Trubus.id—Penyakit patek atau antraknos momok paling menakutkan petani cabai. Petugas penyuluh lapangan di Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Abdul Fajar menuturkan bahwa patek susah dikendalikan.
Fajar menjelaskan bahwa gejala patek yakni muncul bercak-bercak kecokelatan yang membuat buah cabai busuk. Jika serangannya berat, petani gagal panen. Menurut Fajar penyakit patek bisa dikendalikan dengan pestisida buatan sendiri.
“Saya menganjurkan ke petani menggunakan pestisida yang lebih ramah lingkungan tetapi efektif mengendalikan patek,” tutur Fajar.
Ia menggunakan campuran kapur, detergen, dan belerang. Kapur untuk menstabilkan pH, detergen sebagai perekat pestisida, dan belerang sebagai antiantraknos.
Untuk membuat pestisida nabati itu, mulamula Abdul Fajar menyiapkan 1 kg kapur dolomit, dua bungkus kecil detergen, 2 kg belerang, 10 biji gambir, dan dua saset kaplet pelancar haid yang mengandung beragam herba seperti daun sembung (Blumea balsamifera).
“Rebus semua bahan itu dengan 20 liter air sampai mendidih. Kemudian dinginkan dan endapkan. Ramuan siap digunakan,” tutur penyuluh pertanian sejak 2007 itu.
Menurut Fajar kapur berfungsi sebagai penetralisir pH detergen agar pestisida saat diaplikasikan lebih merata mengenai bagian tanaman, belerang, gambi, dan pil pelancar haid sebagai bahan aktifnya. Semprotkan ramuan itu 3—4 hari sekali sejak tanaman berumur 1—2 pekan setelah tanam.
Selain menggunakan pestisida ramah lingkungan itu, Fajar juga menggunakan agen hayati berupa trichoderma dan Plant Growth Promoting Rhizobakteri (PGPR). Untuk agen hayati pertama, ia melarutkan terlebih dahulu dua sendok makan bubuk trichoderma ke dalam 14 liter air.
Adapun PGPR, ia membuat sendiri dengan memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di sekitar. Untuk membuat PGPR ia awali dengan membuat larutan biangnya terlebih dahulu.
Mula-mula Fajar merendam segenggam akar rumput gajah dalam seliter air selama sepekan. Akar rumput gajah bisa diganti akar rumput putri malu atau akar bambu.
Sembari menunggu biang siap digunakan, Fajar merebus campuran 0,5 kg bekatul, dua bungkus kecil terasi, dan satu sendok makan dalam 20 liter air hingga mendidih.
Setelah dingin, campur rebusan bekatul, terasi, dan kapur dengan biang lalu tutup rapat dan diamkan selama sepekan. Untuk aplikasi PGPR bisa dicampur dengan trichoderma. Caranya, larutkan 200 ml air PGPR dan dua sendok makan bubuk trichoderma ke dalam satu tangki air atau 14—20 liter air.
Kocorkan PGPR dan trichoderma ke tanah sepekan sekali sejak sepekan setelah tanam. Untuk perawatan akar, bibit tanaman bisa juga dicelup ke dalam larutan trichoderma sebelum ditanam di lahan.
“Untuk 1000 m2 butuh sekitar 3—4 tangki,” kata Fajar.
Menurut Abdul Fajar sejak menyosialisasikan pengendalian patek ramah lingkungan itu banyak petani yang mengikutinya. Di area kerja Fajar yaitu di Kecamatan Sawangan ada sekitar 20 petani yang menggunakan cara itu dengan luasan lahan masing-masing sekitar 1000—2000 m2 .
Sejak menggunakan metode Fajar, para petani di Desa Gondowangi menekan serangan penyakit patek. Nur Anas Prabowo membuktikannya pada 2020. Bersama rekanrekannya sesama petani yang tergabung di Kelompok Tani Sejahtera, ia mengikuti anjuran Fajar.
“Saat itu serangan patek bisa kami tekan sampai 50%. Namun, karena banyak petani yang kurang telaten membuat sendiri racikan itu, akhirnya balik lagi menggunakan cara konvensional,” tutur Anas.
Untuk itu, Fajar sebagai penyuluh pertanian terus menyosialisasikan dan membagi metode itu kepada para petani dengan sabar. Ia berharap, inovasi pestisida ramah lingkungan itu bisa diaplikasikan oleh semua petani cabai.
“Hasil budidaya cabai itu produk pangan, kalau hasilnya minim pestisida kimia pasti lebih sehat ketika dikonsumsi manusia,” tutur Fajar.