Sepintas namanya cukup sulit dilafalkan, apalagi tanpa logat madura yang kental. Namun, tidak bagi penduduk Desa Tunjung. Meski nama ratoh ebuh baru disematkan pertengahan Agustus 2004, tapi mereka sudah mengenalnya dengan baik. Bagaimana tidak, hampir setiap keluarga menanamnya. Berselingan dengan petakpetak padi, hamparan melati terbentang di sepanjang jalan-jalan desa.
Ratoh ebuh memang istimewa. Aroma bunga sangat harum dengan kelembutan yang khas, warna bunga putih bersih, dan tangkai bunga panjang sehingga mudah dironce. Tak heran jika ia banyak dicari perias pengantin.
Melati emprit
Ratoh ebuh sebelumnya bernama melati tunjung-burneh. Pemerintah daerahlah yang mengganti nama itu. Kata ratoh eboh berasal dari nama panggilan Sarifah Ambawi, ibunda Pangeran Cakraningrat, penguasa Madura zaman dahulu. Ibu suri ini sangat dikagumi rakyatnya. Pantas kiranya jika Pemda setempat merasa perlu mengabadikan keharuman namanya pada melati bangkalan itu.
Sebenarnya Jasminum sambac maid of orleans sudah ada di Bangkalan sejak 75 tahun silam. Areal penanaman mencapai 50 hektar, meliputi tegalan dan pesawahan. Sentra penanaman terbagi dua, Desa Buluh Atas, Kecamatan Socah, untuk pohon induk dan Desa Tunjung untuk produksi bunga.
Tanaman berbentuk perdu merambat. Bunga tunggal berwarna putih bersih dengan mahkota yang terbuka muncul dalam kelompok. Kuncup bunga meruncing di ujung, seperti paruh burung emprit. Oleh karena itu ia sering dijuluki melati emprit. Daya simpan varietas ratoh ebuh pada suhu kamar hanya 2 hari; dalam kantong plastik tahan 3—4 hari. Sedangkan pada lemari pendingin mampu bertahan hingga 7 hari.
Anggota famili Oleaceae ini berbunga sepanjang waktu, selama 20 tahun sejak umur 4 tahun. Frekuensinya tergantung perawatan. Panen raya terjadi saat musim hujan. Namun, kualitas terbaik didapat pada musim kemarau. Aroma bunganya lebih harum. Ketika panen raya produksi mencapai 15—35 kg/hari/hektar. Jika budidaya dilakukan secara intensif potensi produksi bisa mencapai 50 ton/hektar/ tahun dan turun menjadi 30 ton/hektar/ tahun dengan sistem semi intensif.
Dikembangkan luas
Dengan berbagai kelebihannya permintaan melati bangkalan dari waktu ke waktu terus meningkat. Saat musim ramai harga sekilo ratoh ebuh bisa mencapai Rp150.000—Rp200.000, biasanya hanya Rp25.000—Rp30.000. Pasar melati ratoh ebuh tak hanya lokal di Madura melainkan sudah melanglang buana hingga Taiwan, Korea, Th ailand, Jepang, Hongkong, dan Singapura. Selain dijual segar, melati juga dijajakan sebagai roncean dalam desain baju pengantin yang indah.
Melihat potensinya, pemerintah daerah setempat berencana memperluas areal penanaman menjadi 750 hektar. Tidak hanya di Pulau Madura, tapi menyebar hingga luar Jawa Timur. Saat ini Pemda setempat telah menyediakan bibit dalam jumlah puluhan ribu. Ini untuk mendukung permintaan konsumen yang semakin meningkat. Pantaslah kiranya jika si ratoh ebuh diusulkan menjadi varietas unggul. (Ir Baswarsiati MS & Ir Diding Rahmawati, peneliti pada BPTP Jawa Timur)