
Di tangan anak muda berlatar belakang non pertanian, sektor pertanian berubah wajah.

Trubus — Di pertengahan Juni 2016 di TIS Square Tebet, Jakarta Selatan. Michael Jovan Sugianto, gelisah hingga 20 menit di depan kasir Starbuck. Tabungannya kosong sementara sahabatnya, Pamitra Wineka, ketinggalan dompet. Keduanya menahan malu karena mengundang ngopi Ivan Arie Sustiawan, kenalan barunya, untuk mendiskusikan masa depan TaniHub yang sedang di ujung tanduk. Alih-alih mentraktir, Michael justru ditraktir Ivan.
Mike—sapaan Michael—memang tengah dirundung krisis kepercayaan diri. Rencana bisnis yang berasal dari tugas kuliahnya di Universitas Bina Nusantara (Binus) tiba-tiba dilirik Presiden Joko Widodo untuk mengatasi persoalan pertanian di tanah air. Namun, mengembangkan rintisan atau start up di sektor pertanian ternyata sulit. “Orderan memang meningkat dua kali lipat sejak diluncurkan presiden, tetapi volume paling hanya 10 orderan per hari,” kata Mike.
Tim hibrida
Minimnya order itu meyebakan ongkos makin berat karena Mike harus mengambil pasokan dari petani di Puncak untuk pasar Jakarta dan sekitarnya. Menurut Mike yang ketika itu berusia 23 tahun marketplace yang dibangunnya belum mapan. Marketplace sekadar perantara antara pembeli dan petani sebagai penjual produk. “Order dari pembeli hari ini, baru direspons petani sepekan kemudian karena sibuk di lahan,” kata Mike.

TaniHub yang tak kunjung berkembang kemudian banyak dikritik di grup khusus Whatsapp yang membahas rintisan. Ketika itu Ivan salah satu pengkritik yang meramalkan TaniHub akan segera berakhir. Bisnis berbasis marketplace—ala Go Food, Bukalapak, Tokopedia—tak akan bisa berjalan. Karakter petani bukan seperti pedagang yang bisa segera melayani pesanan.
Dari diskusi di kedai kopi itu TaniHub meninggalkan bisnis marketplace, tetapi fokus pada e-commerce dengan sistem B to B (business to business) dan B to C (business to consumer). Syaratnya segmen konsumen diperlebar serta merekrut personil berpengalaman. TaniHub juga membeli produk ke petani, pedagang kecil, dan pedagang besar lalu menjual pada konsumen: rumah tangga, katering, restoran, pasar swalayan, hingga pabrik.
“Saya seperti mendapat pencerahan baru dari perjumpaan di Starbuck itu,” kata kelahiran Bandung, 1 November 1993, itu. Mike pun meminta Ivan—yang berpengalaman di retail Carefour—bergabung di TaniHub untuk mengeksekusi segala obrolan di Starbuck. TaniHub lantas merekrut orang-orang berpengalaman di retail produk pertanian di pasar swalayan seperti Sariyo. Kini Sariyo menjadi Direktur TaniSupply, salah satu unit bisnis di bawah Grup TaniHub.

Pengalaman itu membuat keduanya paham betul karakter produk pertanian seperti produk yang musiman, waktu simpan pendek, mengalami penyusutan, serta kualitas. Menurut Mike berkat obrolan di Starbuck itu komposisi cofounder Tanihub menjadi seperti hibrida. “Mereka yang berusia di atas 40 tahunan berpengalaman di pemasaran produk pertanian offline, lalu bergabung dengan anak muda milenial yang akrab dengan teknologi digital,” kata Mike.
Komposisi hibrida itu membuat segala ide menjadi saling mengisi. TaniHub lalu mengembangkan bisnisnya menjadi sebuah grup dengan 3 bidang: TaniHub untuk pemasaran produk, TaniFund untuk pembiayaan petani dan pedagang, serta TaniSupply untuk rantai pasok. Perkembangan itu membuat jaringan TaniHub bukan hanya petani, tetapi juga kalangan yang sebelumnya pedagang kecil produk pertanian dan pengepul.
Mike mencontohkan pedagang kecil yang pemasok pasar swalayan baru mendapat pembayaran 15—30 hari kemudian sehingga menanggung risiko termasuk bila produk tak terserap. “Di sinilah salah satu peran TaniFund menjembatani celah pembayaran yang jatuh tempo lama sehingga arus kas lancar,” kata Mike. TaniFund juga memberi pembiyaan pada petani yang hendak menanam komoditas yang disarankan TaniHub berdasarkan keseimbangan permintaan dan penawaran.
Kelas A kecil
Keterlibatannya di dunia pertanian juga membuat Mike paham dari panen yang dihasilkan hanya 20—30% produk yang tergolong kelas A yang layak masuk pasar swalayan, sehingga sisanya kelas B dan kelas C hanya layak masuk pasar tradisional atau diolah. “Salah satu inti dari pemasaran produk pertanian ternyata sortir,” kata Mike. Harga produk kelas A wajar menjadi 2—3 kali lipat harga pembelian karena terbebani harga kelas B dan C yang diserap cukup rendah serta berisiko tidak laku karena masa simpan pendek.

Berkat kolaborasi itu kini TaniHub memiliki konsep membangun pusat distribusi (DC, distribution centre (DC) di 5 jantung ibu kota provinsi besar yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali untuk mendekatkan diri dengan konsumen perkotaan. Sementara untuk mendekatkan diri dengan produsen alias petani TaniHub membangun pusat pengemasan (PPC, processing packing centre) di sentra produksi. “Prinsipnya TaniHub terus melakukan efisiensi dari rantai pasok mulai dari sisi produsen maupun konsumen,” kata Mike.
Di setiap pusat distribusi itu volume produk pertanian yang keluar masuk mencapai 20—25 ton per hari. Sebut saja buah-buahan dan sayur-sayuran seperti jeruk, mangga, manggis, cabai, tomat, buncis, hingga beras. Beragam produk yang dikirim ke konsumen itu melewati proses sortir dan pemeriksaan kualitas yang kompleks.
TaniHub terus mengembangkan pasar dengan menggaet agen-age pemasaran independen perorangan yang disebut Patriot TaniHub. TaniHub ingin mengembangkan ekosistem pertanian yang berkeadilan. Petani untung, pedagang kecil untung, pedagang besar untung, serta semua yang terlibat dalam proses dapat menikmati manfaat. “Konsep TaniHub adalah agriculture for everyone atau pertanian untuk semua,” kata Mike.
Kini ketika bisnis TaniHub makin meraksasa, Mike memilih menyerahkan jabatan CEO pada Ivan Arie Sustiawan. Ia memilih menjadi Production Manajer pada TaniSupply yang harus memastikan pasokan produk dari produsen ke konsumen lancar. “Jabatan CEO lebih tepat dipegang oleh orang yang lebih berpengalaman dan kaya konsep pengembangan bisnis,” kata Mike.
Sementara Pamitra Wineka dipercaya untuk menjadi Presiden TaniHub. Total jenderal kini terdapat 6 co-founder TaniHub dengan peran masing-masing yang berbeda. Dari sekadar tugas kuliah, Mike menjadi perekat—alias hub—yang menghubungkan setiap co-founder berbeda latar belakang. Di tangan mereka wajah pertanian Indonesia berubah wajah. (Destika Cahyana)