Pemerintah melarang perburuan duyung melalui peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999
Tangan kekar dan sorot mata tajam milik Murah Seker. Tangan kanannya piawai menghunjamkan mata tombak ke tubuh duyung. Matanya tajam mengawasi pergerakan mamalia air itu. Setiap berburu duyung Murah mengajak dua rekannya. Mereka berbagi tugas, satu orang mengendalikan sampan, dua orang menjadi juru tombak dan asisten. Murah berperan sebagai juru tombak. Para pemburu mengejar Dugong dugon di perairan dangkal di Desa Teluk Bogam, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Begitu melihat sosok putih dan besar berenang ke permukaan, Murah cekatan menghunjamkan tombak sebelum mamalia laut itu kembali berenang di kedalaman samudera. Begitu mata tombak berhasil menembus kulit duyung yang tebal, Murah mempersiapkan mata tombak kedua, begitu seterusnya. Murah menuturkan seekor dugong dewasa meregang nyawa setelah mendapat hunjaman 3—5 mata tombak. Ia lalu mengikatkan tali di sekitar hidung dugong saat hewan menyusui itu tak lagi bergerak.
Para pemburu menarik dugong ke daratan. “Duyung tidak bisa dinaikkan ke perahu karena terlalu besar,” ujar Murah. Harap mafhum, bobot duyung dewasa bisa mencapai panjang 3 meter dengan bobot mencapai 450 kg. Murah memburu dugong lantaran tergiur harga taringnya yang mahal setelah diolah menjadi pipa rokok. Harga pipa rokok taring duyung mencapai Rp500.000 per buah. “Kalau zaman sekarang itu setara Rp5 juta,” kata Murah. Adapun dagingnya ia bagikan ke para penduduk desa.
Kisah perburuan duyung itu menjadi masa lalu bagi Murah Seker. Pengalaman masa lalu itu kini tinggal cerita. Ia terakhir berburu perempuan laut—makna duyung dalam bahasa Melayu—pada 1985. “Sekarang saya tahu kalau berburu duyung itu dilarang pemerintah,” ujar pria yang kini berusia 71 tahun itu. Murah tak lagi tergiur untuk berburu dugong. Ia justru bermurah hati melindungi satwa langka anggota famili Dugongidae itu.
Menurut Kepala Seksi Perlindungan Jenis Ikan Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Sukendi Darmasyah, S.Pi., M.Si., pemerintah melarang perburuan dugong melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Pemerintah melarang perburuan duyung karena hewan itu terancam punah.
The International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List menetapkan hewan yang mampu hidup hingga berumur 70 tahun itu sebagai satwa yang rentan punah atau vulnerable. Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) juga menetapkan dugong masuk daftar Appendix I. Artinya perdagangan duyung di dunia internasional dilarang. Untuk meningkatkan efektivitas konservasi dugong dan ekosistem lamun, United Nation Environmental Programme-Convention on Migratory Species (UNEP-CMS) mencetuskan program pelestarian dugong dan lamun.
Program itu bernama Dugong and Seagrass Conservation Project (DSCP) pada 2011 yang berlangsung di Indonesia, Madagaskar, Malaysia, Mozambik, Srilanka, Timor Leste, Vanuatu, dan Kepulauan Solomon. Di Indonesia lembaga pelaksana program DSCP itu adalah Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP. Dalam program itu KKP menggandeng Yayasan WWF Indonesia, Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI), dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai mitra pelaksana.
Menurut Marine Species Site Manager DSCP Indonesia di Kotawaringin Barat (Kobar), Idham Farsha, Kobar menjadi salah satu kawasan konservasi dugong dan lamun karena banyak laporan dari para nelayan yang kerap menjumpai dugong di area tangkapan ikan. Daerah lain yang menjadi kawasan konservasi dugong dan lamun adalah di Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, Toli-Toli (Provinsi Sulawesi Tengah), dan Alor (Provinsi Nusa Tenggara Timur).
Duyung dan lamun tak terpisahkan. Menurut peneliti dari Yayasan Lamun Indonesia (Lamina), Juraij, lamun salah satu makanan favorit dugong. Mamalia air yang bernapas dengan paru-paru itu kerap menghabiskan waktu tiga kali sehari untuk menyantap lamun. Dalam sehari seekor dugong bisa menghabiskan 20 kg lamun.Juraij mengatakan, dugong kerap muncul ke permukaan air laut untuk mengambil napas. “Dugong hanya mampu bertahan di dalam air maksimal 12 menit,” tuturnya.
Di satu sisi kemunculan dugong segara atau laut dangkal menjadi kabar gembira karena populasi lebih mudah terpantau. Namun, di sisi lain kondisi itu mengancam kehidupan dugong karena rentan tertabrak atau terkena baling-baling mesin perahu. Ancaman lain duyung rentan terjaring atau terperangkap alat tangkap ikan para nelayan. Frekuensi kemunculan yang tinggi dikhawatirkan juga memicu kembali perburuan duyung. Pasalnya, para nelayan di kawasan itu sejak dahulu dikenal gemar berburu dugong, seperti diceritakan Murah.
