia memerlukan 700 kg kayu untuk menghasilkan 996 ml minyak. Warto selalu memisahkan produksi minyak dari bahan yang lokasi tumbuhnya berbeda. Hal itu dilakukan karena masing-masing tanaman asal daerah berbeda mempunyai aroma khas yang berlainan.
Oleh karena itu, Warto melakukan pembibitan gaharu. Ia membagikan 6.000 bibit kepada pekebun yang tersebar di hampir seluruh kecamatan di Banjarnegara. Sesuai kesepakatan, Warto akan membeli pohon siap panen. Pekebun juga terima beres, termasuk proses inokulasi yang dilakukan oleh Warto.
Sebelum memanen kayu gaharu di lahan sendiri, Warto membeli kayu cip gaharu di pasaran pada 2010. Saat itu ia belum mulai menanam dan menyuling gaharu. Ia membeli 4 kg cip kayu gaharu untuk dijual lagi.
Itulah pengalaman pertama menjadi pebisnis gaharu. Warto belanja bahan dari toko daring. Namun, ketika barang sampai di rumah yang ia temui bukan cip gaharu, melainkan sowa (Aetoxylon sp.) atau seting disebut gaharu buaya. Aromanya pedas dan sengir.
Warto pun rugi Rp80 juta. Berkat kerugian itu, Warto semakin tertantang. Lelaki yang pernah berdagang rempah-rempah seperti lada, jahe, dan kunyit, itu kembali bangkit untuk tetap menggeluti bisnisnya karena harus menutup kerugian.