Murah Seker meninggalkan kebiasaan berburu duyung sejak 33 tahun silam. Namun, nelayan di Desa Teluk Bogam, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, itu masih hapal mantra sebelum berburu. “Bismilahirohmanirohim. Pucuk pauh pucuk hambacam. Tanam tanah hulaman. Yang jauh pesan-pesankan, yang dekat timbulah dulu,” ujar pemburu duyung sejak 1965 itu. Dalam ritual itu para pemburu juga mempersembahkan hidangan untuk sesembahan.
“Kalau sudah lama sulit menemukan duyung, sesajen berupa seekor ayam. Jika tak ada cukup nasi ketan kuning,” ujar Murah yang kini berusia 71 tahun itu. Setelah membaca mantra, sang pemimpin ritual yang kerap disebut ustad lalu mencomot sebagian sesaji kemudian melemparkannya ke laut. Adapun sisanya disantap bersama oleh para peserta ritual. Menurut Murah para pemburu menggelar ritual itu agar perburuan membuahkan hasil.
Keesokan hari para pemburu pun pergi melaut. Tidak ada waktu khusus untuk berburu duyung. Mereka biasanya berangkat pagi hingga sore atau malam hari. Para pemburu biasanya menggunakan sampan sepanjang 5 meter yang dilengkapi layar. Mereka juga membawa peralatan berburu berupa tombak dan tali sepanjang 200 meter. Di ujung tali dipasang pelampung yang terbuat dari kayu. Pelampung itu berfungsi menandai jika sang duyung berenang menjauh setelah tertancap tombak.
Menurut Murah, peralatan berburu itu pantang tersentuh tangan perempuan. “Kalau sampai tersentuh perempuan, biasanya gagal menombak walau pun jarak duyung sangat dekat,” tutur Murah mengenang kebiasaan berburu duyung selama 20 tahun itu. (Imam Wiguna)