Trubus.id — Dulu, tanaman talas beneng (Colocasia gigantea), hanya dianggap sebagai tanaman liar yang tumbuh bebas di hutan-hutan Banten. Namun, nasib tanaman ini mulai berubah sejak 2008. Penyuluh pertanian asal Kabupaten Pandeglang, Dudi Supriyadi, melihat potensi besar di balik umbi raksasa itu.
“Warga biasa mengonsumsi talas beneng hanya ketika tak sanggup membeli beras,” ungkap Dudi. Namun ia melihat bahwa di balik statusnya sebagai ‘pangan darurat’, talas beneng menyimpan nilai gizi yang tak bisa diremehkan.
Penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Banten mengungkapkan bahwa talas beneng mengandung 18,30% karbohidrat, 15,21% pati, 2,01% protein, serta kadar serat dan lemak yang rendah.
Dalam setiap 100 gram, terdapat sekitar 83,7 kilokalori energi. Artinya, talas beneng sangat berpotensi menjadi sumber karbohidrat alternatif, terutama di tengah naiknya harga beras.
“Potensi talas beneng sebagai pangan lokal sangat besar,” kata Iping Saripin.
Selain nilai gizinya, porsi tanaman yang bisa dikonsumsi juga menjadi keunggulan. Jika dibandingkan dengan talas bogor yang hanya berbobot rata-rata 900 gram per umbi, talas beneng bisa mencapai berat 20 kilogram per umbi—lebih dari 20 kali lipatnya.
Namun perjalanan talas beneng untuk menjadi pangan populer tidak selalu mulus. Salah satu tantangan utamanya adalah rasa gatal saat dikonsumsi, akibat kandungan oksalat yang tinggi dalam umbinya.
Kini, dengan teknik perendaman dalam larutan garam atau air hangat, rasa gatal bisa dihilangkan, membuka jalan bagi talas beneng untuk diterima lebih luas di masyarakat. Sejak itu, pamor talas beneng mulai naik.