
Di Chiba, Jepang, stroberi menjadi hiasan rumah.
Keranjang plastik berisi 24 tanaman stroberi itu berjalan di atas roda putar di sebuah kebun Tosihiro Tazawa di Kota Sakura, Prefektur Chiba, Jepang. Stroberi tumbuh di pot berukuran 10 cm. Dari kebun itu mengalir 19.200 tanaman stroberi hias ke pasar swalayan modern di Jepang setiap pekan. Stroberi hias? Banyak tamu asal negara Asia yang berkunjung ke kebun Tosihiro Tazawa memang menanyakan hal itu.
Toshiro bukan seperti pekebun lain yang memasok buah stroberi ke pasaran atau menyediakan wisata petik buah stroberi untuk pelancong. Ia cukup memelihara stroberi selama 2 bulan lalu melempar ke pasaran. Ia memperbanyak tanaman anggota famili Rosaceae itu sebagai tanaman hias. Toshiro menggandeng perusahaan swasta yang menguasai jaringan retail ke pasar swalayan besar di seantero Jepang.

Klangenan
Menurut Toshiro, “Konsumen akhir stroberi hias itu pehobi rumahan yang ingin menyaksikan stroberi berbuah di halaman rumah.” Pria berusia 37 tahun itu memasok 1.600 boks setara 76.800 pot stroberi varietas mitsuka setiap bulan. Distribusi produksi stroberi hias itu di bawah bendera Suntory Company. Banderol Fragaria x ananassa di pasar modern mencapai 300 yen setara Rp32.000.
Di tangan konsumen, dua bulan pascapembelian stroberi bakal berbuah. “Pembeli tinggal menyiramkan air sesuai kebutuhan karena pupuk lambat urai sudah diberikan saat hendak dilepas ke pasar,” kata alumnus Fakultas Pertanian, Universitas Chiba, itu. Dengan demikian pelanggan yang tak paham seluk-beluk pertanian pun dapat membeli bibit stroberi sebagai klangenan tanpa khawatir tanaman tidak berbuah.

Menurut Yohei Morifuji, mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Chiba, masyarakat Jepang senang mengamati fase-fase pertumbuhan tanaman. “Bila musim semi tiba proses keluarnya bunga sakura yang berbeda di setiap daerah menjadi berita hangat di mana-mana. Begitu pula saat musim gugur, daun hijau yang berubah warna menjadi kuning dan merah menjadi berita menarik,” kata Yohei.
Pantas, menurut Yohei, tanaman sayuran dan buah pun di Jepang menjadi komoditas tanaman hias. “Gerai tanaman hias juga menjual bibit tomat atau cabai yang belum berbuah. Pembeli berharap menyaksikan proses berbuah melalui tangan sendiri,” kata Yohei. Generasi muda juga mencintai tanaman dengan mengoleksi tanaman dalam pot mini di atas meja belajar.
Menurut budayawan di Jakarta, Eka Budianta, bisnis tanaman di Jepang—dan mancanegara lain—yang tak lazim ditemui di tanahair itu karena kultur masyarakat di sana telah memasuki era biofillia. Maksudnya era manusia membutuhkan kehadiran alam dalam hidupnya. Dengan dekat pada alam, hidup terasa lebih bergairah, sehat, dan tentu berumur lebih panjang.

Kini dari Kota Sakura—40 km sebelah timur laut Kota Tokyo atau 15 km arah barat dari Bandar Udara Narita—tercatat 5 nurseri yang memproduksi stroberi hias seperti Tosihiro di bawah bendera Suntory Company sebagai distributor. Mereka telah menggeluti bisnis itu selama 10 tahun.
Wisata stroberi
Dataran rendah Prefektur Chiba—secara harfiah berarti Kota Seribu Daun—memang surga stroberi. Sebut saja keluarga Fumito Yokota yang melirik bisnis wisata stroberi di Midori-ku, Kota Chiba. Lokasi kebun hanya 7,8 km ke arah tenggara dari pusat Kota Chiba. Di sana Fumito Yokota menanam 6 varietas stroberi—kaorino, yayoihime, moikko, totiotome, bennihoppe, dan arubion—di 2 greenhouse seluas 1.800 m2 dan 900 m2. Lima yang pertama varietas asli Jepang dan yang terakhir introduksi dari Amerika.
Di Midori-ku Yokota menanam stroberi hidroponik dengan 2 teknik berbeda. Yang pertama menggunakan talang plastik yang ditutup mulsa seperti teknik yang biasa dilakukan di tanahair. Teknik yang kedua unik karena langsung memanfaatkan kantong plastik media sebagai pot. Empat lubang tanam berjarak 20 cm x 15 cm dibuat langsung pada kantong plastik media bervolume 14 liter. Di sanalah bibit stroberi ditanam tanpa perlu menuangkan media—berupa zeolit dan serbuk sabut kelapa—ke pot seperti cara konvensional.

Kantung plastik lalu dipasang di atas rak besi setinggi 1,2 m berupa 2 pipa besi yang dipasang berjajar. “Ini teknik sederhana untuk menghemat talang plastik,” kata Yokota. Agar terlihat cantik dan rapi, kantong plastik media yang disusun berjajar di atas rak lalu ditutup mulsa. Hasilnya tampilan hamparan kebun pun tak ada beda dengan yang memakai talang sehingga tetap cantik di mata pengunjung. Pun demikian dengan hasil per tanaman rata-rata 500 g.
Menurut Yokota, wisata stroberi disiapkan untuk panen musim dingin yaitu pada Desember—April. Musababnya pada musim dingin terdapat hari libur yang datang berurutan. Sebut saja Natal, Tahun Baru, dan Valentine, dan Hari Anak. Pada periode itu pengunjung membeludak 200 orang per hari. Mereka membayar 1.800 Yen per orang—setara Rp180.000—untuk memetik stroberi sepuasnya selama 30 menit. Sementara untuk dibawa pulang, mereka membayar 1.300 Yen per kg stroberi.

Upaya Yokota membuahkan stroberi panen pada musim dingin membutuhkan pengorbanan yang mahal. “Saya harus siapkan penghangat udara dan air hangat saat suhu greenhouse drop,” kata Yokota. Maklum, stroberi membutuhkan suhu optimal pertumbuhan 20—25°C, sementara saat musim dingin suhu melorot hingga di bawah 10° C. Di saat itulah Yokota mesti menaikkan suhu ke kisaran minimal 15°C. (Destika Cahyana SP, peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian RI dan mahasiswa Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Chiba, Jepang).