Trubus.id—Pencatatan dalam budidaya alpukat menjadi hal penting. Tujuannya untuk mengetahui umur panen dan untuk menghasilkan alpukat yang berkualitas. Sayangnya banyak petani lupa kapan pohon mulai berbunga. Maka Janu Hari Setiawan menggunakan kode batang (barcode).
Kode batang itu sebagai identitas sebuah pohon. Untuk aplikasi kode batang, mereka tinggal mengunduh dari Play Store. “Seperti aplikasi pembaca QR & Kode Batang, QR & Barcode Scanner Plus, dan QR Code Generator. Itu tinggal kita sunting data-datanya secara berkala sesuai yang kita mau,” kata Janu.
Mereka mencetak kode batang itu seukuran kartu tanda penduduk (KTP) dan melaminasinya. Terakhir mereka gantungkan di pohon dengan senar. Ketika kita memindai (scan) kode batang itu muncul data-data pohon seperti nama petani, lokasi penanaman, identitas mitra, dan waktu pohon berbunga.
Data lainnya yang terlihat yakni temuan-temuan tim di lapang seperti serangan hama dan penyakit serta waktu pengendaliannya. Data itu mereka sunting tiap ada perubahan kondisi pohon di lapang. “Jadi, kami bagi dua tim. Ada tim lapangan ada tim TI,” kata pehobi alpukat sejak akhir 2018 itu.
Ide juga hadir atas keprihatinan Janu melihat para petani alpukat di desa berpendapatan minim. “Saya menemukan petani yang alpukatnya dibeli tengkulak seharga Rp2,7 juta untuk 27 pohon. Padahal ketika saya hitung dan saya beli, dua pohon saja bisa mendapatkan Rp1,6 juta. Jauh sekali selisihnya,” kata Janu.
Bahkan petani itu tidak tahu berapa produksi per pohon, harga jual, dan umur panen alpukat itu. “Semuanya ada di tangan tengkulak. Petani-petani itu tinggal terima bersih saja,” kata warga Desa Sanggang, Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah, itu.
Ternyata permasalahan tidak hanya di tingkat petani. Di tingkat konsumen pun sama. Tengkulak membeli alpukat saat kondisi belum optimal. Akhirnya pada Juli—Agustus 2020, Janu mengajak para pemuda karang taruna di desa untuk menyelesaikan masalah itu. Desa itu merupakan sentra Persea Americana.
Dari dua pohon itu Janu dan tim memanen sekitar 160 kg alpukat. Dengan harga yang rendah saja yaitu Rp10.000 per kg, Warno bisa mendapat omzet Rp1,6 juta rupiah. Sementara tengkulak membeli Rp2,7 juta untuk 27 pohon.
“Dari sana kami banyak mengedukasi petani agar tidak menyerahkan hasil panen kepada tengkulak, tetapi harus dengan perhitungan yang matang. Artinya petani harus tahu berapa kg hasil panen dan berapa harga per kg yang mereka dapat,” katanya. Selain memperhatikan produksi dan harga jual, Janu dan tim juga membantu petani memaksimalkan kualitas alpukat.