Yang dikhawatirkan itu akhirnya terjadi. Pada akhir 2016 beberapa nelayan memburu duyung di kawasan perairan Teluk Bogam. Menurut seorang pemburu duyung yang juga Kepala Desa Teluk Bogam, Syahrian, perburuan itu berlangsung selama 9 hari dan berhasil menombak 3 ekor duyung. Namun, perburuan itu berujung teguran keras dari pemerintah daerah dan pihak berwajib dengan ancaman hukuman penjara. Sejak itu Syahrian dan para pemburu lain berjanji berhenti berburu duyung.
Idham bekerja sama dengan Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Laut Indah menyosialisasikan pentingnya menjaga kelestarian dugong kepada para nelayan. Pokmaswas juga bertugas mengawasi berlangsungnya pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan. Salah satunya pengawasan kelestarian dugong. “Kalau ada warga yang menemukan atau ada duyung yang tertangkap nelayan, maka kami wajib melaporkannya kepada pihak berwajib,” ujar sekretaris Pokmaswas Laut Indah, Hairussalam.
Selain itu Pokmaswas juga harus melaporkan jika ada nelayan yang menggunakan alat tangkap yang dilarang seperti pukat harimau. Untuk mencegah perburuan sea cow—sebutan duyung di mancanegara—DSCP melakukan upaya konservasi duyung dan lamun berbasis komunitas. Salah satunya melakukan sosialisasi tentang prosedur pelaporan jika para nelayan menemukan duyung terdampar atau mati. DSCP juga melakukan berbagai pelatihan. Salah satunya pertolongan pertama jika ada duyung yang terdampar atau terperangkap alat penangkap ikan.
Menurut sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Kotawaringin Barat, Ir. Djoko Kuntjoro, pemerintah Kabupaten Kotawaringin juga berencana menginisiasi sumber penghasilan tambahan baru bagi para nelayan, seperti budidaya rumput laut, pengolahan daging rajungan, budidaya daun ujung atap, budidaya udang, pengolahan ikan asin, usaha pendukung pariwisata, budidaya spirulina, dan pengembangan ekowisata duyung.
Hairussalam menuturkan, kini sudah ada investor dan peneliti dari Universitas Antakusuma di Pangkalanbun, Kotawaringin Barat, yang bersedia membina masyarakat nelayan untuk membudidayakan spirulina. Spirulina salah satu jenis alga biru hijau bernutrisi tinggi. Masyarakat di sana juga mulai menanam tanaman ujung atap Baeckea frutescens di pekarangan. “Saat ini ada pengumpul yang membeli dari masyarakat Rp3.500 per kg untuk memasok perusahaan jamu,” katanya.
DSCP juga melakukan konservasi dugong melalui upaya konservasi lamun. Menurut Juraij lamun dan duyung ibarat mara rantai yang tak boleh terpisah. Keduanya bersimbiosis mutualisme atau berhubungan saling menguntungkan. Lamun makanan favorit duyung, terutama jenis pionir dari genus Halophila dan Halodule. Padang lamun juga menjadi tempat bermain duyung. “Biasanya lebih dari satu individu duyung ditemukan berinteraksi di padang lamun,” ujarnya.
Berdasarkan hasil survei DSCP pada 2016, di Kotawaringin Barat terdapat 10 spesies lamun dari 12 spesies lamun yang tumbuh di Indonesia. Padang lamun tersebar di 4 lokasi, yaitu Gosong Berasbasah, Senggora Besar, Senggoraterendam, dan Sepagar. Hasil survei pada 2017 tim DSCP hanya menemukan 7 spesies lamun. Namun, sebarannya bertambah menjadi 6 lokasi. Dua padang lamun baru yang teridentifikasi di Teluk Bogam dan Sungai Bakau.
Menurut Juraij keberadaan duyung di padang lamun dapat dilihat dari jejak makan atau feeding trail. Contohnya seperti yang ditemukan di Teluk Bogam. Jejak makan duyung di padang lamun dapat dilihat dari area bekas makan berbentuk memanjang dengan lebar berkisar 9—22 cm dan kedalaman 2—6 cm. Adapun panjang jejak makan berkisar 1,5—7,6 m. Juraij menuturkan, jejak makan itu terbentuk dari cara makan duyung yang menggunakan mulutnya untuk mencabut seluruh bagian lamun hingga ke akar-akarnya.
“Oleh sebab itu, jejak makan lamun lebih jelas daripada penyu,” tuturnya. Meski di satu sisi duyung menjadi pemangsa lamun, di sisi lain kehadiran duyung juga menguntungkan bagi pertumbuhan lamun. Perilaku makan duyung yang terlihat seperti mengacak-acak dasar lamun membuat padang lamun menjadi lebih subur. Dengan cara makan seperti itu nutrisi organik yang mengendap di dasar substrat akan teraduk dan terangkat ke permukaan substrat. Dengan begitu lamun dapat kembali tumbuh dan lebih subur.
Menurut Ketua Yayasan Lamun Indonesia (Lamina), Aditya Hikmat Nugraha, menjaga populasi lamun tak berarti hanya menjaga kelestarian dugong, tapi juga biota laut lain, seperti ikan baronang dan larva kakap. Daun lamun yang lebat juga berperan memperlambat arus dan ombak yang dapat menyebabkan erosi pantai. Pengetahuan itulah yang juga disampaikan kepada para nelayan agar tak hanya berhenti berburu duyung, tetapi juga turut menjaga kelestarian lamun. (Imam Wiguna)