Satu-satunya duku manis di Kota Martapura: loktangga.
Bila bertanya soal duku dari Loktangga kepada para pedagang buah di jalan Banjarbaru—Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan, mereka pasti menggelengkan kepala. Para pedagang tak mengenal duku manis asal Desa Loktangga, Kecamatan Karangintan, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Soal keluarga Lancium domesticum manis yang mereka ingat adalah langsat tanjung, langsat matraman, dan duku padangbatung. Nama ilmiah duku dan langsat memang sama: Lancium domesticum.
“Di luar itu paling duku palembang asal Pontianak,” kata Supriadi, pedagang buah di Banjarmasin, yang berjarak 65 km dari Loktangga. Namun, sejak 5 tahun belakangan duku asal Loktangga menjadi rebutan tengkulak. Desa berjarak 12 km dari Kota Martapura, ibukota Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, itu menjadi satu-satunya sentra duku manis di Kota Intan. Padahal, 10 tahun silam Desa Loktangga, hanya penghasil langsat dan langsep masam yang diabaikan pedagang buah.
Ditanam 1990
Kini para pengepul berebut duku manis loktangga meski masih di pohon. “Buah masih hijau pun sudah harus dipanjar. Bila tidak, bisa jatuh ke tangan pedagang lain,” kata Yana, pedagang di Toko Aneka Buah di Sekumpul, Martapura. Yana memanen buah setelah masak dan menjajakan di kiosnya dengan label baru: duku palembang lokal. Ia membanderol Rp25.000—Rp30.000 per kg. Itu jauh lebih mahal ketimbang duku padangbatung seharga Rp20.000—Rp25.000 atau langsat tanjung Rp12.000—Rp15.000 per kg.
Duku loktangga memang istimewa. Ketika mencecap daging buah, rasa manis dan legitnya lengket di lidah. Mirip citarasa duku komering yang biasa dijajakan di Palembang, Sumatera Selatan, atau di Tangerang, Banten. “Benar-benar manis. Pokoknya tidak rugi meski harus merogoh kocek agak dalam,” kata Mawardi SP, MSc, peneliti di Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), Banjarbaru, Kalimantan Selatan, yang juga turut mencicip. Sayang, saat itu setahun lampau Yana menolak menunjukkan lokasi sentra duku palembang di Loktangga.
Beruntung baru-baru ini seorang kolega pecinta ayam hias, Deddy Rusmadi, mengenalkan Trubus pada Fahrurozi yang ternyata suami Yana. Fahrurozi bersedia mengantar ke lokasi setelah diyakinkan Deddy. Menurut Fahrurozi, Desa Loktangga bersalin rupa menjadi sentra duku manis sejak masyarakat setempat gencar menanam duku palembang pada 1990-an. Kini Lancium domesticum itu telah berumur 15—23 tahun dengan produksi stabil 150—250 kg per pohon. Sebelumnya hanya langsat dan langsep yang masam yang banyak tumbuh di sana.
Pada pertengahan Maret 2013 rasa penasaran memetik duku Loktangga langsung dari pohon terobati. Fahrurozi mengajak ke sebuah pohon berumur 20 tahun milik Sarmadi yang lebat buah dan siap petik. Sosok pohon benar-benar terpelihara. Tanah di bawah tajuk bebas gulma dengan hamparan tipis jerami sebagai mulsa sekaligus pupuk organik. Sebagian pohon juga “diselimuti” jaring plastik untuk melindungi buah dari kelelawar.
Sarmadi lantas menyodorkan segenggam duku hasil panen kemarin. Setelah menyingkap kulit pembungkus daging buah berwarna putih, mencecap duku loktangga langsung terasa manis, legit, dan kering. Itu mirip rasa yang pernah dicecap setahun silam di toko buah milik Yana. Menurut Sarmadi, musim buah kali ini berlangsung pada Februari—April 2013. “Buah dipanen bertahap sehingga hanya yang benar-benar matang saja yang dipetik,” katanya. Sarmadi kerap memanen seminggu 2—3 kali sebanyak 20—25 kg dan mengirimkannya ke Martapura.
Saudagar intan
Menurut Kepala Desa Loktangga, Hamdi, duku manis di desanya bermula dari 3 pohon yang dibawa H Karim pada 1932. H Karim ialah saudagar intan yang kerap bolak-balik dari Martapura ke Jawa, Sumatera, hingga Singapura pada masa itu. “Dari perantauan itu H Karim membawa 3 bibit duku palembang yang ditanam di Loktangga,” kata Hamdi. Sayang, hingga sebelum 1990-an duku palembang nan manis itu hanya menjadi konsumsi keturunan H Karim.
Ia baru diperbanyak—dari biji dan okulasi—saat Dinas Pertanian setempat bersama seorang penangkar asal Pulau Jawa menemukan keunikan duku loktangga. “Kami menyebutnya duku karangintan, tetapi saat itu belum masuk ke pasaran. Itulah yang diperbanyak dan ditanam masyarakat 20 tahun silam,” kata Ir Tri Susanto, penanggung jawab pelepas varietas Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPSB-TPH), Kalimantan Selatan.
Menurut Hamdi, kini 3 pohon yang dibawa H Karim 81 tahun silam sudah mati karena tua. Saat ini tercatat 300 pohon berumur 15—50 tahun di Loktangga. Mereka tumbuh subur di pekarangan rumah atau kebun di daerah aliran Sungai Arapat bersama karet, cempedak, dan langsat. “Tanah di sana tergolong subur, cukup air, tapi tidak tergenang dalam waktu lama,” kata Mawardi. Mirip habitat duku palembang di daerah aliran Sungai Komering dan duku padangbatung di aliran Sungai Amandit.
Belakangan ketika duku loktangga di pasaran laku keras dengan harga 2 kali lipat dari langsat tanjung, banyak penduduk kembali ramai menanam. Sayang, kebanyakan mereka menanam dari biji karena sulit memperoleh bibit okulasi atau sambung pucuk dari induk terseleksi. Meski dari biji, kemungkinan besar pergeseran sifat—dari manis menjadi kurang manis—kecil karena duku seperti manggis yang tergolong apomiksis.
Maksudnya, pembuahan dari bunga betina tidak memerlukan penyerbukan bunga jantan. Pembuahan terjadi karena reaksi endogen dari dalam tanaman. “Ini era ke-2 penanaman secara swadaya. Umurnya baru 2—5 tahun. Kelak, bila sudah berbuah duku dari sini bisa menyebar hingga ke luar kota,” kata Hamdi. (Ridha YK, kontributor Trubus di Kalimantan Selatan)
FOTO:
- Saat ini duku loktangga menjadi rebutan para pedagang buah. Mereka menjualnya dengan label duku palembang lokal
- Rasa manis dan legit terasa lengket di lidah
- Pohon duku berumur 20 tahun milik Sarmadi, menghasilkan 200—250 kg per musim
- Meski harga jual Rp25.000—Rp30.000 setara 2 kali lipat harga langsat tanjung, duku lok tangga habis diserap pembeli