Dibanding varietas sebelumnya, terung jepang pendatang baru itu lebih empuk dan manis. Tanpa rasa getir dan pahit sedikit pun. Yang istimewa ia juga bisa dikonsumsi saat mentah. Selain teime, 4 sayuran jepang lain juga dikembangkan di Indonesia.
Penampilan teime tampak kecil dengan panjang 6—10 cm. diameter buah 3—5 cm. Kulit amat tipis sehingga tak perlu dikupas jika akan dimasak. Warna kulit ungu kehitaman, jauh lebih pekat ketimbang pendahulunya yang hadir di sini. Di balik sosok mungilnya, teime menjanjikan kelezatan bagi penikmatnya. Di negeri asalnya yang dulu mengklaim sebagai saudara tua kita, teime diolah menjadi tempura dan teppanyaki.
Nasubi baru itu dikembangkan oleh PD Grace, produsen sayuran eksklusif di Lembang, Kabupaten Bandung. Di tempat ini teime bisa dipanen setelah berumur 55 hari. “Panen bisa berlangsung sampai 4 bulan kalau perawatannya bagus, tapi rata-rata 2 bulan,” kata Wilarto dari Grace.
Anggota Solanaceae ini dipanen setiap 2 hari sekali. Satu buah per tanaman. Bobot ratarata 65—85 g/buah. Produktivitas mencapai 40—45 ton/ha. Perawatannya relatif mudah, hanya membutuhkan pemangkasan teratur. Harga di pasar swalayan mencapai Rp7.000/kg. Grace bisa mengirim 2 ton teime ke Jakarta setiap minggunya.
Dua warna
Selain si hitam manis teime, sayuran jepang baru lain adalah jagung manis. Walaupun belum dimasak, butiran berwarna putih dan kuning terasa manis jika dimakan. Tentu semakin lezat jika sudah diramu bersama rempah-rempah penyedap. “Kami menyebutnya sweet corn bicolor,” ujar Wilarto.
Sebutan itu diberikan lantaran warna butirannya ada dua macam, kuning dan putih. Jagung lezat itu dihasilkan oleh tanaman bersosok pendek. Rata-rata tingginya hanya 1,4—1,5 m. Hal itu lebih memudahkan pemeliharaan dan panen. Tanaman tidak terlalu rimbun sehingga pengendalian gulma lebih mudah.
Zea mays ini dipanen 75—80 hari setelah tanam. Rata-rata satu tanaman menghasilkan satu tongkol berbobot 250—300 g. Benih khusus didatangkan dari Jepang. Setiap minggu sebuah pasar swalayan Jepang di Jakarta meminta pasokan 3 ton.
Ishito 3
Jarang ada varietas kubis jepang di Indonesia. Pertama kali didatangkan pada 1999 dan selama 5 tahun diteliti di daerah Magelang, Garut, dan Cipanas. Akhir tahun ini ishito bakal dilepas resmi oleh pemerintah. Ciri khasnya krop berbentuk semibulat. Warna daun terluar hijau kebiruan. Bobot rata-rata per krop 1,5— 2 kg. Tekstur daun ulet, tak mudah rapuh sehingga tahan pengangkutan. Daya tahan krop juga relatif lebih lama ketimbang kubis lain.
Itulah hasil temuan Kaoru Ishitobi yang cocok dikembangkan di dataran tinggi, 800 m dpl. Nama penemunya diabadikan untuk menyebut varietas baru itu. Anggota famili Cruciferae itu kini dikembangkan oleh Agus, pekebun sayuran di Pasirwangi, Garut, Jawa Barat. Ayah 3 anak itu sudah beberapa kali menuai panen dan sekarang memperluasnya di lahan seluas 3 ha. Masa produksi 75 hari setelah semai.
Saima
Skimono (asinan jepang, red) tidak lengkap tanpa saima. Anggota Cucurbitaceae ini merupakan kyuri alias mentimun jepang jenis teranyar. Tanaman ini bisa diusahakan di daerah berketinggian 700—900 m dpl.
Saima berukuran panjang 25—30 cm, diameter 3 cm. Tinggi tanaman mencapai 2 m. Walaupun rasanya agak tawar, tetapi mentimun jepang ini renyah dan tidak pahit. Kulit berwarna hijau tua. Duri halus berwarna putih tampak bermunculan di permukaan kulit buah. Nama saima berasal dari kata sae, yang dalam bahasa jawa artinya bagus.
Panen bisa dilakukan mulai umur 32 hari setelah tanam. Buah pelengkap salad ini bisa dipetik tiap 2 hari sekali. Selama 45 hari kemudian ia terus berproduksi. Menurut Ayub Darmanto, distributor saima di Indonesia, mentimun ini memiliki ketahanan terhadap penyakit layu fusarium yang masih jadi momok bagi pekebun. Jika terserang, tingkat kematian bisa mencapai 30—40%.
Alpin 26
Sawi putih yang diberi nama bak nama pegunungan di Swiss ini memiliki keunggulan utama tahan serangan alternaria. Alpin 26 cocok dikembangkan di daerah berketinggian di atas 800 m dpl. Panen dilakukan 55—57 hari setelah persemaian. Satu krop mencapai bobot 1 kg. Bersama wortel, negi, lobak, dan bumbu-bumbu tertentu alpin diolah menjadi hidangan khas Korea, kimchee alias acar sawi pedas. (Laksita Wijayanti)