Itulah sebabnya musim tanam ini, kelompok Tani Mulyo yang dimotori Supriyadi tetap mengebunkan 30-an ha cabai. Apakah impian menangguk laba besar dari perniagaan si pedas bakal tergapai?
September-Maret momok bagi pekebun cabai. Hujan mengguyur tak kunjung reda menyebabkan bunga rontok sehingga produksi anjlok. Kelembapan meningkat menjadi surga bagi mikroba biang kerok beragam penyakit. Menyusutnya penanaman cabai tercium dari turunnya penjualan benih. Pada 2005 penjualan benih cabai merah besar PT East West Seed Indonesia (EWSI) anjlok hingga 40% ketimbang 2004. Menurut Manajer Pemasaran EWSI, Ir Yohannes Sukoco, merosotnya penjualan lantaran merebaknya tobacco mozaic virus dan virus gemini di Jawa Timur. Padahal, mereka menyerap hampir 50% pasokan benih produksi EWSI.
Kenaikan harga bahan bakar minyak turut mengatrol biaya produksi. Menurut Rudy Purwadi, pengamat cabai di Bogor, ongkos produksi berkebun cabai melonjak 10-15%. Harga mulsa plastik yang semula Rp320.000 per rol setara 20 kg menjadi Rp360.000. Untuk luasan 1 ha, pekebun membutuhkan 10 rol senilai Rp3.600.000. Benih mengikuti jejak kenaikan harga menjadi Rp60.000 per 10 g dari sebelumnya Rp55.000. Kebutuhan benih per ha mencapai 3,5 ons atau melambung Rp175.000 per ha.
Harga fungisida melambung menjadi Rp49.000 per 0,5 kg dari sebelumnya Rp44.000. Frekuensi penyemprotan yang biasanya 10 hari sekali, kini tiap 5 hari. Akibatnya, biaya tenaga kerja pun membengkak. Total jenderal biaya produksi meningkat menjadi Rp45-juta dari sebelumnya rata-rata Rp40-juta.
Naiknya harga cabai juga disebabkan oleh banyaknya pekebun yang beralih membudidayakan komoditas noncabai seperti diungkapkan oleh Yudha Heri Asnawi MM, pengamat agribisnis dari Institut Pertanian Bogor. Mereka berhenti membudidayakan kerabat kentang itu akibat ambruknya harga cabai pada 2005.
Harga Capsicum annuum di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur, pada Januari-Juli 2005 bertengger di angka Rp3.089-Rp7.875 per kg. Pada bulan yang sama pada 2004, harga menembus Rp6.750-Rp11.286 per kg. Merosotnya harga pada 2005 disebabkan sikap latah pekebun yang tergiur harga tinggi pada 2004. Jadi, mereka berbondong-bondong menanam cabai, kata Yudha.
Menyusutnya luas penanaman pada akhir 2005, bakal diikuti turunnya pasokan cabai di pasaran.Di pihak lain konsumsi cabai segar terus meningkat seiring bertambahnya penduduk. Dengan asumsi tingkat konsumsi rata-rata 0,37 kg/kapita/bulan dan konsumen cabai 80% dari jumlah penduduk yang diperkirakan mencapai 224-juta orang pada 2006, maka konsumsi cabai pada 2006 mencapai 66.304 ton per bulan atau 795.648 ton per tahun.
Di sinilah hukum ekonomi bicara: pasokan turun, harga pun naik. Rudi Purwadi mempekirakan selama 2006, harga di tingkat pekebun minimal Rp10.000 per kilo.
Ramai
Menurut Yudha Heri Asnawi harga tinggi diperkirakan bertahan hingga triwulan kedua 2006. Peluang itulah yang diendus oleh Supriyadi, pekebun di Singgalan, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Saat pekebun lain urung menanam, ia malah melawan arus. Bagi kami, hujan adalah berkah, ujar Supriyadi. Produktivitas saat musim hujan hanya 9 ons per tanaman, tapi biasanya diikuti harga tinggi Rp10.000-Rp12.000 per kg.
Dengan asumsi harga Rp10.000 per kg, laba yang bakal ditangguk pekebun Rp144-juta-Rp172-juta dari lahan 1 ha. Pekebun seperti Supriyadi, juga bermunculan di Garut, Magelang, Lampung, Yogyakarta, dan Kulonprogo. Itu terlihat dari data pesanan benih yang mengalir ke Ir Cipto Legowo, direktur pemasaran PT Tunas Agro Persada, produsen benih.
Toh, jumlah pekebun yang bertahan saat musim hujan relatif kecil sehingga tak mempengaruhi pasokan secara signifikan. Oleh karena itu, Rudi Purwadi memperkirakan harga cabai tahun ini relatif stabil, Rp10.000 per kg di tingkat pekebun. Stabilnya harga memang impian bagi pekebun.
Namun, pengaruh musim dan sifat latah pekebun yang menanam saat harga tinggi, penyebab gonjang-ganjingnya harga. Untuk mengatasi harga yang fluktuatif, Dr Ir Muchjidin Rachmat MS, direktur Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka tidak tinggal diam. Pada 2006 ia berencana melobi industri pengolah makanan berbahan baku cabai. Maklum, hampir 90% tepung cabai bahan baku sambal diimpor. Dengan begitu, Muchjidin berharap konsumsi cabai meningkat terutama saat pasokan melimpah, sehingga harga cabai tetap stabil.
Selain itu, pengaturan pertambahan luas tanam juga sangat menentukan. Setiap bulan Direktorat Budidaya Tanaman dan Biofarmaka, menetapkan kuota pertambahan luas tanam di setiap provinsi sentra. Namun, beberapa daerah masih melanggar kuota pertambahan luas tanam. Contoh Jawa Timur yang merupakan pemasok cabai terbesar pada 2004. Pada bulan Mei, Juni, dan Juli 2004, kuota pertambahan luas tanam masing-masing 1.052 ha, 658 ha, dan 682 ha. Namun, realisasinya melebihi kuota yaitu 1.199 ha (selisih 147 ha), 876 ha (+ 218 ha), dan 1.026 ha (+ 344 ha).
Pantas jika pasokan dari Kota Pahlawan itu membumbung menjadi 2.058 ton pada Agustus, 3.052 ton (September 2004), dan 4.816 ton (Oktober 2004). Itu baru dari satu sentra. Bila kuota itu juga dilanggar oleh sentra lain, betapa dahsyatnya banjir cabai di pasaran. Efeknya harga anjlok hingga mancapai angka terendah yaitu Rp3.743 per kg pada Oktober 2004.
Prediksi turunnya luas penanaman secara nasional di kuartal pertama 2006, harga Rp12.000 di tingkat petani bukan tidak mungkin. Namun, sebaiknya pekebun jangan latah. Pekebun harus berkoordinasi dahulu dengan pekebun lainnya. Toh alat komunikasi sekarang gampang, ujar Muchjidin. (Imam Wiguna)