Trubus.id — Benih berkualitas menjadi salah satu faktor penentu mutu kentang dan kuantitas tinggi. Itu disampaikan oleh Jainal Rabin Damanik, S.T., petani kentang asal Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatra Utara.
“Kita berangkat dari poin paling mendasar. Terkait bercocok tanam, petani kan sudah khatam, tetapi mereka belum mengetahui trik-trik dan akses benih yang baik. Dari situ kita perbaiki sehingga dari hulu ke hilir bisa bagus juga. Jadi bisa diproyeksikan waktu panen,” kata pria kelahiran 1 Maret 1994 itu.
Hal itu mengharuskan kolaborasi dari banyak pihak. Saat ini Jainal bekerja sama dengan PT Telkom Indonesia dan beberapa bank untuk mengatasi masalah pertanian, salah satunya dengan digitalisasi.
Menurut Jainal, sudah saatnya petani harus mempunyai power untuk menentukan harga dan mempunyai daya tawar untuk memberikan, menjangkau, dan mengakses input agri yang lebih murah.
Lebih lanjut ia menuturkan, kini petani kentang berkurang karena harga pupuk dan pestisida makin melambung. Selain itu, permintaan fluktuatif dan pasar stagnan serta ongkos produki bertambah sehingga keuntungan relatif sedikit.
“Agribisnis tidak bisa dipastikan karena 80% masih tergantung pada kondisi alam,” kata Jainal.
Meski begitu, ia optimis budidaya kentang tetap menjanjikan. Jainal berharap dapat terus belajar dan mengupayakan kerja sama untuk meningkatkan pemberdayaan petani, baik dari segi dana maupun benih.
“Investasi teknologi amat dibutuhkan dalam agribisnis untuk sama-sama belajar menuju pertanian yang berkelanjutan,” tutur Jainal.
Hambatan lain beragribisnis yakni lahan semakin sempit sehingga menyulitkan petani generasi berikutnya. Bisa jadi hal itu mengakibatkan generasi muda tidak lagi tertarik bertani.
Sebagai informasi, Jainal termasuk petani muda kentang yang sukses. Ia mampu mendapatkan omzet Rp70 juta–Rp80 juta per hektare. Setelah dikurangi biaya produksi, ia mengantongi laba minimal Rp16 juta. Penjualan kentang Jainal mencapai 1.000–2.000 ton per tahun.