Dua tahun terakhir bisnis tin kian marak. Ahli strategi bisnis dari Lembaga Manajemen PPM, Ir Makfudin Wirya Atmaja MSM, mengungkapkan, “Sebenarnya itu yang disebut mencari celah. Ibaratnya kita bermain kartu, kita harus cari kartu truf, sehingga harus kreatif,” kata Makfudin. Cara untuk mencari celah di antaranya dengan menerapkan prinsip quality, quantity, cost, delivery, service, safety, dan moral.
Makfudin mengatakan, bisa saja petani menjual produk itu karena kelangkaannya (eksklusivitas). Bisnis singkat itu bisa bersifat hit and run, atau lebih baik lagi bila menjadi hit and develop. Pada bisnis kilat itu, usahakan menjadi pemain utama. Sebab, ketika satu komoditas sedang tren atau populer pemain utama akan menikmati keuntungan paling awal. “Jangan menjadi yang belakangan. Paling tidak, bukan paling belakang,” kata Makfudin.
Karena sudah ada yang memelopori, maka kita cepat mengikuti sembari tetap membaca skenario. Juga harus tetap memikirkan cara bila terjadi perubahan. “Jadi saat orang lain belum siap menghadapi perubahan, kita sudah siap. Jadi kita yang menikmati akibat dari perubahan itu,” papar pria kelahiran Cirebon 62 tahun silam itu. Sebenarnya secara visual bisnis itu bisa terbaca arahnya.
Contoh saat tren batu akik. Saat orang sudah banyak jongkok-jongkok di pinggir jalan, sebenarnya, bisnis itu sudah mendekati puncaknya. Bila pemain berpikir rasional, ia akan melihat grafik penjualan yang mulai menurun. Sebab, bisnis musiman itu pergerakan grafiknya eksponensial. “Menanjaknya cepat sekali, dan turunnya pun cepat sekali. Para pemain, harus berusaha membuat penurunan grafik itu landai.
Idealnya pebisnis itu menyiapkan data penjualan dan pembelian. Dengan demikian pergerakan bisnis bisa terpantau. “Kita harus bikin skenario. Ketika bisnis sudah menjadi bisnis massal, maka segmen pasar pun mulai berubah. Konsumen mulai berpikir fungsional. Mereka tidak lagi tertarik membeli yang mahal-mahal. Jadi bisnis harus dikelola, bagaimana merespons produk yang semula eksklusif menjadi komoditas umum,” tuturnya.
Bila semula cukup dikelola dalam areal sempit, maka agar bisa menemukan harga yang sesuai keinginan pasar maka harus dibuat massal. Jadi bibit itu diperbanyak dengan lebih cepat dan lebih murah sehingga bisa menjadi barang massal. Saat harga turun, kita sudah siap dengan produk massal. Kalau sudah produk massal, biaya produksi per satuan menjadi rendah sehingga bisa dijual rendah. Ketika harga rendah, tidak ada masalah karena produksi sudah massal.
Bila ingin beralih untuk mengebunkan menjadi produksi buah, maka harus melihat benefit tanaman tin. Misal buah enak dan berkhasiat sehingga konsumen membeli karena keunikannya, harga mahal sehingga prestise yang bermain. Sekarang mereka membeli tanaman karena logika yaitu ingin memanfaatkan tanaman itu untuk dikonsumsi buahnya. Jadi yang harus dipromosikan ialah keuntungan sehingga konsumen lebih sadar dengan keuntungan membeli tanaman atau buah yang diproduksi. (Syah Angkasa)